Kamis, 23 Februari 2012

Pemikiran Max Weber, Tentang Class, Status, and Party



A.    PENDAHULUAN
Maximilian Weber lahir pada tanggal 21 April 1864 dan wafat tanggal 14 Juni 1920, adalah seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog dari Jerman yang dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi dan administrasi negara modern. Karya utamanya berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan pemerintahan, meski ia sering pula menulis di bidang ekonomi. Karyanya yang paling populer adalah esai yang berjudul Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, yang mengawali penelitiannya tentang sosiologi agama. Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur. Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat modern.
Berbicara tentang pemikiran para filosof yang hidup sebelum dan pada zaman Max Weber serta sampai abad 19, kita ibarat orang yang menggali artefak-artefak masa lampau yang tersimpan kekuatan magis sehingga memberikan motivasi, inspirasi, dalam rangka melihat dan menata struktur masa depan yang lebih baik. Pemikiran Max Weber tentang kelas, staus, dan partai adalah merupakan tiga dimensi yang membaca fakta sosial, dalam rangka melihat kecenderungan masyarakat untuk melakukan perubahan dan kekuatan atau pengaruh. Pemikirannya dianggap luas dan komprehensif dalam melihat struktur masyarakat, Itu lah yang membedakannya dengan Karl Max yang hidup pada zaman sebulnya.
Pembahasan Weber akan kelas, status, dan partai dengan demikian memastikan hal-hal ini sebagai tiga dimensi dari tingkatan, sedangkan tiap dimensi ini terpisah satu sama lain, serta menempatkan bahwa pada suatu tingkat empiris, tiap dimensi itu bisa saling mempengaruhi secara sebab akibat[1].
Sesungguhnya, rangkaian dari tiga dimensi pemikiran Weber adalah mencoba memberikan pemahaman terhadap kita, bahwa kekuatan atau kelompok sosial tidak hanya sesempit seperti pemahaman atau pemikiran Karl Marx tentang pengaruh polah hubungan produksi (ekonomi) yang antagonistik yang membentuk kelas penindas (kapitalis) dan kelas proletar (buruh), namun lebih luas dari pemahaman tersebut.
Dalam konteks waktu ini, orang seringkali membandingkan pemikiran Weber dengan Marx. Soiologi Weberian dipandang sebagai salah satu alternatif pemikiran tentang kelas yang sebelumnya didominasi oleh arus pemikiran Marxian. Walaupun mempunyai concern yang sama terhadap fenomena kelas dan struktur dalam masyarakat namun Weber dan Marx menghasilkan dua aras pemikiran yang berbeda. Bila Marx lebih dikenali dengan karakter utama reduksionis dan deterministik dalam pemikirannya, Weber justru memperlihatkan kompleksitas dan pluralisme dalam memandang fenomena sosial di masyarakat. Namun, secara garis besar, dalam keseluruhan tulisannya dapat dikatakan bahwa Max Weber sangat dipengaruhi oleh Marx dalam karya-karyanya.
Weber mengembangkan analisis sosial yang jauh lebih luas dari Marx yang selalu berawal dan berakhir dalam dimensi ekonomi. Perhatian Weber terhadap faktor-faktor pembentuk struktur masyarakat diluar ekonomi meliputi nilai, religi, ide dan budaya yang dianggapnya mempunyai peran yang sejajar dengan faktor ekonomi. Inilah titik tolak yang menjadi pembeda antara Marx dan Weber dimana Marx menganggap ekonomi adalah dasar utama bagi pembentukan struktur dalam masyarakat.
Perbedaan diantara dua pemikir besar ini sangat mungkin disebabkan oleh dua hal. Pertama adalah konteks sosial yang dihadapi keduanya sangat berbeda, Weber hidup setelah Marx ketika kapitalisme telah jauh berkembang dan menunjukkan eksisitensi bentuk dan pola produksi yang telah berubah dengan bentuk awal yang di eksaminasi oleh Marx. Sedangkan yang kedua, bila Marx menjadikan Inggris, khususnya, dan Eropa Barat pada umumnya, sebagai pijakan pengamatan realitas sosial, Weber justru mengalami fase penting perkembangan intelektualnya di Amerika yang struktur dan kostruksi masyarakatnya jauh berbeda dengan Inggris. Oleh karena itu penting untuk mengkaji kembali pokok pikiran Max Weber tentang status, kelas, dan partai.

B.     POKOK MASALAH
Sebagaimana uraian singkat diatas, bahwa pemikiran Max Weber tentang pengaruh perkembangan dan perubahan struktur masyarakat yang dinamis, biasa kita tilik dari pemikirannya tentang status, kelas dan partai. Ole karena itu, dalam poko pembahasan ini adalah “Bagaimana pemikiran Weber tentang class, staus, dan party sebagai sumber kekuasaan?”.

C. PEMBAHASAN.
Karyanya Weber yang paling populer adalah esai yang berjudul Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, yang mengawali penelitiannya tentang sosiologi agama. Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur. Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat modern.
Karakter utama analisa Weber tentang struktur dalam masyarakat adalah usaha untuk melakukan kompromi antara dua mainstream pemikiran yang berlawanan. Dua mainstream itu adalah positivism, yang bersikeras untuk menggunakan rigiditas ilmu alam, seperti fisika dan kimia, untuk melakukan eksaminasi terhadap masyarakat, dan di sisi lain, mereka yang menolak untuk menyamakan fenomena sosial dalam masyarakat dengan fenomena alam. Weber meletakkan sosiologi tepat ditengah-tengah kedua disiplin yang saling berkontestasi tersebut. Di antara kekuatan generalisasi ilmu alam dan subyektifitas ilmu sejarah yang mengedepankan keunikan single event sebagai fokus kajian. Hal ini membuat sosiologi mampu membentuk sebuah teori reguler, yang tidak mampu disediakan oleh sejarah, namun teori tersebut bukanlah sebuah koridor penjelas yang rigid seperti yang ada pada ilmu alam. Alasan kuat untuk mengambil posisi ini adalah perbedaan mendasar subject matter antara manusia dan alam. Dua atom mungkin akan berinteraksi dengan cara yang sama sepanjang masa dengan prasyarat-prasyarat kondisi yang ceteris paribus, namun individu atau kelompok manusia akan berinteraksi dengan pola yang berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan konteks sosial yang ada.
Konsep penting pertama Weber dalam membangun posisi epistemologi disiplin sosiologinya adalah probabilitas. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa X mungkin akan menghasilkan Y, pada beberapa, sebagian besar, atau bahkan jarang momentum. Berdasarkan ini kita dapat menyimpulkan, bahkan memprediksikan kemungkinan X akan menghasilkan Y. Satu hal yang tidak bisa kita lakukan dalm ilmu sosial adalah memastikan bahwa X akan menghasilkan Y.
Konsep kedua adalah causal pluralism. Konsep ini menerangkan mengapa seringkali fenomena sosial berubah tidak sesuai dengan prediksi kita. Dalam anggapan Weber, seringkali sesorang mengesampingkan banyak faktor dalam usaha untuk menjelaskan sebuah fenomena. Padahal seringkali faktor-faktor tersebut justru menjadi penentu kenapa deviasi bisa terjadi. Maka penting untuk memperhitungkan berbagai faktor penyebab dari fenomena sosial yang terjadi. Penjelasan terhadap suatu fenomena sosial tidak dapat bertolak hanya dari satu faktor penyebab saja melainkan harus diawali dari deskripsi dari bermacam-macam faktor yang kemudian dapat dianalissi lebih lanjut mana yang menjadi faktor dominan.
Oleh sebab itu pembahasan pemikiran Weber akan kelas, status, dan partai dengan demikian memastikan hal-hal ini sebagai tiga dimensi dari tingkatan, sedangkan tiap dimensi ini terpisah satu sama lain, serta menempatkan bahwa pada suatu tingkat empiris, tiap dimensi itu bisa saling mempengaruhi secara sebab akibat.

Pemikiran Max Weber tentang Class, Status, dan Party.
1. Tentang kelas
Economy and society memuat dua bagian, yaitu mengenai kelompok kelas dan status.....Weber tidak menyelesaikan suatu penuturan analisis yang mendetail tentang gagasan kelas serta kaitannya dengan dasar-dasar lain dari tingkatan dalam masyarakat. Konsepsi kelas dari Weber bertolak dari analisisnya yang menyamaratakan tindakan ekonomi di suatu pasar. Tindakan ekonomi didefinisikan sebagai prilaku yang berusaha, dengan cara-cara damai, untuk memperoleh penguasaan atas keperluan-keperluan yang diingini. Keperluan-keperluan itu meliputi, baik benda maupun jasa. Pola hubungan ekonomi yang membebaskan diri dari pertalian-pertalian khusus dan dari kewajiban-kewajiban struktur komunitas lokal, dan menjadikan ditentukan secara berubah-ubah oleh kesempatan-kesempatan materil yang dipunyai seseorang untuk untuk menggunaan benda benda tidak bergerak, barang atau jasa-jasa, yang bisa ditukarkan di pasar yang bersaingan. Dari sinilah ”perjuangan kelas” dimulai, demikian kata weber[2].
Dengan kata lain, Mereka yang mengambil bagian dalam pasar yang sama atau ”situasi kelas” di pengaruhi keadaan-keadaan darurat ekonomi yang sama, secara sebab akibat mempengaruhi ukuran material dari eksistensinya dan dari pengalaman hidup pribadi yang bisa mereka nikmati Suatu ’kelas’ adalah suatu timbunan pribadi-pribadi, yang sekaligus berada bersama-sama dalam kelas situasi yang sama. Dalam kaitan ini, Mereka yang tidak mempunyai benda apa-apa dan mereka yang hanya bisa menawarkan jasa di pasar, di bagi sesuai dengan jenis-jenis jasa yang mereka tawarkan adalah sama saja seperti para pemilik benda yang bisa di beda-bedakan menurut apa saja yang mereka miliki dan bagaimana mereka menggunakannya untuk maksud-maksud ekonomi[3].
Weber juga mengikuti Marx dalam membedakan antara mereka yang mempunyai barang, kelas rentenir dan kelas wiraswasta, yang disebut oleh Weber ’kelas-kelas pemilik’ dan kelas-kelas niaga[4].
1.      Kelas pemilik adalah mereka yang memiliki benda dan menerima sewaan oleh karena pemiliknya atas tanah, tambang dan seterusnya. Kaum rentenir adalah kelas pemilik yang secara positif berkeuntungan. Kelas pemilik yang berkeuntungan negatif meliputi mereka semua yang tidak mempunyai barang/keterampilan untuk di tawarkan.
2.      kelas-kelas niaga adalah mereka yang berkeuntungan positif yang bisa merupakan entrepreneur yang menawarkan benda-benda untuk di jual di pasar ataupun yang berpartisipasi dalam pembiayaan kegiatan itu, misalnya para bankir.
Disamping itu, Weber melihat ada kelas-kelas lain yang disebutnya ’kelas sosial’. Weber menuturkan komposisi kelas sosial dari kapitalisme yaitu terdiri dari:
1.Kelas pekerja tangan.
2.Kaum borjuis kecil.
3.            Pegawai kantoran yang tidak mempunyai kekayaan, para ahli teknik dan kaum cendekiawan.
4.            kelompok-kelompok entrepreneur dan kaum pemilik tanah yang cenderung untuk mendapatkan kemudahan dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan pendidikan.
Kelas-Kelas dalam Kapitalisme
Tema tentang social inequality dalam pemikiran Weber terdapat dalam konsepnya tentang kelas, yang juga menjadi konsep sentral dalam bahasan Marx. Persamaan mendasar antara Weber dan Marx adalah titik tolak dari konsep kelas mereka adalah ekonomi. Perbedaannya adalah, bila Marx lebih banyak menekankan hubungan antar kelas dalam konteks moda produksi, terutama relasi dominatif dan eksploitatif yang menjadi pola utama hubungan sedangkan distribusi ekonomi cenderung diabaikan, Weber, justru menekankan pada sisi tersebut dalam membangun konsepsinya tentang kelas. Pada dasarnya Weber juga membahas tentang pertentangan kelas dan dominasi didalamnya, namun, sekali lagi, concern utama Weber adalah dalam hal bagaimana distribusi kekayaan menjadikan seseorang dalam masyarakat lebih kaya dari yang lain.
Analogi untuk memahami kelas dalam masyarakat pada pemikiran Weber adalah Pasar. Kategorisasi masyarakat secara ekonomis terbentuk dalam model pasar, yang merupakan sistem pertukaran kompetitif yang memungkinkan individu untuk saling bertukar untuk memenuhi kebutuhannya dan mengejar kepentingannya. Nilai-nilai yang terkandung dalam konsep ini adalah apa yang disebut Weber sebagai “kegunaan”, yang menyangkut juga nilai material seperti properti dan kepemilikan dan kemampuan kerja manusia seperti ketrampilan individual dan tenaga kerja. Jadi kelas, dalam konsepsi Weber adalah agregasi pemaknaan bersama masyarakat terhadap “situasi” di dalam pasar yang sama-sama menyediakan kepentingan ekonomi dan kesempatan untuk mencapai kepentingan.
Dari penjelasan di atas kita tahu bahwa Weber memulai bahasannya tentang struktur ekonomi dalam masyarakat pada titik yang sama dengan Marx yaitu tentang mereka yang memiliki properti dan mereka yang hanya memiliki tenaga kerja untuk dipertukarkan dalam pasar. Namun Weber menempuh jalan yang berbeda dengan Marx dengan menunjukkan kompleksitas tentang jenis properti yang menajdi modal individual serta keteranpilan macam apa yang ditawarkan. Perbedaan ini akan menciptakan berbagai macam kelas dalam kelas sederhana yang dimaksud oleh Marx. Kelas pemodal masih terbagi berdasarkan berbagai macam modal yang dimiliki serta kelas pekerja sendiri yang masih terbagai oleh berbagai macam keterampilan yang dimiliki oleh pekerja tersebut. Definisi ini membawa kita pada kerumitan tersendiri karena setiap definisi akan menciptakan berbagai kelas dalam masyarakat jadi setiap individu dalam sistem ekonomi kapitalisme modern yang sangat kompleks dapat mewakili kelas yang berbeda-beda sehingga konsep kelas tersebut dengan sendirinya tidak berguna.
Pada level operasional dari konsep ini sebenarnya Weber juga tidak berlaku serumit di atas. Konsep kelas Weber, lagi-lagi, berada ditengah-tengah antara konsep kelas bipolar Marx yang sangat sederhana dengan dengan konsep puralismenya yang sangat tegas. Pada akhirnya konsep ini juga tidak dapat dijelaskan secara gamblang karena inkonsistensi tulisan Weber yang tidak sepenuhnya selesai dalam Economy and Society. Kelas dalam konsepsi Weber tidak hanya berdasarkan pada perbedaan kepemilikan dalam ekonomi melainkan juga berhubungan dengan konsep terpisah tentang kelas sosial. Bila secara ekonomi kelas merujuk pada kesamaan situasi ekonomi dan kepentingan ekonomi dalam satu kelompok masyarakat, tetapi dalam konsepsi kelas sosial hal itu tidak secara otomatis terjadi. Kelas (secara ekonomi) tidak selalu secara langsung membentuk suatu grup atau kelompok sosial. Individu dalam kelas-kelas ekonomi tidak memiliki kesadaran akan persamaan situasi atau kepentingan seperti yang dimiliki suatu kelompok atau komunitas. Jadi kelas sosial adalah kelas ekonomi yang telah memiliki rasa persatuan dan kesadaran bersama sebagai suatu organisasi.

Kesadaran kelas
Menurut pandangan Weber, munculnya Kesadaran kelas mudah sekali berkembang dalam keadaan-keadaa sebagai berikut[5]:
1.            Musuh kelas adalah suatu kelompok dalam persaingan ekonomi yang langsung dapat di lihat; contoh, kelas buruh dengan sangat mudah di organisasi untuk melawan pemegang saham akan tetapi hampir semua si pemilik pabrik dan eksekutif bisnis yang harus menampung perlawanan kaum buruh dalam konflik upah.
2.            Sejumlah besar orang-orang yang ada dalam suatu situasi kelas yang sama.
3.             komunikasi dan pertemuan mudah dikordinisir.
4.            Kelas yang menjadi pokok soal, diberikan kepemimpinan, seperti saja dari kaum cendekiawan yang menyajikan sasaran-sasaran jelas dan komprehensif bagi kegiatan mereka.
2. Tentang Status
Komplikasi atas dasar status, bagi Weber, bukan merupakan suatu ”komplikasi” dari hirarki-hirarki kelas semata-mata. Sebaliknya kelompok-kelompok status bisa bertindak untuk mempengaruhi secara langsung kegiatan pasar dan sambil lalu bisa mengenakan pengaruhnya pada pola hubungan kelas. Dengan bagaimana pengaruh ini terjadi ialah dengan pembatasan lingkungan-lingkungan ekonomi, yang diperbolehkan untuk dikuasai oleh pasar[6].
Kelompok status adalah sekelompok orang, yang mempunyai situasi status yang sama. Kelompok-kelompok status, tidak seperti kelas-kelas, hampir selamanya menyadari posisi bersama mereka. Dalam hubungan dengan kelas-kelas, kelompok status paling dekat kepada kelas ”sosial” dan paling tidak mirip kepada kelas ”niaga”.

3. Tentang Partai
[7]Baik keanggotaan Kelompok kelompok kelas maupun kelompok status, bisa saja merupakan landasan bagi kekuasaan sosial, akan tetapi pembentukan partai politik merupakan pengaruh lanjut dan secara analisis atas pembagian kekuasaan. Suatu ’partai’ yang mempunyai kaitan dengan sesuatu asosiasi sukarela apa pun mempunyai maksud memperoleh penguasaan pengarahan sesuatu organisasi agar bisa melaksanakan kebijakan-kebijakan tertentu di dalam organisasi tersebut. Makna dari definisi ini, adalah bahwa partai-partai bisa berada dalam bentuk organisasi apa saja sepanjang ada pembentukan kelompok-kelompok yang di kerahkan secara bebas, jadi bisa dari mulai perkumpulan olah raga sampai ke negara.
Landasan untuk mendirikan partai-partai, bahkan partai-partai modern, beraneka ragam. Suatu situasi kelas atau situasi bersama, bisa saja menjadi dasar satu-satunya bagi penerimaan suatu anggota partai politik, akan tetapi hal ini jarang terjadi.
Pemikiran Max Weber tentang class, status, dan party menyimpulakan, bahhwa, baik kelompok kelas dan kelompok status bisa menjadi landasan bagi kekuatan sosial. Akan tetapi pembentukan partai-partai politik merupakan pengaruh lanjut dan secara analisis bebas atas pembagian kekuasaan. Suatu ”partai” yang mempunyai kaitan dengan sesuatu asosiasi sukarela apapun mempunyai maksud memperoleh penguasaan pengarahan sesuatu organisasi agar bisa melaksanakan kebijakan-kebijakan tertentu dalam organisasi tersebut. Makna dari definisi ini, adalah bahwa partai-partai bisa berada dalam bentuk apa saja sepanjang ada pembentukan kelompok-kelompok yang dikerahkan secara bebas.
Dizaman modern sekarang, istilah partai tidak asing lagi. Karena dipengaruhi oleh peran media cetak dan media elektronik serta pamflet-pamflet yang ditempel dipagar rumah, baliho dan spanduk berjejeran di jalan raya yang mudah diakses oleh masyarakat. Kata “partai” dulu dalam zaman keemasan para aristokrasi di gunakan untuk menggambarkan faksi-faksi dalam republik masa lalu, pasukan-pasukan yang terbentuk pada masa Renaisance Italia, kelab-kelab tempat berkumpul anggota dewan-dewan revolusi, komite-komite yang mempersiapkan pemilihan umum dalam monarki konstitusional, dan organisasi-organisasi sosial yang membentuk opini publik dalam negara-negara demokrasi modern. Menurut Maurice Duverger[8], penggunaaan nama yang sama itu dapat dibenarkan karena memiliki hubungan yang mendasarinya, semua lembaga ini berperan memenangkan kekuasaan politik dan menerapkan-nya.
Landasan untuk mendirikan partai, bahkan partai-partai modern, beraneka ragam. Suatu situasi kelas atau situasi bersama, bisa saja menjadi satu-satunya bagi penerimaan anggota suatu partai politik, tetapi hal ini jarang terjadi, didalam tiap kasus khusus, partai-partai bisa mewakili kepentingan yang di tentukan oleh situasi kelas atau situasi status.....akan tetapi partai-partai itu tidak perlu merupakan partai kelas murni ataupun partai status murni; dalam kenyataan, partai-partai lebih mungkin menjadi jenis-jenis campuran, bahkan kadang-kadang diluar pembagian seperti itu.
Hebert Feith dan Lance Castle[9] menggunakan pemikiran Weber dalam menganalisis masyarakat politik Indonesia pasca kemerdekaan, yaitu dari tahun 1945 sampai pada tahun 1965. menurut pakar politik Indonesianis ini bahwa dalam masyarakat Indonesia terdapat lima aliran politik, yaitu Islam, Nasionalisme Radikal, Komunisme, Sosialisme Demokrat, dan Tradisionalisme Jawa. Aliran-aliran politik itu kemudian berwujud dalam bentuk partai politik. Masyumi dan NU sebagai perwujudan aliran politik Islam, PNI sebagai perwujudan Nasionalisme Radikal, PKI sebagai perwujudan Komunisme, dan PSI sebagai perwujudan Sosialisme Demokrat. Sementara aliran Tradisonalisme Jawa meskipun tidak dalam wujud partai politik yang besar, ia mempengaruhi partai politik seperti NU, PKI, dan PNI. Akibat banyaknya aliran politik tersebut.
Dalam melihat tentang kemungkinan terjadinya pembentukan partai politik diluar kesamaan status dan kelas weber. Josep Lapalombara  dan Myron Weiner melihat terbentuknya sebuah partai[10]. Pertama, teori kelembagaan yang melihat ada hubungan antara parlemen awal dan timbulnya partai politik. Kedua, teori situasi historis yang melihat timbulnya partai politik sebagai upaya suatu sistem politik untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan dengan perubahan masyarakat secara luas. Ketiga, teori pembangunan yang melihat partai politik sebagai produk modernisasi sosial ekonomi.
Teori pertama mengatakan partai politik dibentuk oleh kalangan legislatif dan eksekutif ini disebabkan karena kebutuhan para anggota parlemen (yang ditentukan berdasarkan pengangkatan) untuk mengadakan kontak dengan masyarakat dan membina dukungan dari masyarakat. Setelah partai politik terbentuk dan menjalankan fungsi, kemudian muncul partai politik lain yang dibentuk oleh kalangan masyarakat. Partai politik terakhir ini biasanya dibentuk oleh pemimpin masyarakat yang sadar politik berdasarkan penilaian bahwa partai politik yang dibentuk pemerintah tidak mampu menanmpung dan memperjuangkan kepentingan mereka (rakyat). Hal terakhir ini sering kita temui dalam sejarah bangsa negara di Dunia.
Teori kedua menjelaskan krisis situasi historis terjadi manakalah suatu sistem politik mengalami masa transisi karena perubahan masyarakat dari bentuk tradisional yang berstruktur sederhana menjadi masyarakat modern yang berstruktur kompleks. Pada situasi ini terjadi berbagai perubahan, seperti pertambahan penduduk karena perbaiki fasilitas kesehatan, perluasan pendidikan, mobilitas okupasi, perubahan pola pertanian dan industri, partisipasi media, urbanisasi, ekonomi berorientasi pasar, peningkatan aspirasi dan harapan-harapn baru, dan munculnya gerakan populis. Perubaha-perubahan itu menimbulkan tiga macam krisis, yakni legitimasi, integrasi, dan partisipasi. Artinya, perubahan-perubahan mengakibatkan masyarakat mempertanyakan prinsip-prinsip yang mendasari legititimasi kewenangan pihak yang memerintah; menimbulkan masalah dalam identitas yang menyatukan masyarakat sebagai suatu bangsa; dan mengakibatkan timbulnya tuntutan yang semakin besar dalam proses politik. Untuk mengatasi tiga permasalah ini lah partai politik dibentuk. Partai politik yang berakar kuat dalam masyarakat diharapkan dapat mengendalikan pemerintahan sehingga terbentuk semacam pola hubungan kewenangan yang berlegitimasi antara pemerintah dan masyarakat. Partai politik yang terbuka bagi setiap anggota masyarakat dan beranggotakan pelbagai etnis, agama, daerah, dan pelapisan sosial ekonomi diharapkan dapat berperan sebagai pengintegrasi bangsa. Selanjutnya partai politik ikut serta dalam pemilihan umum sebagai sarana konstitusional mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan diharapkan dapat pula berperan sebagai saluran partisipasi masyarakat.
Teori ketiga melihat modernisasi sosial ekonomi, seperti pembangunan teknologi kominkasi berupa media massa dan transportasi, perluasan dan peningkatan pendidikan, industrialisasi, urbanisasi, perluasan kekuasaan negara seperti birokratisasi, pembentukan berbagai kelompok kepentingan dan organisasi profesi, dan penigkatan kemampuan individu yang mempengaruhi lingkungan, melahirkan suatu kebutuhan akan suatu organisasi plitik yang mampu memadukan dan memperjuangkan berbgai aspirasi tersebut. Jadi, partai politik merupakan produk logis dari modernisasi sosial ekonimi. Teori ketiga memiliki kesamaan dengan teori kedua, bahwa partai politik berkaitan dengan perubahan yang ditimbulkan modernisasi. Perbendaan kedua teori ini terletak dalam proses pembentukannya. Teori kedua mengatakan perubahan menimbulkan tiga krisis, sedangkan teori ketigan mengatan perubahan-perubahan itulah yang melahirkan kebutuhan adanya partai politik.

Kelas, Status dan Partai sebagai Sumber Kekuasaan
Pembentukan kelas-kelas yang berbeda dalam struktur dalam masyarakat, menurut Weber, harus didasarkan pada pluralitas sumber-sumbernya. Analisa pada fenomena ketidaksetaraan kelas harus dipadukan dengan dua ide yang sebenarnya berbeda secara konseptual dengan kela stetapi turut berperan dalam pembentukan perbedaan kelas dalam realitas sosial. Konsep-konsep tersebut adalah status dan partai.
Telah diuraikan diatas bahwa kelas adalah kategori yang bersifat individual berdasarkan kemampuan baik dalam hal ketrampilan maupun modal dalam sistem ekonomi (pasar). Status yang terdapat secara inheren dalam masyarakat, sangat berbeda dengan kelas. Masyarakat bagi Weber bukan hanya sekumpulan individu yang hidup bersama namun juga memiliki perasaan subyektif tentang keanggotaan bersama dan kesadaran kelompok yang terdefinisikan dengan baik. Status dalam masyarkat merupakan ciri khas gaya hidup atau cara mengatur kehidupan yang membedakannya dengan kelompok lain. Bila kelas keanggotaannya diakui lewat kekuatan ekonomi, status didapatkan dari sumber-sumber non-ekonomi seperti kehormatan sosial atau prestise yang didistribusikan dengan model-model tertentu. Jadi ada dua sistem representasi kekuasaan yang berlaku secara bersamaan dalam masyarakat.
Namun adakalanya dua sistem ini saling berhubungan, dalam artian individu yang menduduki kelas atas (secara ekonomi) juga memiliki status sosial yang tinggi pula. Dan bila status ini diakui dan dinyatakan dalam bentuk interaksi nyata antar anggota masyarakat maka telah terdapat kesadaran akan posisi dan perasaan in group yang kuat dari masing-masing anggotanya sehingga munculkan kelas sosial. Peranan sistem status dalam membentuk kelas sosial ini tampak nyata bila dalam perilaku keseharian seseorang akan memilih bergaul dengan orang lain yang mempunyai latar belakang yang sama baik secara sosial maupun ekonomi, jadi ada kesadaran kelas yang menyatukan mereka lebih dekat bila dibandingkan dengan orang lain dari kelas maupun status yang berbeda.
Dengan analisa struktur masyarakat yang lebih plural ini Weber ingin menunjukkan bahwa ada sumber-sumber kekuasaan lain selain ekonomi dalam struktur masyarakat. Jadi ada kemungkinan bagi individu untuk mengusahakan mobilitas vertikal dalam struktur sosial melalui jalan lain selain ekonomi. Hal ini juga menjelaskan sumber-sumber kemampuan aktor seperti Paus atau Karrdinal dalam mempengaruhi tindakan Raja atau para Bangsawan lain yangg notabene menduduki kelas tertinggi dalam ekonomi. Sumber kekuatan aktor seperti ini bukan dari sistem pasar ekonomis seperti yang tampak nyata dalam masyarakat namun berasal dari pemaknaan subyektif masyarakat yang menempatkan agama sebagai bagian penting dalam kehidupan masyarakat.
Kosep ketiga yang termasuk dalam bahasan distribusi kekuasaan dalam masyarakat perspektif Weberian adalah Partai. Partai dalam konsepsi Weber adalah asosiasi volunter pada sebuah sistem organisasi kolektif dalam mengejar kepentingan bersama. Partai yang diasumsikan oleh Weber lebih mengarah pada organisasi kepentingan atau profesi yang berfungsi sebagai kelompok penekan bukan partai politik seperti yang umumnya kita kenal. contohnya seperti Asosiasi Konsumen, Perkumpulan Dokter dan lain-lain.
Seperti juga pada keanggotaan kelas sosial dan kelompok status, dalam partai ini juga terdapat kesadaran kolektif dan solidaritas karena pada dasarnya pada kondisi tertentu kelompok status dan kelas sosial itu sendiri bisa dikatakan sebagai partai. Perbedaannya hanya pada bentuk formal organisasi dan administratif yang merepresentasi kelompok tersebut. Jadi, tidak semua kelas sosial atau kelompok status adalah partai begitupun sebaliknya. Overlapping konseptual ini menegaskan pluralitas dan konpleksitas struktur sosial Weberian. Partai, seperti juga kelas dan kelompok status, juga merupakan kekuatan sosial yang turut berperan dalam membentuk struktur sosial.

Kuasa, Dominasi dan Wewenang
Power merupakan salah satu konsep sentral dalam sosiologi Weberian terutama dalam hubungannya denga kajian social inequality. Dalam pandangan Weber, ketidaksetaraan dalam masyarakat merupakan buah dari perbedaan pencapaian individual dalam konteks pergulatan sosial (persaingan dan pertentangan antar kepentingan). Pergulatan ini adalah esensi makna dari politik menurut Weber. Power adalah faktor yang penentu hasil pergulatan sosial sekaligus yang menjaga kondisi ketidak-setaraan.
Power dalam definisi Weber adalah “kemungkinan individu, aktor dalam hubungan sosialnya berada dalam satu posisi yang mampu menyatakan kepentingannya tanpa mendapatkan tentangan”. Definisi ini membawa beberapa konsekuensi pada sifat kekuasaan itu sendiri yang sporadis, dan dapat berubah sewaktu-waktu. Sedangkan dominasi, dalam perspektif Weber, adalah bentuk khusus dari power. Dominasi adalah kondisi aktual power dalam konteks hubungan sosial ketika individu atau kelompok menerima posisi tertentu dalam kerangka struktural tertentu sebagai penerima perintah dari kelompok dominan. Dominasi menunjukkan adanya pola reguler yang dibangun untuk menunjukkan ketidaksetaraan berdasarkan power. Perbedaan antara power dan dominasi ini memungkinkan kita menganalisa praktik power sebagai suatu tindakan berkelanjutan dalam kerangka ketidaksetaraan sosial sebagai fenomena yang terstruktur. Jadi dominasi menjadikan power lebih bersifat tetap dan berkelanjutan dalam tataran praksis daripada pada level definisi seperti pada awalnya.
Secara operasional, konsep dominasi ini dapat dihubungkan dengan kategorisasi struktur masyarkat yang telah disusun oleh Weber sebelumnya yaitu kelas sosial, kelompok status, dan partai. Ketiga kategori dalam struktur masyarakat ini merupakan prinsip-prinsip dasar dalam praksis kekuasaan dalam realitas sosial. Dengan kata lain, anggota dari kelas sosial, kelompok status dan partai yang dominan dalan masyarakat akan dapat menyatakan kepentingannya secara reguler dalam satu struktur masyarakt tertentu.
Konsep selanjutnya akan membahas alasan individu atau masyarakat yang berada pada level bawah mau menerima posisi mereka yang tersubordinasi. Dalam pemikiran Weber, salah satu alasannya adalah adanya legitimasi yang menajadikan kelas-kelas atas mempunyai keabsahan untuk melakukan dominasi. Ada tiga macam legitimasi yang diajukan oleh Weber untuk menjelaskan fenomena dominasi dalam masyarakat berdasarkan sumber-sumbernya. Pertama adalah legitimasi yang didapatkan dari kualitas individual seorang pemimpin yang acapkali disebut sebagai legimasi karismatik. Kualitas inimeliputi kepemimpinan, wibawa, popularitas. Kedua adalah legitimasi yang didapatkan dari hukum atau peraturan yang telah ditetapkan, yang disebut legal legitimacy. Ketiga adalah legitimasi yang didapatkan dari hak-hak tradisional untuk memimpin oleh individu atau kelompok tertentu yang dianggap lebih tinggi kedudukannya oleh masyarakat, disebut traditional authority. Selain legitimasi, ada banyak faktor lain yang dapat menjadi alasan penerimaan atau kepatuhan individu dan masyarakat terhadap dominasi. Faktor tersebut antara lain kebiasaan yang tidak pernah dipikirkan lebih jauh, konvensi, dan lain-lain. Subjek yang tersubordinasi dan menjadi objek dominasi hampir tidak memilki kesempatan untuk berubah karena adanya kepentingan individual tertentu, ketakutan terhadap penggunaan kekuatan fisik dan lain-lain.
Uraian di atas menunjukkan berbagai variasi faktor-faktor dominasi dan legitimasi yang masih konsisten dengan pluralitas Weber. Elaborasi berbagai konsep legitimasi ini juga menunjukkan bukti pandangan awal Weber tentang kompleksitas dalam proses pembentukan realitas sosial sehingga perlu diperhitungkan dalam menganalisa fenomena sosial. Kompleksitas ini berguna dalam pengmbangan konsep power sebagai konsep yang bersifat pivotal untuk memahami ketidaksetaraan yang terjadi baik dalam level kelompok sosial yang dibedakan berdasarkan ras, gender, etnisitas dan usia.


D. KESIMPULAN
Bagi Weber terkait dengan adanya posisi ekonomi sebagai dasar kelas sebagaimana menurt Karl Marx tidak keberatan, hanya saja ia menambahkan dua elemen lain yaitu kelompok status dan kekuasaan politik (party). Ketiga dimensi ini bisa tumpang tindih dengan salah satu atau keduanya dalam banyak keadaan dan situasi. Namun, dalam hal lain berbeda dan bisa berdiri sendiri. Karena menurut Weber, struktur kekuasaan tidak harus setara dengan struktur otoritas. Otoritas adalah kemungkinan seseorang akan di taati atas dasar suatu kepercayaan akan legitimasi haknya untuk mempengaruhi.
Pembentukan kelas-kelas yang berbeda dalam struktur masyarakat, menurut Weber, harus didasarkan pada pluralitas sumber-sumbernya. Analisa pada fenomena ketidaksetaraan kelas harus dipadukan dengan dua ide yang sebenarnya berbeda secara konseptual dengan kelas tetapi turut berperan dalam pembentukan perbedaan kelas dalam realitas sosial. Konsep-konsep tersebut adalah status dan partai.












DAFTAR BACAAN

Anthony Giddens. Capitalism and Modern sosial theory analysis of wrinting of Marx, durkheim and Max Weber. Cabridge University Press; London. Diterjemah oleh Soeheba Kamadibrata, 1986, ”Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Suatu analisis karya tulis Marx, Durkheim dan Max weber”. UI Press jakarta.

Doyle Paul Jhonson, 1986. Teori Sosial Klasik Dan Modern. Penerjemah Robert, M.Z. lawang, PT Gramedia, jakarta

Riswanda Imawa. Membedah Politik Orde Baru. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Cetakan 1 Februari 1997.

Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta. PT Gramedia Widiasarana. 1999.

Lili Romli. Islam yes, partai islam yes. Sejarah perkembangan partai-partai Islam di Indonesia. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 2006.



[1] Anthony Giddens. Capitalism and Modern sosial theory analysis of wrinting of Marx, durkheim and Max Weber. Cabridge University Press; London. Diterjemah oleh Soeheba Kamadibrata, 1986, ”Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Suatu analisis karya tulis Marx, Durkheim dan Max weber”. UI Press jakarta,  hlm 200
[2] Anthony Giddens. Ibid  hlm 201
[3] Ibid. hlm 202
[4] Ibid hlm 202
[5] Ibid. hlm 203-204
[6] Ibid. hlm 205
[7] Ibid. hlm 209
[8] Maurice Duverger dalam Riswanda Imawa. Membedah Politik Orde Baru. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Cetakan 1 Februari 1997.
[9] Hebert Feith dan Lance Castle dalam Lili Romli. Islam Yes, Partai Islam Yes. Sejarah perkembangan partai-partai islam di Indonesia. Yogyakarta, diterbitkan atas kerjasama pustaka pelajar. 2006, Hal 107-108
[10] Josep Lapalombara  dan Myron Weiner. 1966. “The Origin And Development Of Polical Parties” dalam bukunya yang mereka sunting. Polical Parties And Political Development. Princeton: Princeton University Press. Hal 7-12. dalam Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta. PT Gramedia Widiasarana. 1999. Hal 113 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar