Sejak era reformasi digulirkan pada tahun 1998 bangsa indonesia
mengalimi liberalisasi politik salah satu perubahannya adalah sistem
ketatanegaraan yaitu dari sitem sentralistik menuju desentralistik yang diperkuat
melalui Undang-Undang No 32 tahun 2002 tentang pemerintahan daerah. Perubahan
itu termanifestasi dalam bentuk Pilkada baik ditingkat propinsi maupun
ditingkat kabupaten dan kota .
Namun selama sepuluh tahun era reformasi berjalan pesta demokrasi lokal berbarengan
dengan eforia elit-elit politik lokal masih banyak yang harus dibenahi kadar
kualitas demokrasi lokal.
Ditengah-tengah dentuman Iklim politik Indonesia yang maha dahsad di tahun 2008 sekarang banyak daerah yang menggelar
pilkada langsung hampir di seluruh seantero Indonesia . Suksesi politik lokal
tersebut termasuk daerah NTB dan Kota Bima yang insyaalah tanggal 19 Mei akan
diadakan pencoblosan. Tentu suasana percaturan politik semakin menegangkan para
kandidat serta pendukung-pendukungnya, berbagai model manuver politik yang dikemas
dengan berbagai alasan pembenaran semu yang dianggap strategis dan jitu dalam mempengaruhi
political choise masyarakat akan siap
dilakukan karena suasana demikian dalam politik praktis kecendrungannya seluruh
energi yang tersisah akan dikerahkan dengan cara-cara yang tidak mencerminkan
permainan yang menjunjung tinggi fatsoen politik yaitu jujur, adil dan terbuka,
pada sisi lain juga memperlihatkan arogansi dan ambigiusitas para calon. Nah,
Pada momen demikian masyarakat dituntut untuk tidak terjebak oleh hasutan-hasutan
politik melalui pemberian yang bersifat sesaat karena akan menentukan masa
depan lima tahun kedepan adalah pilihan dalam
waktu lima
detik dibalik bilik suara hari ini.
Pada sisi lain substansi pilkada yang membuka kran pesta
demokrasi lokal yang memberikan ruang kompetisi seluas-luasnya kepada putra
putri daerah yang memimpikan dirinya menjadi pemimpin masyarakatnya dengan
melalui jalur partai politik. Namun, ditegah hentakan dan dentuman pentas kompetisi
politik banyak akrobat-akrobat politik
yang mewarnai hari-hari kita. Setidaknya akrobat-akrobat politik yang
dimainkan oleh elit-elit politik tersebut kalau kemudian tidak dilakukan
tindakan preventif secara bersama-sama akan melabrak nilai-nilai demokratisasi yang
kita perjuangkan melalui ongkos politik yang begitu mahal itu, antara lain hemat
penulis yang perlu kita antisipasi demi menciptakan pilkada yang demokratis
pula:
Pertama, bisa kita lihat sejak tahapan penjaringan calon oleh partai politik.
Dimana tradisi rutinitas demokrasi dalam melakukan sirkulasi kepemimpinan lima
tahunan sekali demi melahirkan pemimpi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat,
namun konstelasi politik partai pada momen Pilkada sering menampilkan “politik ajimumpung” yaitu menganggap pilkada
sebagai komoditas politik yang menjanjikan fulusiologis. Sehingga banyak yang
terjadi bukan mengusung kader yang memiliki integritas diri, ability secara keilmuan
dan pengalaman yang memadai. Akan tetapi siapa yang banyak uang itulah yang
diusung. Nilai idealitas partai secara otomatis diukur dengan volume rupiah, dalam
konteks ini pantas kiranya Kar Max mengatakan uang sebagai pelacur universal
dalam artian uang mengijinkan pertukaran segala hal untuk segala hal. pilahan
pragmatis itulah akan membunuh pilihan rasional. bukan bagaimana smestinya nilai
perjuangan partai yang esensial itu diperjuangkan. Hal demikian membuat antar
kader partai terjadi konflik yang berbuntut pada terciptanya fragmentasi
diinternal partai. Sehingga Berbicara partai yang sehat sebagai ketentuan
terciptanya iklim yang demokratis akan jauh dari harapan.
Kedua, tahapan kampanye. Masa ini idealnya adalah kesempatan para calon
untuk menyampaikan visi misi kepada masyarakat secara terbuka, agar kemudian diharapkan
masyarakat bisa memilah dan memilih mana yang terbaik dari yang baik. Upaya sugestikan
keyakinan masyarakat Justru tidak akan terjadi kalau kemudian kampaye dijadikan
media ajang pertunjukan bantai membantai antara satu dengan yang lain, ajang
unjuk kekuatan kapital serta ajang janji-janji politik semu. Pada suasana
demikian juga sering terjadi bentrok antar massa kandidat seperti yang terjadi pada
kampaye dikota bima baru-baru ini. Masyarakat yang masih kurang berkesadaran
politik menjadi tumbal atas akrobat-akrobat politik yang dimainkan oleh
elit-elit politik yang paham tentang kondisi masyarakat yang masih
paternalistik dan loyalitas buta terhadap salah satu patron. Pendidikan politik
yang sehat justru semakin jauh dari kenyataan kalau cara main elit-elit politik
masih menggunakan cara-cara klasik tersebut.
Ketiga adalah tahap yang sering kita sebut “minggu tenang”. Minggu tenang ini dalam konstelasi politik praktis
sebenarnya tidak ada yang tenang hanya saja istilahnya saja yang tenang. Karena
secara psikologis semua calon dan pendukungnya memikirkan limit waktu
perjuangan tinggal hitungan hari untuk meraih dukungan masyarakat. Pada
kesempatan ini banyak pelanggaran yang segaja dilakukan oleh tim sukses
masing-masing calon demi sebuah cita-cita kemenangan. Bentuk pelanggaran itu
yang sering kita sebut antara lain money politics, sembako politik seperti yang
terjadi di Kelurahan Na’e oleh salah satu tim pemenang calon tertentu, dan
sejenisnya akan bermain dibalik kemasan silaturrahim keluarga besar serta
pembenaran-pembenaran lainya. Tindakan-tindakan demikian tentu akan mencedrai
esensi Pilkada. Karena kompetisi yang sehat dan jujur adil gagal diciptakan
dalam artian sebenarnya.
Kempat adalah pada tahap penetapan pemenang oleh KPUD. Dari empat tahap itu
memiliki bobot sensitifas tinggi kadarnya dalam kultur perpolitik kita (baca
pilkada indonesia )
yang akan berpotensi mencedrai esensi dari pada Pilkada itu sendiri. KPUD dan
PANWASLU sebagai penyelenggara dan pemonitoring yang diamanatkan oleh
undang-undang dituntut untuk cekat dan tegas melihat, mendengar pelanggaran
yang tidak mengindahkan aturan main.
Lembaran akhir pesta demokrasi adalah pengumuman
pemenang oleh KPU. Namun sesungguhnya pada tahap ini suhu politik sangat tinggi
derajat kerusakannya dalam mencedrai tujuan pilkada. Fenomena politik pada
tahap ini hampir diseluruh seantero daerah bumi indonesia banyak dinodai oleh
ketidak siapan calon untuk menerima kekalahan. Contoh kasualistik adalah kasus
pilkada lamongan tahun 2006 dimana massa
salah satu calon membakar kantor KPUD dan rumah calon yang menang.
Persoalan yang paling substansial dalam kultur politik
kita adalah kesiapan para calon untuk kalah-menang belum teruji. Sesungguhnya
yang sering terjadi dalam konstelasi perpolitikan elit politik kita sampai hari
ini masih mengedepankan ambisi-ambisi politik yang berlebihan kadar kewajaranya
sehingga mudah melahirkan ekspresi-ekspresi barbarisme massa yang tidak terkendali.
Menelitik dari potensi membelotnya substansi pilkada
diatas perlu kita ajukan Pertanyaan yang pantas kita pertanyakan melalui momen Pilkada
Kota Bima sekarang adalah PILKADA UNTUK SIAPA? Kalau pilkada dimaknai sebagai
pertarungang antar elit-elit politik demi kepuasan ambisi sesaat, masih
pantaskah kita maknai Pilkada sebagai salah satu pilar utama demokrasi?.
Untuk menjaga skenario politik elit politik yang
absurditas tentang kedaulatan rakyat, semogah lewat pesta demokrasi lokal yang
digelar didaerah kita tercinta ini semua para calon walikota dan wakilil
walikota Bima periode 2008-20013 siap menang dan lebih-lebih siap untuk kalah sebagai
bentuk pendidikan politik yang riil bagi masyarakat dan bersama-sama bersepakat
untuk membiarkan rakyat memilih sesuai dengan hati nuraninya tampa harus tidak mengindahkan
norma hukum dan norma agama, serta norma sosial yang berlakuka dimasyarakat demi
menciptakan kedaulatan rakyat yang sebenar-benarnya.
Semua mata menuju kelangit sejenak dengan berharap Pilkada
hari ini tidak melahirkan penguasa hasil skenario politik tingkat tinggi antara
beberapa kepentigan kelompok politik pragmatis, demi tidak melahirkan pemimpi
yang memiliki gelar sebagai arsitek agung yang sanggup membangun kedamaian
dengan tiang ketidak adilan, mampu menegakkan kebersamaan dengan landasan
kecurangan, bisan memimpikan kerukunan dengan mempertahankan penindasan.
Opini Koran Suara Mandiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar