A.
PENDAHULUAN
Maximilian Weber lahir pada tanggal 21 April 1864 dan
wafat tanggal 14 Juni 1920, adalah seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog
dari Jerman yang dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi dan
administrasi negara modern. Karya
utamanya berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan
pemerintahan, meski ia sering pula menulis di bidang ekonomi. Karyanya yang
paling populer adalah esai yang berjudul Etika Protestan dan Semangat
Kapitalisme, yang mengawali penelitiannya tentang sosiologi agama. Weber
berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang
berbeda antara budaya Barat dan Timur. Dalam karyanya yang terkenal lainnya,
Politik sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga
yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah
definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat modern.
Berbicara tentang pemikiran
para filosof yang hidup sebelum dan pada zaman Max Weber serta sampai abad 19,
kita ibarat orang yang menggali artefak-artefak masa lampau yang tersimpan
kekuatan magis sehingga memberikan motivasi, inspirasi, dalam rangka melihat dan
menata struktur masa depan yang lebih baik. Pemikiran Max Weber tentang kelas,
staus, dan partai adalah merupakan tiga dimensi yang membaca fakta sosial,
dalam rangka melihat kecenderungan masyarakat untuk melakukan perubahan dan
kekuatan atau pengaruh. Pemikirannya dianggap luas dan komprehensif dalam
melihat struktur masyarakat, Itu lah yang membedakannya dengan Karl Max yang
hidup pada zaman sebulnya.
Pembahasan Weber akan kelas,
status, dan partai dengan demikian memastikan hal-hal ini sebagai tiga dimensi
dari tingkatan, sedangkan tiap dimensi ini terpisah satu sama lain, serta menempatkan
bahwa pada suatu tingkat empiris, tiap dimensi itu bisa saling mempengaruhi
secara sebab akibat[1].
Sesungguhnya, rangkaian dari
tiga dimensi pemikiran Weber adalah mencoba memberikan pemahaman terhadap kita,
bahwa kekuatan atau kelompok sosial tidak hanya sesempit seperti pemahaman atau
pemikiran Karl Marx tentang pengaruh polah hubungan produksi (ekonomi) yang
antagonistik yang membentuk kelas penindas (kapitalis) dan kelas proletar
(buruh), namun lebih luas dari pemahaman tersebut.
Dalam konteks waktu ini, orang
seringkali membandingkan pemikiran Weber dengan Marx. Soiologi Weberian
dipandang sebagai salah satu alternatif pemikiran tentang kelas yang sebelumnya
didominasi oleh arus pemikiran Marxian. Walaupun mempunyai concern yang sama
terhadap fenomena kelas dan struktur dalam masyarakat namun Weber dan Marx
menghasilkan dua aras pemikiran yang berbeda. Bila Marx lebih dikenali dengan
karakter utama reduksionis dan deterministik dalam pemikirannya, Weber justru
memperlihatkan kompleksitas dan pluralisme dalam memandang fenomena sosial di
masyarakat. Namun, secara garis besar, dalam keseluruhan tulisannya dapat dikatakan
bahwa Max Weber sangat dipengaruhi oleh Marx dalam karya-karyanya.
Weber mengembangkan analisis
sosial yang jauh lebih luas dari Marx yang selalu berawal dan berakhir dalam
dimensi ekonomi. Perhatian Weber terhadap faktor-faktor pembentuk struktur
masyarakat diluar ekonomi meliputi nilai, religi, ide dan budaya yang
dianggapnya mempunyai peran yang sejajar dengan faktor ekonomi. Inilah titik
tolak yang menjadi pembeda antara Marx dan Weber dimana Marx menganggap ekonomi
adalah dasar utama bagi pembentukan struktur dalam masyarakat.
Perbedaan diantara dua pemikir
besar ini sangat mungkin disebabkan oleh dua hal. Pertama adalah konteks sosial
yang dihadapi keduanya sangat berbeda, Weber hidup setelah Marx ketika
kapitalisme telah jauh berkembang dan menunjukkan eksisitensi bentuk dan pola
produksi yang telah berubah dengan bentuk awal yang di eksaminasi oleh Marx.
Sedangkan yang kedua, bila Marx menjadikan Inggris, khususnya, dan Eropa Barat
pada umumnya, sebagai pijakan pengamatan realitas sosial, Weber justru
mengalami fase penting perkembangan intelektualnya di Amerika yang struktur dan
kostruksi masyarakatnya jauh berbeda dengan Inggris. Oleh karena itu penting
untuk mengkaji kembali pokok pikiran Max Weber tentang status, kelas, dan
partai.
B.
POKOK MASALAH
Sebagaimana uraian singkat
diatas, bahwa pemikiran Max Weber tentang pengaruh perkembangan dan perubahan
struktur masyarakat yang dinamis, biasa kita tilik dari pemikirannya tentang
status, kelas dan partai. Ole
karena itu, dalam poko pembahasan ini adalah “Bagaimana pemikiran Weber
tentang class, staus, dan party sebagai sumber kekuasaan?”.
C. PEMBAHASAN.
Karyanya Weber yang paling
populer adalah esai yang berjudul Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme,
yang mengawali penelitiannya tentang sosiologi agama. Weber berpendapat bahwa
agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara
budaya Barat dan Timur. Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik sebagai
Panggilan, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki
monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang
menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat modern.
Karakter utama analisa Weber
tentang struktur dalam masyarakat adalah usaha untuk melakukan kompromi antara
dua mainstream pemikiran yang berlawanan. Dua mainstream itu adalah positivism,
yang bersikeras untuk menggunakan rigiditas ilmu alam, seperti fisika dan
kimia, untuk melakukan eksaminasi terhadap masyarakat, dan di sisi lain, mereka
yang menolak untuk menyamakan fenomena sosial dalam masyarakat dengan fenomena
alam. Weber meletakkan sosiologi tepat ditengah-tengah kedua disiplin yang
saling berkontestasi tersebut. Di antara kekuatan generalisasi ilmu alam dan
subyektifitas ilmu sejarah yang mengedepankan keunikan single event sebagai
fokus kajian. Hal ini membuat sosiologi mampu membentuk sebuah teori reguler,
yang tidak mampu disediakan oleh sejarah, namun teori tersebut bukanlah sebuah
koridor penjelas yang rigid seperti yang ada pada ilmu alam. Alasan kuat untuk
mengambil posisi ini adalah perbedaan mendasar subject matter antara
manusia dan alam. Dua atom mungkin akan berinteraksi dengan cara yang sama
sepanjang masa dengan prasyarat-prasyarat kondisi yang ceteris paribus, namun
individu atau kelompok manusia akan berinteraksi dengan pola yang berubah-ubah
sesuai dengan kondisi dan konteks sosial yang ada.
Konsep penting pertama Weber
dalam membangun posisi epistemologi disiplin sosiologinya adalah probabilitas.
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa X mungkin akan menghasilkan Y, pada
beberapa, sebagian besar, atau bahkan jarang momentum. Berdasarkan ini kita
dapat menyimpulkan, bahkan memprediksikan kemungkinan X akan menghasilkan Y.
Satu hal yang tidak bisa kita lakukan dalm ilmu sosial adalah memastikan bahwa
X akan menghasilkan Y.
Konsep kedua adalah causal
pluralism. Konsep ini menerangkan mengapa seringkali fenomena sosial
berubah tidak sesuai dengan prediksi kita. Dalam anggapan Weber, seringkali
sesorang mengesampingkan banyak faktor dalam usaha untuk menjelaskan sebuah
fenomena. Padahal seringkali faktor-faktor tersebut justru menjadi penentu
kenapa deviasi bisa terjadi. Maka penting untuk memperhitungkan berbagai faktor
penyebab dari fenomena sosial yang terjadi. Penjelasan terhadap suatu fenomena
sosial tidak dapat bertolak hanya dari satu faktor penyebab saja melainkan
harus diawali dari deskripsi dari bermacam-macam faktor yang kemudian dapat
dianalissi lebih lanjut mana yang menjadi faktor dominan.
Oleh sebab itu pembahasan pemikiran
Weber akan kelas, status, dan partai dengan demikian memastikan hal-hal ini
sebagai tiga dimensi dari tingkatan, sedangkan tiap dimensi ini terpisah satu
sama lain, serta menempatkan bahwa pada suatu tingkat empiris, tiap dimensi itu
bisa saling mempengaruhi secara sebab akibat.
Pemikiran Max Weber tentang Class, Status, dan Party.
1. Tentang kelas
Economy and society
memuat dua bagian, yaitu mengenai kelompok kelas dan status.....Weber tidak
menyelesaikan suatu penuturan analisis yang mendetail tentang gagasan kelas
serta kaitannya dengan dasar-dasar lain dari tingkatan dalam masyarakat. Konsepsi kelas dari Weber bertolak dari
analisisnya yang menyamaratakan tindakan ekonomi di suatu pasar. Tindakan
ekonomi didefinisikan sebagai prilaku yang berusaha, dengan cara-cara damai,
untuk memperoleh penguasaan atas keperluan-keperluan yang diingini.
Keperluan-keperluan itu meliputi, baik benda maupun jasa. Pola hubungan ekonomi
yang membebaskan diri dari pertalian-pertalian khusus dan dari
kewajiban-kewajiban struktur komunitas lokal, dan menjadikan ditentukan secara
berubah-ubah oleh kesempatan-kesempatan materil yang dipunyai seseorang untuk
untuk menggunaan benda benda tidak bergerak, barang atau jasa-jasa, yang bisa
ditukarkan di pasar yang bersaingan. Dari sinilah ”perjuangan kelas” dimulai,
demikian kata weber[2].
Dengan kata lain, Mereka yang
mengambil bagian dalam pasar yang sama atau ”situasi kelas” di pengaruhi
keadaan-keadaan darurat ekonomi yang sama, secara sebab akibat mempengaruhi
ukuran material dari eksistensinya dan dari pengalaman hidup pribadi yang bisa
mereka nikmati Suatu ’kelas’ adalah suatu timbunan pribadi-pribadi, yang
sekaligus berada bersama-sama dalam kelas situasi yang sama. Dalam kaitan ini,
Mereka yang tidak mempunyai benda apa-apa dan mereka yang hanya bisa menawarkan
jasa di pasar, di bagi sesuai dengan jenis-jenis jasa yang mereka tawarkan
adalah sama saja seperti para pemilik benda yang bisa di beda-bedakan menurut
apa saja yang mereka miliki dan bagaimana mereka menggunakannya untuk
maksud-maksud ekonomi[3].
Weber juga mengikuti Marx
dalam membedakan antara mereka yang mempunyai barang, kelas rentenir dan kelas
wiraswasta, yang disebut oleh Weber ’kelas-kelas pemilik’ dan kelas-kelas niaga[4].
1. Kelas pemilik adalah mereka yang memiliki
benda dan menerima sewaan oleh karena pemiliknya atas tanah, tambang dan
seterusnya. Kaum rentenir adalah kelas pemilik yang secara positif
berkeuntungan. Kelas pemilik yang berkeuntungan negatif meliputi mereka semua
yang tidak mempunyai barang/keterampilan untuk di tawarkan.
2. kelas-kelas niaga adalah mereka yang
berkeuntungan positif yang bisa merupakan entrepreneur yang menawarkan
benda-benda untuk di jual di pasar ataupun yang berpartisipasi dalam pembiayaan
kegiatan itu, misalnya para bankir.
Disamping itu, Weber melihat
ada kelas-kelas lain yang disebutnya ’kelas sosial’. Weber menuturkan komposisi
kelas sosial dari kapitalisme yaitu terdiri dari:
1.Kelas pekerja tangan.
2.Kaum borjuis kecil.
3.
Pegawai
kantoran yang tidak mempunyai kekayaan, para ahli teknik dan kaum cendekiawan.
4.
kelompok-kelompok
entrepreneur dan kaum pemilik tanah yang cenderung untuk mendapatkan kemudahan
dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan pendidikan.
Kelas-Kelas dalam Kapitalisme
Tema tentang social
inequality dalam pemikiran Weber terdapat dalam konsepnya tentang kelas,
yang juga menjadi konsep sentral dalam bahasan Marx. Persamaan mendasar antara
Weber dan Marx adalah titik tolak dari konsep kelas mereka adalah ekonomi.
Perbedaannya adalah, bila Marx lebih banyak menekankan hubungan antar kelas
dalam konteks moda produksi, terutama relasi dominatif dan eksploitatif yang
menjadi pola utama hubungan sedangkan distribusi ekonomi cenderung diabaikan,
Weber, justru menekankan pada sisi tersebut dalam membangun konsepsinya tentang
kelas. Pada dasarnya Weber juga membahas tentang pertentangan kelas dan
dominasi didalamnya, namun, sekali lagi, concern utama Weber adalah dalam hal
bagaimana distribusi kekayaan menjadikan seseorang dalam masyarakat lebih kaya
dari yang lain.
Analogi untuk memahami kelas
dalam masyarakat pada pemikiran Weber adalah Pasar. Kategorisasi masyarakat
secara ekonomis terbentuk dalam model pasar, yang merupakan sistem pertukaran
kompetitif yang memungkinkan individu untuk saling bertukar untuk memenuhi
kebutuhannya dan mengejar kepentingannya. Nilai-nilai yang terkandung dalam
konsep ini adalah apa yang disebut Weber sebagai “kegunaan”, yang menyangkut
juga nilai material seperti properti dan kepemilikan dan kemampuan kerja
manusia seperti ketrampilan individual dan tenaga kerja. Jadi kelas, dalam
konsepsi Weber adalah agregasi pemaknaan bersama masyarakat terhadap “situasi”
di dalam pasar yang sama-sama menyediakan kepentingan ekonomi dan kesempatan
untuk mencapai kepentingan.
Dari penjelasan di atas kita
tahu bahwa Weber memulai bahasannya tentang struktur ekonomi dalam masyarakat
pada titik yang sama dengan Marx yaitu tentang mereka yang memiliki properti
dan mereka yang hanya memiliki tenaga kerja untuk dipertukarkan dalam pasar.
Namun Weber menempuh jalan yang berbeda dengan Marx dengan menunjukkan
kompleksitas tentang jenis properti yang menajdi modal individual serta
keteranpilan macam apa yang ditawarkan. Perbedaan ini akan menciptakan berbagai
macam kelas dalam kelas sederhana yang dimaksud oleh Marx. Kelas pemodal masih
terbagi berdasarkan berbagai macam modal yang dimiliki serta kelas pekerja
sendiri yang masih terbagai oleh berbagai macam keterampilan yang dimiliki oleh
pekerja tersebut. Definisi ini membawa kita pada kerumitan tersendiri karena
setiap definisi akan menciptakan berbagai kelas dalam masyarakat jadi setiap
individu dalam sistem ekonomi kapitalisme modern yang sangat kompleks dapat
mewakili kelas yang berbeda-beda sehingga konsep kelas tersebut dengan
sendirinya tidak berguna.
Pada level operasional dari
konsep ini sebenarnya Weber juga tidak berlaku serumit di atas. Konsep kelas
Weber, lagi-lagi, berada ditengah-tengah antara konsep kelas bipolar Marx yang
sangat sederhana dengan dengan konsep puralismenya yang sangat tegas. Pada
akhirnya konsep ini juga tidak dapat dijelaskan secara gamblang karena
inkonsistensi tulisan Weber yang tidak sepenuhnya selesai dalam Economy and
Society. Kelas dalam konsepsi Weber tidak hanya berdasarkan pada perbedaan
kepemilikan dalam ekonomi melainkan juga berhubungan dengan konsep terpisah
tentang kelas sosial. Bila secara ekonomi kelas merujuk pada kesamaan situasi
ekonomi dan kepentingan ekonomi dalam satu kelompok masyarakat, tetapi dalam
konsepsi kelas sosial hal itu tidak secara otomatis terjadi. Kelas (secara
ekonomi) tidak selalu secara langsung membentuk suatu grup atau kelompok
sosial. Individu dalam kelas-kelas ekonomi tidak memiliki kesadaran akan
persamaan situasi atau kepentingan seperti yang dimiliki suatu kelompok atau
komunitas. Jadi kelas sosial adalah kelas ekonomi yang telah memiliki rasa
persatuan dan kesadaran bersama sebagai suatu organisasi.
Kesadaran kelas
Menurut pandangan Weber,
munculnya Kesadaran kelas mudah sekali berkembang dalam keadaan-keadaa sebagai
berikut[5]:
1.
Musuh
kelas adalah suatu kelompok dalam persaingan ekonomi yang langsung dapat di
lihat; contoh, kelas buruh dengan sangat mudah di organisasi untuk melawan
pemegang saham akan tetapi hampir semua si pemilik pabrik dan eksekutif bisnis
yang harus menampung perlawanan kaum buruh dalam konflik upah.
2.
Sejumlah
besar orang-orang yang ada dalam suatu situasi kelas yang sama.
3.
komunikasi dan pertemuan mudah dikordinisir.
4.
Kelas
yang menjadi pokok soal, diberikan kepemimpinan, seperti saja dari kaum cendekiawan
yang menyajikan sasaran-sasaran jelas dan komprehensif bagi kegiatan mereka.
2. Tentang Status
Komplikasi atas dasar status,
bagi Weber, bukan merupakan suatu ”komplikasi” dari hirarki-hirarki kelas
semata-mata. Sebaliknya kelompok-kelompok status bisa bertindak untuk
mempengaruhi secara langsung kegiatan pasar dan sambil lalu bisa mengenakan
pengaruhnya pada pola hubungan kelas. Dengan bagaimana pengaruh ini terjadi
ialah dengan pembatasan lingkungan-lingkungan ekonomi, yang diperbolehkan untuk
dikuasai oleh pasar[6].
Kelompok status adalah
sekelompok orang, yang mempunyai situasi status yang sama. Kelompok-kelompok
status, tidak seperti kelas-kelas, hampir selamanya menyadari posisi bersama
mereka. Dalam hubungan dengan kelas-kelas, kelompok status paling dekat kepada
kelas ”sosial” dan paling tidak mirip kepada kelas ”niaga”.
3. Tentang Partai
[7]Baik keanggotaan Kelompok kelompok kelas
maupun kelompok status, bisa saja merupakan landasan bagi kekuasaan sosial,
akan tetapi pembentukan partai politik merupakan pengaruh lanjut dan secara
analisis atas pembagian kekuasaan. Suatu ’partai’ yang mempunyai kaitan dengan
sesuatu asosiasi sukarela apa pun mempunyai maksud memperoleh penguasaan
pengarahan sesuatu organisasi agar bisa melaksanakan kebijakan-kebijakan
tertentu di dalam organisasi tersebut. Makna dari definisi ini, adalah bahwa
partai-partai bisa berada dalam bentuk organisasi apa saja sepanjang ada
pembentukan kelompok-kelompok yang di kerahkan secara bebas, jadi bisa dari
mulai perkumpulan olah raga sampai ke negara.
Landasan untuk mendirikan
partai-partai, bahkan partai-partai modern, beraneka ragam. Suatu situasi kelas
atau situasi bersama, bisa saja menjadi dasar satu-satunya bagi penerimaan
suatu anggota partai politik, akan tetapi hal ini jarang terjadi.
Pemikiran Max Weber tentang
class, status, dan party menyimpulakan, bahhwa, baik kelompok kelas dan
kelompok status bisa menjadi landasan bagi kekuatan sosial. Akan tetapi
pembentukan partai-partai politik merupakan pengaruh lanjut dan secara analisis
bebas atas pembagian kekuasaan. Suatu ”partai” yang mempunyai kaitan dengan
sesuatu asosiasi sukarela apapun mempunyai maksud memperoleh penguasaan pengarahan
sesuatu organisasi agar bisa melaksanakan kebijakan-kebijakan tertentu dalam
organisasi tersebut. Makna dari definisi ini, adalah bahwa partai-partai bisa
berada dalam bentuk apa saja sepanjang ada pembentukan kelompok-kelompok yang
dikerahkan secara bebas.
Dizaman modern sekarang, istilah
partai tidak asing lagi. Karena dipengaruhi oleh peran media cetak dan media
elektronik serta pamflet-pamflet yang ditempel dipagar rumah, baliho dan
spanduk berjejeran di jalan raya yang mudah diakses oleh masyarakat. Kata
“partai” dulu dalam zaman keemasan para aristokrasi di gunakan untuk
menggambarkan faksi-faksi dalam republik masa lalu, pasukan-pasukan yang
terbentuk pada masa Renaisance Italia, kelab-kelab tempat berkumpul anggota
dewan-dewan revolusi, komite-komite yang mempersiapkan pemilihan umum dalam
monarki konstitusional, dan organisasi-organisasi sosial yang membentuk opini
publik dalam negara-negara demokrasi modern. Menurut Maurice Duverger[8],
penggunaaan nama yang sama itu dapat dibenarkan karena memiliki hubungan yang
mendasarinya, semua lembaga ini berperan memenangkan kekuasaan politik dan
menerapkan-nya.
Landasan untuk mendirikan
partai, bahkan partai-partai modern, beraneka ragam. Suatu situasi kelas atau
situasi bersama, bisa saja menjadi satu-satunya bagi penerimaan anggota suatu
partai politik, tetapi hal ini jarang terjadi, didalam tiap kasus khusus, partai-partai
bisa mewakili kepentingan yang di tentukan oleh situasi kelas atau situasi
status.....akan tetapi partai-partai itu tidak perlu merupakan partai kelas
murni ataupun partai status murni; dalam kenyataan, partai-partai lebih mungkin
menjadi jenis-jenis campuran, bahkan kadang-kadang diluar pembagian seperti
itu.
Hebert Feith dan Lance Castle[9] menggunakan pemikiran Weber dalam menganalisis masyarakat politik Indonesia
pasca kemerdekaan, yaitu dari tahun 1945 sampai pada tahun 1965. menurut pakar
politik Indonesianis ini bahwa dalam masyarakat Indonesia terdapat lima aliran
politik, yaitu Islam, Nasionalisme Radikal, Komunisme, Sosialisme Demokrat, dan
Tradisionalisme Jawa. Aliran-aliran politik itu kemudian berwujud dalam bentuk
partai politik. Masyumi dan NU sebagai perwujudan aliran politik Islam, PNI
sebagai perwujudan Nasionalisme Radikal, PKI sebagai perwujudan Komunisme, dan
PSI sebagai perwujudan Sosialisme Demokrat. Sementara aliran Tradisonalisme Jawa
meskipun tidak dalam wujud partai politik yang besar, ia mempengaruhi partai
politik seperti NU, PKI, dan PNI. Akibat banyaknya aliran politik tersebut.
Dalam melihat tentang kemungkinan
terjadinya pembentukan partai politik diluar kesamaan status dan kelas weber.
Josep Lapalombara dan Myron Weiner melihat
terbentuknya sebuah partai[10]. Pertama,
teori kelembagaan yang melihat ada hubungan antara parlemen awal dan timbulnya
partai politik. Kedua, teori situasi historis yang melihat timbulnya
partai politik sebagai upaya suatu sistem politik untuk mengatasi krisis yang
ditimbulkan dengan perubahan masyarakat secara luas. Ketiga, teori
pembangunan yang melihat partai politik sebagai produk modernisasi sosial
ekonomi.
Teori pertama mengatakan partai politik dibentuk oleh kalangan
legislatif dan eksekutif ini disebabkan karena kebutuhan para anggota parlemen
(yang ditentukan berdasarkan pengangkatan) untuk mengadakan kontak dengan
masyarakat dan membina dukungan dari masyarakat. Setelah partai politik
terbentuk dan menjalankan fungsi, kemudian muncul partai politik lain yang
dibentuk oleh kalangan masyarakat. Partai politik terakhir ini biasanya
dibentuk oleh pemimpin masyarakat yang sadar politik berdasarkan penilaian
bahwa partai politik yang dibentuk pemerintah tidak mampu menanmpung dan
memperjuangkan kepentingan mereka (rakyat). Hal terakhir ini sering kita temui
dalam sejarah bangsa negara di Dunia.
Teori kedua menjelaskan krisis situasi historis terjadi
manakalah suatu sistem politik mengalami masa transisi karena perubahan
masyarakat dari bentuk tradisional yang berstruktur sederhana menjadi
masyarakat modern yang berstruktur kompleks. Pada situasi ini terjadi berbagai
perubahan, seperti pertambahan penduduk karena perbaiki fasilitas kesehatan,
perluasan pendidikan, mobilitas okupasi, perubahan pola pertanian dan industri,
partisipasi media, urbanisasi, ekonomi berorientasi pasar, peningkatan aspirasi
dan harapan-harapn baru, dan munculnya gerakan populis. Perubaha-perubahan itu
menimbulkan tiga macam krisis, yakni legitimasi, integrasi, dan
partisipasi. Artinya, perubahan-perubahan mengakibatkan masyarakat
mempertanyakan prinsip-prinsip yang mendasari legititimasi kewenangan pihak
yang memerintah; menimbulkan masalah dalam identitas yang menyatukan masyarakat
sebagai suatu bangsa; dan mengakibatkan timbulnya tuntutan yang semakin besar
dalam proses politik. Untuk mengatasi tiga permasalah ini lah partai politik
dibentuk. Partai politik yang berakar kuat dalam masyarakat diharapkan dapat
mengendalikan pemerintahan sehingga terbentuk semacam pola hubungan kewenangan
yang berlegitimasi antara pemerintah dan masyarakat. Partai politik yang
terbuka bagi setiap anggota masyarakat dan beranggotakan pelbagai etnis, agama,
daerah, dan pelapisan sosial ekonomi diharapkan dapat berperan sebagai
pengintegrasi bangsa. Selanjutnya partai politik ikut serta dalam pemilihan
umum sebagai sarana konstitusional mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan
diharapkan dapat pula berperan sebagai saluran partisipasi masyarakat.
Teori ketiga melihat modernisasi sosial ekonomi, seperti
pembangunan teknologi kominkasi berupa media massa dan transportasi, perluasan
dan peningkatan pendidikan, industrialisasi, urbanisasi, perluasan kekuasaan
negara seperti birokratisasi, pembentukan berbagai kelompok kepentingan dan
organisasi profesi, dan penigkatan kemampuan individu yang mempengaruhi
lingkungan, melahirkan suatu kebutuhan akan suatu organisasi plitik yang mampu
memadukan dan memperjuangkan berbgai aspirasi tersebut. Jadi, partai politik
merupakan produk logis dari modernisasi sosial ekonimi. Teori ketiga memiliki
kesamaan dengan teori kedua, bahwa partai politik berkaitan dengan perubahan
yang ditimbulkan modernisasi. Perbendaan kedua teori ini terletak dalam proses
pembentukannya. Teori kedua mengatakan perubahan menimbulkan tiga krisis,
sedangkan teori ketigan mengatan perubahan-perubahan itulah yang melahirkan
kebutuhan adanya partai politik.
Kelas, Status dan Partai sebagai Sumber
Kekuasaan
Pembentukan kelas-kelas yang
berbeda dalam struktur dalam masyarakat, menurut Weber, harus didasarkan pada
pluralitas sumber-sumbernya. Analisa pada fenomena ketidaksetaraan kelas harus
dipadukan dengan dua ide yang sebenarnya berbeda secara konseptual dengan
kela stetapi turut berperan dalam pembentukan perbedaan kelas dalam realitas
sosial. Konsep-konsep tersebut adalah status dan partai.
Telah diuraikan diatas bahwa
kelas adalah kategori yang bersifat individual berdasarkan kemampuan baik dalam
hal ketrampilan maupun modal dalam sistem ekonomi (pasar). Status yang terdapat
secara inheren dalam masyarakat, sangat berbeda dengan kelas. Masyarakat bagi
Weber bukan hanya sekumpulan individu yang hidup bersama namun juga memiliki
perasaan subyektif tentang keanggotaan bersama dan kesadaran kelompok yang
terdefinisikan dengan baik. Status dalam masyarkat merupakan ciri khas gaya
hidup atau cara mengatur kehidupan yang membedakannya dengan kelompok lain.
Bila kelas keanggotaannya diakui lewat kekuatan ekonomi, status didapatkan dari
sumber-sumber non-ekonomi seperti kehormatan sosial atau prestise yang
didistribusikan dengan model-model tertentu. Jadi ada dua sistem representasi
kekuasaan yang berlaku secara bersamaan dalam masyarakat.
Namun adakalanya dua sistem ini saling berhubungan,
dalam artian individu yang menduduki kelas atas (secara ekonomi) juga memiliki
status sosial yang tinggi pula. Dan bila status ini diakui dan dinyatakan dalam
bentuk interaksi nyata antar anggota masyarakat maka telah terdapat kesadaran
akan posisi dan perasaan in group yang kuat dari masing-masing anggotanya
sehingga munculkan kelas sosial. Peranan sistem status dalam membentuk kelas
sosial ini tampak nyata bila dalam perilaku keseharian seseorang akan memilih
bergaul dengan orang lain yang mempunyai latar belakang yang sama baik secara
sosial maupun ekonomi, jadi ada kesadaran kelas yang menyatukan mereka lebih
dekat bila dibandingkan dengan orang lain dari kelas maupun status yang
berbeda.
Dengan analisa struktur masyarakat
yang lebih plural ini Weber ingin menunjukkan bahwa ada sumber-sumber
kekuasaan lain selain ekonomi dalam struktur masyarakat. Jadi ada kemungkinan
bagi individu untuk mengusahakan mobilitas vertikal dalam struktur sosial
melalui jalan lain selain ekonomi. Hal ini juga menjelaskan sumber-sumber
kemampuan aktor seperti Paus atau Karrdinal dalam mempengaruhi tindakan Raja
atau para Bangsawan lain yangg notabene menduduki kelas tertinggi dalam
ekonomi. Sumber kekuatan aktor seperti ini bukan dari sistem pasar ekonomis
seperti yang tampak nyata dalam masyarakat namun berasal dari pemaknaan
subyektif masyarakat yang menempatkan agama sebagai bagian penting dalam
kehidupan masyarakat.
Kosep ketiga yang termasuk
dalam bahasan distribusi kekuasaan dalam masyarakat perspektif Weberian adalah
Partai. Partai dalam konsepsi Weber adalah asosiasi volunter pada sebuah sistem
organisasi kolektif dalam mengejar kepentingan bersama. Partai yang diasumsikan
oleh Weber lebih mengarah pada organisasi kepentingan atau profesi yang
berfungsi sebagai kelompok penekan bukan partai politik seperti yang umumnya
kita kenal. contohnya seperti Asosiasi Konsumen, Perkumpulan Dokter dan
lain-lain.
Seperti juga pada keanggotaan
kelas sosial dan kelompok status, dalam partai ini juga terdapat kesadaran
kolektif dan solidaritas karena pada dasarnya pada kondisi tertentu kelompok
status dan kelas sosial itu sendiri bisa dikatakan sebagai partai. Perbedaannya
hanya pada bentuk formal organisasi dan administratif yang merepresentasi kelompok
tersebut. Jadi, tidak semua kelas sosial atau kelompok status adalah partai
begitupun sebaliknya. Overlapping konseptual ini menegaskan pluralitas dan
konpleksitas struktur sosial Weberian. Partai, seperti juga kelas dan kelompok
status, juga merupakan kekuatan sosial yang turut berperan dalam membentuk
struktur sosial.
Kuasa, Dominasi dan Wewenang
Power merupakan salah satu
konsep sentral dalam sosiologi Weberian terutama dalam hubungannya denga kajian
social inequality. Dalam pandangan Weber, ketidaksetaraan dalam masyarakat
merupakan buah dari perbedaan pencapaian individual dalam konteks pergulatan
sosial (persaingan dan pertentangan antar kepentingan). Pergulatan ini adalah
esensi makna dari politik menurut Weber. Power adalah faktor yang penentu hasil
pergulatan sosial sekaligus yang menjaga kondisi ketidak-setaraan.
Power dalam definisi Weber
adalah “kemungkinan individu, aktor dalam hubungan sosialnya berada dalam satu
posisi yang mampu menyatakan kepentingannya tanpa mendapatkan tentangan”. Definisi
ini membawa beberapa konsekuensi pada sifat kekuasaan itu sendiri yang
sporadis, dan dapat berubah sewaktu-waktu. Sedangkan dominasi, dalam perspektif
Weber, adalah bentuk khusus dari power. Dominasi adalah kondisi aktual power
dalam konteks hubungan sosial ketika individu atau kelompok menerima posisi
tertentu dalam kerangka struktural tertentu sebagai penerima perintah dari
kelompok dominan. Dominasi menunjukkan adanya pola reguler yang dibangun untuk
menunjukkan ketidaksetaraan berdasarkan power. Perbedaan antara power dan
dominasi ini memungkinkan kita menganalisa praktik power sebagai suatu tindakan
berkelanjutan dalam kerangka ketidaksetaraan sosial sebagai fenomena yang
terstruktur. Jadi dominasi menjadikan power lebih bersifat tetap dan berkelanjutan
dalam tataran praksis daripada pada level definisi seperti pada awalnya.
Secara operasional, konsep
dominasi ini dapat dihubungkan dengan kategorisasi struktur masyarkat yang
telah disusun oleh Weber sebelumnya yaitu kelas sosial, kelompok status, dan
partai. Ketiga kategori dalam struktur masyarakat ini merupakan prinsip-prinsip
dasar dalam praksis kekuasaan dalam realitas sosial. Dengan kata lain, anggota
dari kelas sosial, kelompok status dan partai yang dominan dalan masyarakat
akan dapat menyatakan kepentingannya secara reguler dalam satu struktur
masyarakt tertentu.
Konsep selanjutnya akan
membahas alasan individu atau masyarakat yang berada pada level bawah mau
menerima posisi mereka yang tersubordinasi. Dalam pemikiran Weber, salah satu
alasannya adalah adanya legitimasi yang menajadikan kelas-kelas atas mempunyai
keabsahan untuk melakukan dominasi. Ada tiga macam legitimasi yang diajukan
oleh Weber untuk menjelaskan fenomena dominasi dalam masyarakat berdasarkan
sumber-sumbernya. Pertama adalah legitimasi yang didapatkan dari kualitas
individual seorang pemimpin yang acapkali disebut sebagai legimasi karismatik.
Kualitas inimeliputi kepemimpinan, wibawa, popularitas. Kedua adalah legitimasi
yang didapatkan dari hukum atau peraturan yang telah ditetapkan, yang disebut
legal legitimacy. Ketiga adalah legitimasi yang didapatkan dari hak-hak
tradisional untuk memimpin oleh individu atau kelompok tertentu yang dianggap
lebih tinggi kedudukannya oleh masyarakat, disebut traditional authority.
Selain legitimasi, ada banyak faktor lain yang dapat menjadi alasan penerimaan
atau kepatuhan individu dan masyarakat terhadap dominasi. Faktor tersebut
antara lain kebiasaan yang tidak pernah dipikirkan lebih jauh, konvensi, dan
lain-lain. Subjek yang tersubordinasi dan menjadi objek dominasi hampir tidak
memilki kesempatan untuk berubah karena adanya kepentingan individual tertentu,
ketakutan terhadap penggunaan kekuatan fisik dan lain-lain.
Uraian di atas menunjukkan
berbagai variasi faktor-faktor dominasi dan legitimasi yang masih konsisten
dengan pluralitas Weber. Elaborasi berbagai konsep legitimasi ini juga
menunjukkan bukti pandangan awal Weber tentang kompleksitas dalam proses
pembentukan realitas sosial sehingga perlu diperhitungkan dalam menganalisa
fenomena sosial. Kompleksitas ini berguna dalam pengmbangan konsep power
sebagai konsep yang bersifat pivotal untuk memahami ketidaksetaraan yang
terjadi baik dalam level kelompok sosial yang dibedakan berdasarkan ras,
gender, etnisitas dan usia.
D. KESIMPULAN
Bagi Weber terkait dengan
adanya posisi ekonomi sebagai dasar kelas sebagaimana menurt Karl Marx tidak
keberatan, hanya saja ia menambahkan dua elemen lain yaitu kelompok status dan
kekuasaan politik (party). Ketiga dimensi ini bisa tumpang tindih dengan salah
satu atau keduanya dalam banyak keadaan dan situasi. Namun, dalam hal lain
berbeda dan bisa berdiri sendiri. Karena menurut Weber, struktur kekuasaan
tidak harus setara dengan struktur otoritas. Otoritas adalah kemungkinan
seseorang akan di taati atas dasar suatu kepercayaan akan legitimasi haknya
untuk mempengaruhi.
Pembentukan kelas-kelas yang
berbeda dalam struktur masyarakat, menurut Weber, harus didasarkan pada
pluralitas sumber-sumbernya. Analisa pada fenomena ketidaksetaraan kelas harus
dipadukan dengan dua ide yang sebenarnya berbeda secara konseptual dengan kelas
tetapi turut berperan dalam pembentukan perbedaan kelas dalam realitas sosial.
Konsep-konsep tersebut adalah status dan partai.
DAFTAR BACAAN
DAFTAR BACAAN
Anthony Giddens. Capitalism and
Modern sosial theory analysis of wrinting of Marx, durkheim and Max Weber. Cabridge University Press; London.
Diterjemah oleh Soeheba Kamadibrata, 1986, ”Kapitalisme dan Teori Sosial
Modern. Suatu analisis karya tulis Marx, Durkheim dan Max weber”. UI Press
jakarta.
Doyle Paul
Jhonson, 1986. Teori Sosial Klasik Dan Modern. Penerjemah Robert, M.Z.
lawang, PT Gramedia, jakarta
Riswanda
Imawa. Membedah Politik Orde Baru. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Cetakan
1 Februari 1997.
Ramlan Surbakti. Memahami
Ilmu Politik. Jakarta. PT Gramedia Widiasarana. 1999.
Lili
Romli. Islam yes, partai islam yes. Sejarah perkembangan partai-partai Islam
di Indonesia. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 2006.
[1] Anthony Giddens. Capitalism and Modern sosial theory analysis of
wrinting of Marx, durkheim and Max Weber. Cabridge University Press; London. Diterjemah oleh
Soeheba Kamadibrata, 1986, ”Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Suatu
analisis karya tulis Marx, Durkheim dan Max weber”. UI Press jakarta, hlm 200
[2] Anthony Giddens. Ibid hlm 201
[3] Ibid. hlm 202
[4] Ibid hlm 202
[5] Ibid. hlm 203-204
[6] Ibid. hlm 205
[8] Maurice Duverger dalam Riswanda Imawa. Membedah
Politik Orde Baru. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Cetakan 1 Februari 1997.
[9] Hebert Feith dan Lance
Castle dalam Lili Romli. Islam
Yes, Partai Islam Yes. Sejarah perkembangan
partai-partai islam di Indonesia. Yogyakarta, diterbitkan atas kerjasama
pustaka pelajar. 2006, Hal 107-108
Tidak ada komentar:
Posting Komentar