Kamis, 23 Februari 2012

AKROBAT POLITIK PILKADA


Sejak era reformasi digulirkan pada tahun 1998 bangsa indonesia mengalimi liberalisasi politik salah satu perubahannya adalah sistem ketatanegaraan yaitu dari sitem sentralistik menuju desentralistik yang diperkuat melalui Undang-Undang No 32 tahun 2002 tentang pemerintahan daerah. Perubahan itu termanifestasi dalam bentuk Pilkada baik ditingkat propinsi maupun ditingkat kabupaten dan kota. Namun selama sepuluh tahun era reformasi berjalan pesta demokrasi lokal berbarengan dengan eforia elit-elit politik lokal masih banyak yang harus dibenahi kadar kualitas demokrasi lokal.
Ditengah-tengah dentuman Iklim politik Indonesia yang maha dahsad  di tahun 2008 sekarang banyak daerah yang menggelar pilkada langsung hampir di seluruh seantero Indonesia. Suksesi politik lokal tersebut termasuk daerah NTB dan Kota Bima yang insyaalah tanggal 19 Mei akan diadakan pencoblosan. Tentu suasana percaturan politik semakin menegangkan para kandidat serta pendukung-pendukungnya, berbagai model manuver politik yang dikemas dengan berbagai alasan pembenaran semu yang dianggap strategis dan jitu dalam mempengaruhi political choise masyarakat akan siap dilakukan karena suasana demikian dalam politik praktis kecendrungannya seluruh energi yang tersisah akan dikerahkan dengan cara-cara yang tidak mencerminkan permainan yang menjunjung tinggi fatsoen politik yaitu jujur, adil dan terbuka, pada sisi lain juga memperlihatkan arogansi dan ambigiusitas para calon. Nah, Pada momen demikian masyarakat dituntut untuk tidak terjebak oleh hasutan-hasutan politik melalui pemberian yang bersifat sesaat karena akan menentukan masa depan lima tahun kedepan adalah pilihan dalam waktu lima detik dibalik bilik suara hari ini.    
Pada sisi lain substansi pilkada yang membuka kran pesta demokrasi lokal yang memberikan ruang kompetisi seluas-luasnya kepada putra putri daerah yang memimpikan dirinya menjadi pemimpin masyarakatnya dengan melalui jalur partai politik. Namun, ditegah hentakan dan dentuman pentas kompetisi politik banyak akrobat-akrobat politik  yang mewarnai hari-hari kita. Setidaknya akrobat-akrobat politik yang dimainkan oleh elit-elit politik tersebut kalau kemudian tidak dilakukan tindakan preventif secara bersama-sama akan melabrak nilai-nilai demokratisasi yang kita perjuangkan melalui ongkos politik yang begitu mahal itu, antara lain hemat penulis yang perlu kita antisipasi demi menciptakan pilkada yang demokratis pula:
Pertama, bisa kita lihat sejak tahapan penjaringan calon oleh partai politik. Dimana tradisi rutinitas demokrasi dalam melakukan sirkulasi kepemimpinan lima tahunan sekali demi melahirkan pemimpi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, namun konstelasi politik partai pada momen Pilkada sering menampilkan “politik ajimumpung” yaitu menganggap pilkada sebagai komoditas politik yang menjanjikan fulusiologis. Sehingga banyak yang terjadi bukan mengusung kader yang memiliki integritas diri, ability secara keilmuan dan pengalaman yang memadai. Akan tetapi siapa yang banyak uang itulah yang diusung. Nilai idealitas partai secara otomatis diukur dengan volume rupiah, dalam konteks ini pantas kiranya Kar Max mengatakan uang sebagai pelacur universal dalam artian uang mengijinkan pertukaran segala hal untuk segala hal. pilahan pragmatis itulah akan membunuh pilihan rasional. bukan bagaimana smestinya nilai perjuangan partai yang esensial itu diperjuangkan. Hal demikian membuat antar kader partai terjadi konflik yang berbuntut pada terciptanya fragmentasi diinternal partai. Sehingga Berbicara partai yang sehat sebagai ketentuan terciptanya iklim yang demokratis akan jauh dari harapan.  
Kedua, tahapan kampanye. Masa ini idealnya adalah kesempatan para calon untuk menyampaikan visi misi kepada masyarakat secara terbuka, agar kemudian diharapkan masyarakat bisa memilah dan memilih mana yang terbaik dari yang baik. Upaya sugestikan keyakinan masyarakat Justru tidak akan terjadi kalau kemudian kampaye dijadikan media ajang pertunjukan bantai membantai antara satu dengan yang lain, ajang unjuk kekuatan kapital serta ajang janji-janji politik semu. Pada suasana demikian juga sering terjadi bentrok antar massa kandidat seperti yang terjadi pada kampaye dikota bima baru-baru ini. Masyarakat yang masih kurang berkesadaran politik menjadi tumbal atas akrobat-akrobat politik yang dimainkan oleh elit-elit politik yang paham tentang kondisi masyarakat yang masih paternalistik dan loyalitas buta terhadap salah satu patron. Pendidikan politik yang sehat justru semakin jauh dari kenyataan kalau cara main elit-elit politik masih menggunakan cara-cara klasik tersebut.
Ketiga adalah tahap yang sering kita sebut “minggu tenang”. Minggu tenang ini dalam konstelasi politik praktis sebenarnya tidak ada yang tenang hanya saja istilahnya saja yang tenang. Karena secara psikologis semua calon dan pendukungnya memikirkan limit waktu perjuangan tinggal hitungan hari untuk meraih dukungan masyarakat. Pada kesempatan ini banyak pelanggaran yang segaja dilakukan oleh tim sukses masing-masing calon demi sebuah cita-cita kemenangan. Bentuk pelanggaran itu yang sering kita sebut antara lain money politics, sembako politik seperti yang terjadi di Kelurahan Na’e oleh salah satu tim pemenang calon tertentu, dan sejenisnya akan bermain dibalik kemasan silaturrahim keluarga besar serta pembenaran-pembenaran lainya. Tindakan-tindakan demikian tentu akan mencedrai esensi Pilkada. Karena kompetisi yang sehat dan jujur adil gagal diciptakan dalam artian sebenarnya.
Kempat adalah pada tahap penetapan pemenang oleh KPUD. Dari empat tahap itu memiliki bobot sensitifas tinggi kadarnya dalam kultur perpolitik kita (baca pilkada indonesia) yang akan berpotensi mencedrai esensi dari pada Pilkada itu sendiri. KPUD dan PANWASLU sebagai penyelenggara dan pemonitoring yang diamanatkan oleh undang-undang dituntut untuk cekat dan tegas melihat, mendengar pelanggaran yang tidak mengindahkan aturan main.
Lembaran akhir pesta demokrasi adalah pengumuman pemenang oleh KPU. Namun sesungguhnya pada tahap ini suhu politik sangat tinggi derajat kerusakannya dalam mencedrai tujuan pilkada. Fenomena politik pada tahap ini hampir diseluruh seantero daerah bumi indonesia banyak dinodai oleh ketidak siapan calon untuk menerima kekalahan. Contoh kasualistik adalah kasus pilkada lamongan tahun 2006 dimana massa salah satu calon membakar kantor KPUD dan rumah calon yang menang.
Persoalan yang paling substansial dalam kultur politik kita adalah kesiapan para calon untuk kalah-menang belum teruji. Sesungguhnya yang sering terjadi dalam konstelasi perpolitikan elit politik kita sampai hari ini masih mengedepankan ambisi-ambisi politik yang berlebihan kadar kewajaranya sehingga mudah melahirkan ekspresi-ekspresi barbarisme massa yang tidak terkendali.
Menelitik dari potensi membelotnya substansi pilkada diatas perlu kita ajukan Pertanyaan yang pantas kita pertanyakan melalui momen Pilkada Kota Bima sekarang adalah PILKADA UNTUK SIAPA? Kalau pilkada dimaknai sebagai pertarungang antar elit-elit politik demi kepuasan ambisi sesaat, masih pantaskah kita maknai Pilkada sebagai salah satu pilar utama demokrasi?.
Untuk menjaga skenario politik elit politik yang absurditas tentang kedaulatan rakyat, semogah lewat pesta demokrasi lokal yang digelar didaerah kita tercinta ini semua para calon walikota dan wakilil walikota Bima periode 2008-20013 siap menang dan lebih-lebih siap untuk kalah sebagai bentuk pendidikan politik yang riil bagi masyarakat dan bersama-sama bersepakat untuk membiarkan rakyat memilih sesuai dengan hati nuraninya tampa harus tidak mengindahkan norma hukum dan norma agama, serta norma sosial yang berlakuka dimasyarakat demi menciptakan kedaulatan rakyat yang sebenar-benarnya.
Semua mata menuju kelangit sejenak dengan berharap Pilkada hari ini tidak melahirkan penguasa hasil skenario politik tingkat tinggi antara beberapa kepentigan kelompok politik pragmatis, demi tidak melahirkan pemimpi yang memiliki gelar sebagai arsitek agung yang sanggup membangun kedamaian dengan tiang ketidak adilan, mampu menegakkan kebersamaan dengan landasan kecurangan, bisan memimpikan kerukunan dengan mempertahankan penindasan.
Opini Koran Suara Mandiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar