Sebuah negara menurut Amien Rais, disebut sebagai negara demokrasi jika
memenuhi beberapa kriteria, yaitu; (1) partisipasi dalam pembuatan keputusan,
(2) persamaan di depan hukum, (3) distribusi pendapat secara adil, (4)
kesempatan pendidikan yang sama, (5) empat macam kebebasan, yaitu kebebasan
mengeluarkan pendapat, kebebasan persuratkabaran, kebebasan berkumpul dan
kebebasan beragama, (6) ketersediaan dan keterbukaan informasi, (7)
mengindahkan fatsoen atau tata krama politik, (8) kebebasan individu, (9)
semangat kerja sama dan (10) hak untuk protes.[1]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa demokratisasi berarti melawan monopoli kaum
politisi, pejabat dan teknokrat untuk begitu saja menetukan apa yang baik bagi
masyarakat[2].
Robert A. Dahl mengajukan lima kriteria bagi sebuah demokrasi yang ideal,
yaitu; (1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang
mengikat, (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga
negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif, (3) pembeberan
kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan
penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis, (4)
kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksklusif bagi
masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan
melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang
lain atau lembaga yang mewakili masyakat, dan (5) pencakupan, yaitu terliputnya
masyarakat yang tercakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum.[3]
Dahl juga mengajukan tujuh indikator bagi demokrasi secara empirik, yaitu[4]:
1.
Control
over govermental decitions about policy is constitutionally vested in elected
officials;
2.
Elected
officials are chosen and peacefully removed in relatively frequent, fair dan
free election in which coercion is quite limited;
3.
Pratically
all adults have the right to vote in these elections;
4.
Most
adults have the right to run for public offices for which candidates run these
elections;
5.
Citizens
have an efectively enforced right to freedom of expression, the conduct of
goverment, the prevailing political, economy, and social system, and the
dominant ideology;
6.
They
also have acces to alternative sources of information that are not monopolized
by the government or any other single group;
7.
Finally
they have and effectively enforced right to form and join autonomous
associations, including political associations, such as political parties and
interest groups, that attempt to influence the goverment by competing in
elections and by other peaceful means.[5]
Sebagai perbandingan dari indikator yang diajukan oleh Dahl di atas,
kalangan ilmu politik Indonesia,[6]
setelah mengamati demokrasi di berbagai negara merumuskan demokrasi dengan
menggunakan lima indikator tertentu. Pertama; Akuntabilitas. Dalam demokrasi,
setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat
mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya. Tidak
hanya itu, ia juga harus dapat mempertangung jawabkan ucapan atau kata-katanya.
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah perilaku dalam kehidupan yang pernah,
sedang, bahkan akan dijalankan. Pertanggungjawaban tersebut tidak hanya
menyangkut dirinya, tetapi juga menyangkut keluarganya dalam arti luas. Yaitu
perilaku anak istrinya, juga sanak keluarganya, terutama yang berkait dengan
jabatannya. Dalam konteks ini, si pemegang jabatan harus bersedia menghadapi
apa yang disebut “public scrutiny”, terutama yang dilakukan oleh media massa
yang telah ada.
Kedua; Rotasi Kekuasaan. Dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi
kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. Jadi, tidak hanya
satu orang yang selalu memegang jabatan, sementara peluang orang lain tertutup
sama sekali. Biasanya, partai politik yang menang pada suatu pemilu akan diberi
kesempatan untuk membentuk eksekutif yang mengendalikan pemerintahan sampai
pada pemilihan berikutnya. Dalam suatu negara yang tingkat demokrasinya masih
rendah, rotasi kekuasaan biasanya kalaupun ada, hal itu hanya akan dilakukan dalam
lingkungan yang terbatas di kalangan elit politik saja. Ketiga; rekruitmen
politik yang terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan,
diperlukan suatu sistem rekruitmen politik yang terbuka. Artinya, setiap orang
yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh
rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi
jabatan tersebut. Dalam negara yang tidak demokratis, rekruitmen politik
biasanya dilakukan secara tertutup. Artinya, peluang untuk mengisi jabatan
politik hanya dimiliki oleh beberapa orang saja.
Keempat; pemilihan umum. Dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilaksanakan
secara teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk
memilih dan dipilih serta bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan
kehendak hati nuraninya. Dia bebas untuk menentukan partai atau calon mana yang
akan didukungnya, tanp ada rasa takut atau paksaan dari orang lain. Pemilih
juga bebas mengikuti segala macam aktifitas pemilihan, termasuk didalamnya
kegiatan kampanye dan menyaksikan penghitungan suara. Kelima menikmati hak-hak
dasar. Dalam suatu negara yang demokratis, setiap warga masyarakat dapat
menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya adalah hak
untuk menyatakan pendapat (freedom of expression), hak untuk berkumpul dan
berserikat (freedom of assembly), dan hak untuk menyatakan pendapat dan
digunakan untuk menentukan prefensi politiknya, tentang suatu masalah, terutama
yang menyangkut dirinya dan masyarakat sekitarnya. Hak untuk berkumpul dan
berserikat ditandainya dengan kebebasan untuk menentukan lembaga, atau
organisasi mana yang ingin dia bentuk atau dia pilih.
definisi
Alfian[7]
mendefenisikan demokrasi sebagai sebuah sistem politik yang memelihara
keseimbangan antara konflik dan konsensus.[8]
Menurut Alfian, demokrasi memberikan toleransi adanya perbedaan pendapat atau
pertikaian pendapat. Perbedaan atau pertikaian itu bisa diartikan sebagai
sebuah konflik. Konflik disini tidak mengarah kepada kerancuan demokrasi.
Salah satu aksioma dalam sistem politik demokrasi adalah bahwa demokrasi
tidak mungkin diwujudkan tanpa adanya rule of law. Mengapa demikian? Jawabannya
tentu tidaklah sulit. Demokrasi yang mengisyaratkan adanya pelaksanaan hak-hak
dasar seperti hak menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan, berkumpul dan
berserikat, sudah barang tentu memerlukan adanya aturan main yang jelas dan
dipatuhi secara bersama. Tanpa adanya sebuah aturan main yang demikian, maka
proses pelaksanaan hak-hak tersebut akan mengalami berbagai hambatan, karena
adanya perbedaan-perbedaan dalam hal akses, kemampuan, status, gender, dan
kelas sosial dan sebagainya. Dengan menggunakan aturan main yang tidak bias
terhadap individu maupun kelompok tertentu, maka akan dapat dicapai semacam
kondisi kesetaraan, yakni kesetaraan di muka umum, sehingga masing-masing pihak
dapat berpartisipasi secara penuh, terbuka dan adil. Guna menjamin tercapainya
partisipasi tersebut, tentunya harus dituangkan dalam sebuah ketentuan hukum yang
mendasar (baca; konstitusi).
Beberapa studi yang pernah dilakukan oleh Mahfud MD[9]
menghasilkan kesimpulan bahwa di sepanjang sejarah Indonesia telah terjadi
tarik-menarik antar politik yang demokrasi dan politik yang otoriter. Politik
demokrasi dan otoriter selalu muncul secara bergantian melalui pergulatan
politik yang kadangkala keras. Mahfud menguraikan bahwa dalam teks otentiknya
semua konstitusi yang pernah atau sedang berlaku di Indonesia menetapkan
demokrasi sebagai salah satu prinsip bernegara yang fundamental, tetapi tidak
semua pemerintahan dan sistem politik yang lahir di Indonesia ini demokrasi,
malahan ada kecenderungan bahwa langgam demokrasi hanya terjadi pada awal
kehadiran sebuah rezim. Yang tampaknya menentukan implementasi prinsip
demokrasi dalam kehidupan bernegara adalah bagaimana demokrasi itu tidak hanya
disebutkan sebagai prinsip di dalam konstitusi melainkan dielaborasi secara
ketat di dalam konstitusi itu sendiri.
Tujuan utama dari konstitusi ialah membatasi secara efektif kekuasaan
pemerintah sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak dilakukan secara
sewenang-wenang. Tujuan penting dari konstitusi adalah untuk melindungi hak-hak
dasar warga negara dari penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara kekuasaan.
Kedua tujuan tersebut hanya dapat dicapai jika pengorganisasian kekuasaan
negara tidak menumpuk pada satu badan atau satu orang saja. Kekuasaan mestilah
didistribusikan. Dengan pendistribusian kekuasaan ke beberapa orang atau
lembaga dapat dicegah penyalahgunaan kekuasaan. Maka dari itu istilah
konstitusionalisme muncul untuk menandakan suatu sistem asas-asas pokok yang
menetapkan dan membatasi kekuasaan serta hak bagi yang memerintah (pemegang
kekuasaan) maupun bagi yang diperintah.
Pembahasan konstitusi erat kaitannya dengan sistem demokrasi yang dianut
oleh suatu negara. Kebanyakan negara modern sekarang termasuk negara-negara
yang baru mencapai kemerdekaan setelah perang dunia II usai telah sejak semua
menganut sistem demokrasi konstitusional. Yang menjadi ciri khas demokrasi
konstitusional ialah adanya pemerintahan yang kekuasaannya terbatas dan tidak
dipekenankan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Pembatasan-pembatasan
tersebut tercantum dalam konstitusi. Dalam sistem demokrasi konstitusional,
kekuasaan negara berada di tangan rakyat. Pemegang kekuasaan dibatasi
wewenangnya oleh konstitusi sehingga tidak melanggar hak-hak asasi rakyat. Antara kekuasaan eksekutif
dan cabang-cabang kekuasaan lainnya terdapat check and balance. Lembaga
legislatif mengontrol kekuasaan eksekutif sehingga tidak keluar dari rel
konstitusi.
Oleh International Commission of Jurist dalam konferensinya di Bangkok pada
tahun 1965, negara-negara yang menganut asas demokrasi disebut juga sebagai
representatif government. Adapun
yang dimaksud dengan representatif government oleh Internasional Commission of
jurist adalah Representative government is a government deriving its power and
authority form the people, which the people and authority are exercised through
representative freely chosen and responsible to them.[10]
Kemudian organisasi para sarjana hukum internasional di atas menentukan
pula syarat-syarat adanya representative government atau adanya asas-asas
demokrasi dalam suatu negara, yakni[11]:
1. Adanya proteksi konstitusional;
2. Adanya kekuasaan peradilan yang bebas dan tidak memihak;
3. Adanya pemilihan umum yang bebas;
4. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat;
5. Adanya tugas-tugas oposisi; dan,
6. Adanya pendidikan civils[12].
[1] Lihat Amien Rais, Demokrasi dan Proses
Politik, dalam Demokrasi dan Proses Politik, Seri Prisma Jakarta, diterbikan
LP3ES, 1986
[3] Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis; Antara Otonomi dan Kontrol,
terjemahan oleh Sahat Simamora, penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 1985
[4] Afan Gaffar, Politik Indonesia Menuju
Transisi Demokrasi, Pustaka Pelajar Jakarta, 1996. hlm. 6-7.
[5] Dari indikator yang diajukan Dahl
tersebut, menurut Afan Gaffar, dapat dlihat sejumlah pesyaratan apakah sebuah
political order merupakan sistem yang demokratis atau tidak, yaitu; akuntabilitas,
rotasi kekuasaan, rekruitmen politik yang terbuka, pemilihan umum, dan
menikmati hak-hak dasar. (Afan Gaffar, Ibid, hal. 8)
[7] Menurut Gabriele A. Almond, seperti dikutip Rusandi Sumintapura
dalam bukunya Sistem Politik di Indonesia, (Sinar Baru, 1988: 8), sistem
politik adalah “…the political system is that system of interaction of be found
in all independent societies, which performs the function of intergration and
adaptattion (both internally and vis a vis other societies) by means of
employment or threat of employment, of more or less legitimate physical
compulsion”
[10] Sri Soemantri, Demokrasi Pancasila dan
Implementasi Menurut Undang-undang Dasar 1945, penerbit Alumni Bandung, 1969. Hal.14
[11] Sri Soemantri, Op-cit, hal. 157
[12] sebagai perbandingan, ciri dan persyaratan negara hukum modern
(welfare state) adalah: (1) Perlindungan konstitusional, (2) Adanya badan
kehakiman yang bebas (independent and inpertial tribunals), (3) Pemilu yang
bebas, (4) Kebebasan untuk menyatakan pendapat, (5) Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi
dan beroposisi, (6) Pendidikan kewarganegaraan.
Mantap Senior
BalasHapussangat membantu gan
BalasHapus