Kamis, 23 Februari 2012

INDIKATOR PENGUKURAN DEMOKRATIS Sebuah Tinjauan Teoritis



Sebuah negara menurut Amien Rais, disebut sebagai negara demokrasi jika memenuhi beberapa kriteria, yaitu; (1) partisipasi dalam pembuatan keputusan, (2) persamaan di depan hukum, (3) distribusi pendapat secara adil, (4) kesempatan pendidikan yang sama, (5) empat macam kebebasan, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan persuratkabaran, kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama, (6) ketersediaan dan keterbukaan informasi, (7) mengindahkan fatsoen atau tata krama politik, (8) kebebasan individu, (9) semangat kerja sama dan (10) hak untuk protes.[1] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa demokratisasi berarti melawan monopoli kaum politisi, pejabat dan teknokrat untuk begitu saja menetukan apa yang baik bagi masyarakat[2].
Robert A. Dahl mengajukan lima kriteria bagi sebuah demokrasi yang ideal, yaitu; (1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat, (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif, (3) pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis, (4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksklusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyakat, dan (5) pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat yang tercakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum.[3]
Dahl juga mengajukan tujuh indikator bagi demokrasi secara empirik, yaitu[4]:
1.    Control over govermental decitions about policy is constitutionally vested in elected officials;
2.    Elected officials are chosen and peacefully removed in relatively frequent, fair dan free election in which coercion is quite limited;
3.    Pratically all adults have the right to vote in these elections;
4.    Most adults have the right to run for public offices for which candidates run these elections;
5.    Citizens have an efectively enforced right to freedom of expression, the conduct of goverment, the prevailing political, economy, and social system, and the dominant ideology;
6.    They also have acces to alternative sources of information that are not monopolized by the government or any other single group;
7.    Finally they have and effectively enforced right to form and join autonomous associations, including political associations, such as political parties and interest groups, that attempt to influence the goverment by competing in elections and by other peaceful means.[5]

Sebagai perbandingan dari indikator yang diajukan oleh Dahl di atas, kalangan ilmu politik Indonesia,[6] setelah mengamati demokrasi di berbagai negara merumuskan demokrasi dengan menggunakan lima indikator tertentu. Pertama; Akuntabilitas. Dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya. Tidak hanya itu, ia juga harus dapat mempertangung jawabkan ucapan atau kata-katanya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang, bahkan akan dijalankan. Pertanggungjawaban tersebut tidak hanya menyangkut dirinya, tetapi juga menyangkut keluarganya dalam arti luas. Yaitu perilaku anak istrinya, juga sanak keluarganya, terutama yang berkait dengan jabatannya. Dalam konteks ini, si pemegang jabatan harus bersedia menghadapi apa yang disebut “public scrutiny”, terutama yang dilakukan oleh media massa yang telah ada.
Kedua; Rotasi Kekuasaan. Dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. Jadi, tidak hanya satu orang yang selalu memegang jabatan, sementara peluang orang lain tertutup sama sekali. Biasanya, partai politik yang menang pada suatu pemilu akan diberi kesempatan untuk membentuk eksekutif yang mengendalikan pemerintahan sampai pada pemilihan berikutnya. Dalam suatu negara yang tingkat demokrasinya masih rendah, rotasi kekuasaan biasanya kalaupun ada, hal itu hanya akan dilakukan dalam lingkungan yang terbatas di kalangan elit politik saja. Ketiga; rekruitmen politik yang terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan suatu sistem rekruitmen politik yang terbuka. Artinya, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut. Dalam negara yang tidak demokratis, rekruitmen politik biasanya dilakukan secara tertutup. Artinya, peluang untuk mengisi jabatan politik hanya dimiliki oleh beberapa orang saja.
Keempat; pemilihan umum. Dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilaksanakan secara teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih serta bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Dia bebas untuk menentukan partai atau calon mana yang akan didukungnya, tanp ada rasa takut atau paksaan dari orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala macam aktifitas pemilihan, termasuk didalamnya kegiatan kampanye dan menyaksikan penghitungan suara. Kelima menikmati hak-hak dasar. Dalam suatu negara yang demokratis, setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya adalah hak untuk menyatakan pendapat (freedom of expression), hak untuk berkumpul dan berserikat (freedom of assembly), dan hak untuk menyatakan pendapat dan digunakan untuk menentukan prefensi politiknya, tentang suatu masalah, terutama yang menyangkut dirinya dan masyarakat sekitarnya. Hak untuk berkumpul dan berserikat ditandainya dengan kebebasan untuk menentukan lembaga, atau organisasi mana yang ingin dia bentuk atau dia pilih.
definisi
Alfian[7] mendefenisikan demokrasi sebagai sebuah sistem politik yang memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus.[8] Menurut Alfian, demokrasi memberikan toleransi adanya perbedaan pendapat atau pertikaian pendapat. Perbedaan atau pertikaian itu bisa diartikan sebagai sebuah konflik. Konflik disini tidak mengarah kepada kerancuan demokrasi.
Salah satu aksioma dalam sistem politik demokrasi adalah bahwa demokrasi tidak mungkin diwujudkan tanpa adanya rule of law. Mengapa demikian? Jawabannya tentu tidaklah sulit. Demokrasi yang mengisyaratkan adanya pelaksanaan hak-hak dasar seperti hak menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan, berkumpul dan berserikat, sudah barang tentu memerlukan adanya aturan main yang jelas dan dipatuhi secara bersama. Tanpa adanya sebuah aturan main yang demikian, maka proses pelaksanaan hak-hak tersebut akan mengalami berbagai hambatan, karena adanya perbedaan-perbedaan dalam hal akses, kemampuan, status, gender, dan kelas sosial dan sebagainya. Dengan menggunakan aturan main yang tidak bias terhadap individu maupun kelompok tertentu, maka akan dapat dicapai semacam kondisi kesetaraan, yakni kesetaraan di muka umum, sehingga masing-masing pihak dapat berpartisipasi secara penuh, terbuka dan adil. Guna menjamin tercapainya partisipasi tersebut, tentunya harus dituangkan dalam sebuah ketentuan hukum yang mendasar (baca; konstitusi).
Beberapa studi yang pernah dilakukan oleh Mahfud MD[9] menghasilkan kesimpulan bahwa di sepanjang sejarah Indonesia telah terjadi tarik-menarik antar politik yang demokrasi dan politik yang otoriter. Politik demokrasi dan otoriter selalu muncul secara bergantian melalui pergulatan politik yang kadangkala keras. Mahfud menguraikan bahwa dalam teks otentiknya semua konstitusi yang pernah atau sedang berlaku di Indonesia menetapkan demokrasi sebagai salah satu prinsip bernegara yang fundamental, tetapi tidak semua pemerintahan dan sistem politik yang lahir di Indonesia ini demokrasi, malahan ada kecenderungan bahwa langgam demokrasi hanya terjadi pada awal kehadiran sebuah rezim. Yang tampaknya menentukan implementasi prinsip demokrasi dalam kehidupan bernegara adalah bagaimana demokrasi itu tidak hanya disebutkan sebagai prinsip di dalam konstitusi melainkan dielaborasi secara ketat di dalam konstitusi itu sendiri.
Tujuan utama dari konstitusi ialah membatasi secara efektif kekuasaan pemerintah sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Tujuan penting dari konstitusi adalah untuk melindungi hak-hak dasar warga negara dari penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara kekuasaan. Kedua tujuan tersebut hanya dapat dicapai jika pengorganisasian kekuasaan negara tidak menumpuk pada satu badan atau satu orang saja. Kekuasaan mestilah didistribusikan. Dengan pendistribusian kekuasaan ke beberapa orang atau lembaga dapat dicegah penyalahgunaan kekuasaan. Maka dari itu istilah konstitusionalisme muncul untuk menandakan suatu sistem asas-asas pokok yang menetapkan dan membatasi kekuasaan serta hak bagi yang memerintah (pemegang kekuasaan) maupun bagi yang diperintah.
Pembahasan konstitusi erat kaitannya dengan sistem demokrasi yang dianut oleh suatu negara. Kebanyakan negara modern sekarang termasuk negara-negara yang baru mencapai kemerdekaan setelah perang dunia II usai telah sejak semua menganut sistem demokrasi konstitusional. Yang menjadi ciri khas demokrasi konstitusional ialah adanya pemerintahan yang kekuasaannya terbatas dan tidak dipekenankan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Pembatasan-pembatasan tersebut tercantum dalam konstitusi. Dalam sistem demokrasi konstitusional, kekuasaan negara berada di tangan rakyat. Pemegang kekuasaan dibatasi wewenangnya oleh konstitusi sehingga tidak melanggar hak-hak asasi rakyat. Antara kekuasaan eksekutif dan cabang-cabang kekuasaan lainnya terdapat check and balance. Lembaga legislatif mengontrol kekuasaan eksekutif sehingga tidak keluar dari rel konstitusi.
Oleh International Commission of Jurist dalam konferensinya di Bangkok pada tahun 1965, negara-negara yang menganut asas demokrasi disebut juga sebagai representatif government. Adapun yang dimaksud dengan representatif government oleh Internasional Commission of jurist adalah Representative government is a government deriving its power and authority form the people, which the people and authority are exercised through representative freely chosen and responsible to them.[10]
Kemudian organisasi para sarjana hukum internasional di atas menentukan pula syarat-syarat adanya representative government atau adanya asas-asas demokrasi dalam suatu negara, yakni[11]:
1. Adanya proteksi konstitusional;
2. Adanya kekuasaan peradilan yang bebas dan tidak memihak;
3. Adanya pemilihan umum yang bebas;
4. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat;
5. Adanya tugas-tugas oposisi; dan,
6. Adanya pendidikan civils[12].



[1] Lihat Amien Rais, Demokrasi dan Proses Politik, dalam Demokrasi dan Proses Politik, Seri Prisma Jakarta, diterbikan LP3ES, 1986
[2] Frans Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 47.
[3] Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis; Antara Otonomi dan Kontrol, terjemahan oleh Sahat Simamora, penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 1985
[4] Afan Gaffar, Politik Indonesia Menuju Transisi Demokrasi, Pustaka Pelajar Jakarta, 1996. hlm. 6-7.
[5] Dari indikator yang diajukan Dahl tersebut, menurut Afan Gaffar, dapat dlihat sejumlah pesyaratan apakah sebuah political order merupakan sistem yang demokratis atau tidak, yaitu; akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekruitmen politik yang terbuka, pemilihan umum, dan menikmati hak-hak dasar. (Afan Gaffar, Ibid, hal. 8)
[6] Lihat Affan Gaffar 1998; Melian 2000; Soemantri 1971; Budiardjo 1996
[7] Menurut Gabriele A. Almond, seperti dikutip Rusandi Sumintapura dalam bukunya Sistem Politik di Indonesia, (Sinar Baru, 1988: 8), sistem politik adalah “…the political system is that system of interaction of be found in all independent societies, which performs the function of intergration and adaptattion (both internally and vis a vis other societies) by means of employment or threat of employment, of more or less legitimate physical compulsion”
[8] Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Gramedia Jakarta, 1986, hlm.
[9] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998
[10] Sri Soemantri, Demokrasi Pancasila dan Implementasi Menurut Undang-undang Dasar 1945, penerbit Alumni Bandung, 1969. Hal.14
[11] Sri Soemantri, Op-cit, hal. 157
[12] sebagai perbandingan, ciri dan persyaratan negara hukum modern (welfare state) adalah: (1) Perlindungan konstitusional, (2) Adanya badan kehakiman yang bebas (independent and inpertial tribunals), (3) Pemilu yang bebas, (4) Kebebasan untuk menyatakan pendapat, (5) Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi, (6) Pendidikan kewarganegaraan.

2 komentar: