Kamis, 23 Februari 2012

MEMIKIRKAN ULANG MASYARAKAT SIPIL KE ARAH KONSOLIDASI DEMOKRASI



Runtuhnya basis legitimasi Rezim Orde Baru 12 Mei 1998 yang lalu mencengangkan cukup banyak pihak, yaitu munculnya kembali fenomena multi partai yang selama ini telah terkubur dibwah reruntuhan Orde Lama dan Orde Baru. Ledakan-ledakan partisipasi rakyat luas dengan cepat mengubah rasa frustasi dan dendam terhadap rezim Soeharto di seluruh bidang. Kebijakan Presiden Habibie mengubah format politik Indonesia dari sistem partai dominan kesistem multi partai yang di ikuti oleh regulasi-regulasi baru seperti Undang-undang No 31 tahun 2002 tentang partai politik. Di satu sisi, ia mendorong kembali semangat politik yang nyaris padam akibat kebijakan monoloyalitas, deideologisasi, penyeragaman yang di personifikasi oleh Soeharto. Namun, di sisi lain eforia kebebasan menyalurkan naluri politik masyarakat juga menumbuhkan persoalan baru yang cukup tidak diantisipasi oleh banyak kalangan, dalam hal ini memberdayakan masyarakat sipil yang menjadi kekuatan dalam menciptakan kehidupan ber-Negara dan bermasyarakat yang demokratis.
Samuel Huntington (1995), berdalih bahwa demokrasi adalah menjadi isu global yang telah melanda hampir seluruh plosok Dunia. Fukumaya bersabda Demokrasi menjadi masalah kemanusiaan sejagad. Demokrasi adalah pilar pradaban. Munafrizal Manan (2005) bernyanyi, Dalam pasar politik internasional demokrasi telah menjadi ”barang” politik paling laris. Diskursus demokrasi telah mengglobal dan menyebar ke pelosok Dunia dengan kecepatan fantastis. Bagaimana Larry Diamond memikirkan tentang demokrasi yang terkonsolidasi dalam kehidupan sebuah Negara dengan kekuatan masyarakat madani (civil society)?.
Pada kenyataan, bagaimanapun, runtuhnya rezim atoriterian terkenal secara besasar-besaran mengerahkan oposisi demokrasi belum normal. Peralihan demokrasi semakin luas, namun bahkan dalam hal mengawal dan mengontrol peralihan dan mufakat, keinginan untuk berdemokrasi, terutama dukungan dari desakan secara khas berasal dari “kebangkitan masyarakat sipil,”.
Mobilisasi secara luas masyarakat sipil adalah sumber penting untuk mendesak perubahan demokrasi. Rakyat menekankan tantanagan mereka pada otokrasi tidak hanya sekedar perorangan,  tetapi seperti gerakan kelompok dari gereja ortodoks, asosiasi professional, kelompok perempuan, perserikatan pedagang, organisasi hak asasi, persatuan produsen, asosiasi kewarganegaraan, dan lain-lain.
Sekarang untuk memahami perkembangan atau perubahan demokrasi di dunia, sesuatu yang harus di pelajari adalah masyarakat madani. Namun pembahasan demikian sering dianggap berpotensi dan berbahaya pada pandangan sesat.

Masyarakat Sipil Atau Bukan?
Masyarakat sipil di berdayakan di dunia dengan hidup bermasyarakat terorganisir secara sukarela, semangat mandiri, staus otonomi diri, yang dibatasi oleh atauran hukum. ini adalah berbeda dari “masyarakat” yang melibatkan warga secara bersama pada pada suatu lapisan hkusus untuk mengekspresikan daya kritis mereka, semangat, ide, gunakan status, dan bertanggung jawab ada pada pejabat. Dengan demikian lepas dari hidup individu dan keluarga.
Satus masyarakat madani dengan demikian tidak hanya dibatasi oleh kekuatan status kecuali otoritas sah bahwa ketika otoritas adalah berlandaskan kepastian hukum. ketika staus diri tidak patuh pada hukum dan meremehkan otonomi perorangan dan golongan, masyarakat sipil mungkin masih ada (sekalipun hanya pada bentuk sementara atau bercampur)  ini unsur utama yang mengoprasikan oleh beberapa ketentuan yang antralain, jauhkan diri dari kekerasan, dan hormat pluralisme. Ini adalah kondisi dimensi “hukum” yang tidak dapat di perkecil lagi.
Masyarakat sipil meliputi satu dari organisasi informal, formal. Yang menggolongkan antara lain adalah:
  1. Ekonomi (Jaringan asosiasi produkti dan komersil)
  2. Budaya (religius, kesukuan, komunal, asosiasi yang mempertahankan nilai kolektif, nilai kepercayaa, dan simbol.
  3. bidang pendidikan dan informasi, (hasil yang dipersembahkan dan disebarkan—apakah untuk menguntungkan atau tidak dari pengetahuan public, ide dan keterangan).
  4. ketertarikan yang mendasar. (didesain untuk menjauhkan atau mempertahankan fungsional yang umum atau daya tarik dari keterangan anggota mereka, apakah pekerja, veteran, pensiunan, professional.
  5. pengembangan. (kombinasi sumberdaya individu untuk meningkatkan organisasi, infrastruktur, institusi, dan hidup yang berkualitas dari komunitas).
  6. berorientasi emisi. ( gerakan untuk perlindungan lingkungan, hak perempuan, atau perlindungan konsumen).
  7. kewarganegaraan. (mencari pertunjukan yang memihak pada peningkatan system politik dan perbuatan ini lebih pada hak untuk mengawal hidup berdemokrasi, pendidikan pemilih dan mobilisasi, upaya antikorupsi, dan seterusnya).
Berdasarkan kajian di atas masyarakat madani pada dasarnya adalah sebuah komunitas sosial dimana keadilan dan kesetaraan menjadi fundamennya. Muara dari pada itu adalah pada demokratisasi, yang dibentuk sebagai akibat adanya partisipasi nyata anggota kelompok masyarakat. Sementara hukum diposisikan sebagai satu-satunya alat pengendalian dan pengawasan perilaku masyarakat. Dari definisi itu maka karakteristik masyarakat madani, adalah ditemukannya fenomena, (a) demokratisasi, (b) partisipasi sosial, dan (c) supremasi hukum dalam masyarakat.

Fungsi Demokrasi Dari Masyarakat Sipil
Yang pertama dasar dari fungsi demokrasi dari masyarakat sipil “status landasan pembatasan dari kekuatan, status karena masyarakat sipil untuk mengontrol. Dan maka institusi Negara demokrasi akan efektif bila ada kontrol itu. Fungsi tersebut memmiliki duan dimensi untuk memonitor dan mengendalikan dari kekuatan Negara demokrasi, status otoriterian untuk berdemokrasi. Mengerahkan masyarakat sipil adalah untuk mencegah penyalahgunaan dan mengikis hak kekuasaan rejim yang tidak demokratis.
Jadi, masyarakat sipil adalah satu instrument penting mengandung kekuatan dengan pemerintah demokratis, mereka mencegah potensi peyalahgunaan dan pelanggaran hukum. bahwasanya, satu masyarakat hukum bersemangat bagi memperkuat dan memelihara demokrasi di bandingkan dengan masalah lain.
Sehubungan dengan demokratisasi, menurut Neera Candoke (1995:5-5) Social Society berkaitan dengan public critical rational discource yang secara ekplisit mempersyaratkan tumbuhnya demokrasi. Dalam kerangka itu hanya negara yang demokratis yang menjamin masyarakat madani. Pelaku politik dalam suatu negara (state) cenderung menyumbat masyarakat sipil, mekanisme demokrasi lah yang memiliki kekuatan untuk mengkoreksi kecenderungan itu. Sementara itu untuk tumbuhnya demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran berpribadi, kesetaraan, dan kemandirian. Syarat-syarat tersebut dalam konstatasi relatif memiliki linearitas dengan kesediaan untuk menerima dan memberi secara berimbang. Maka dalam konteks itu, mekanisme demokrasi antar komponen bangsa, terutama pelaku praktis politik, merupakan bagian yang terpenting dalam menuju masyarakat yang dicita-citakan tersebut.
Partisipasi sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal yang baik untuk terciptanya masyarakat madani. Partisipasi sosial yang bersih dapat terjadi bilamana tersedia iklim yang memungkinkan otonomi individu terjaga. Antitesa dari sebuah masyarakat madani adalah tirani yang memasung secara kultural maupun struktural kehidupan bangsa. Dan menempatkan cara-cara manipulatif dan represif sebagai instrumentasi sosialnya. Sehingga masyarakat pada umumnya tidak memiliki daya yang berarti untuk memulai sebuah perubahan, dan tidak ada tempat yang cukup luang untuk mengekpresikan partisipasinya dalam proses perubahan.
Tirani seperti inilah, berdasarkan catatan sejarah, menjadi simbol-simbol yang dihadapi secara permanen gerakan masyarakat sipil. Mereka senantiasa berusaha keras mempertahankan status quo tanpa memperdulikan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Pada masa Orde Baru cara-cara mobilisasi sosial lebih banyak dipakai ketimbang partisipasi sosial, sehingga partisipasi masyarakat menjadi bagian yang hilang di hampir seluruh proses pembangunan yang terjadi. Namun kemudian terbukti pemasungan partisipasi secara akumulatif berakibat fatal terhadap keseimbangan sosial politik, masyarakat yang kian cerdas menjadi sulit ditekan, dan berakhir dengan protes-protes sosial serta pada gilirannya menurunnya kepercayaan masyarakat kepada sistem yang berlaku. Dengan demikian jelaslah bahwa partisipasi merupakan karakteristik yang harus ada dalam masyarakat madani. Demokrasi tanpa adanya partisipasi akan menyebabkan berlangsungnya demokrasi pura-pura atau pseudo democratic sebagaimana demokrasi yang dijalankan rezim Orde Baru.
 Selai dari pada itu penghargaan terhadap supremasi hukum merupakan jaminan terciptanya keadilan. Al-Qur’an menegaskan bahwa menegakan keadilan adalah perbuatan yang paling mendekati taqwa (Q.s. Al Maidah:5-8). Dengan demikian keadilan harus diposisikan secara netral, dalam artian, tidak ada yang harus dikecualikan untuk memperoleh kebenaran di atas hukum. Ini bisa terjadi bilamana terdapat komitmen yang kuat diantara komponen bangsa untuk iklas mengikatkan diri dengan sistem dan mekanisme yang disepakati bersama. Demokrasi tanpa didukung oleh penghargaan terhadap tegaknya hukum akan mengarah pada dominasi mayoritas yang pada gilirannya menghilangkan rasa keadilan bagi kelompok lain yang lebih minoritas. Demikian pula partisipasi tanpa diimbangi dengan menegakkan hukum akan membentuk masyarakat tanpa kendali (laissez faire).
Dengan demikian semakin jelas bahwa masyarakat madani merupakan bentuk sinergitas dari pengakuan hak-hak untuk mengembangkan demokrasi yang didasari oleh kesiapan dan pengakuan pada partisipasi rakyat, dimana dalam implentasi kehidupan peran hukum stategis sebagai alat pengendalian dan pengawasan dalam masyarakat. Namun timbul pertanyaan sejauh mana kesiapan bangsa Indonesia memasuki masyarakat seperti itu.

Masyarakat Sipil Fitur Dari Satu Demokrasi
Tidak semua masyarakat sipil dan organisasi masyarakat sipil punya potensi yang sama untuk melaksanakan fungsi demokrasi seperti yang di kutip diatas. Kemampuan mereka untuk melakukan tergantung kepada beberapa fitur dari struktur dan karakterinternal mereka.
Satu, Keprihatinan dari masyarakat sipil dari cara menggolongkan. Kemungkinan untuk mengembangkan demokrasi meningkatkan pengaruh nyata, status keterarikan golongan keras atau mencari penggolongan untuk menaklukan atau membohongi kompetitor, atau tolak kepastian hukum dan wewenang dari Negara demokrasi.
Kedua, fitur penting dari masyarakat sipil adalah institusionalisasi organisasi. Seperti partai politik dll, dimana daya kekuatan diorganisr pada satu struktur, akan dimudahkan jaringan kerjasama. Ketiga, karakter demokkrasi dari masyrakat sipil itu sendiri derajat kemana ia memasyarakatkan partisipasi kedalam bentuk demokratis atau tidak demokratis dari perilaku internal. Kalau menggolongkan organisasi masyarakat sipil adalah untuk berfungsi sebagai “sekolah bebas untuk demokrasi”, mereka harus berfungsi secara demokratis dari pemilihan pembuatan keputusan internal mereka.
Keempat. Masyarakat sipil, dalam masyarakat plural tidak akan menjadi pemecah, demokrasi akan untung. Beberapa derajat dari pluralisme menurut masyarakat sipil. pluralisme menolong menggolongkan masyarakat sipil terus hidup, dan di anjurkan mereka untuk bekerjasama dan merundingkan satu sama lain.
Akhirnya masyarakat sipil adalah kuat melayani demokrasi yang terbaik. Mengusahaan kesempatan perorangan untuk berpartisipasi pada asosiasi jaringan informal.

Konsolidasi Demokrasi
Pada kenyataan, satu pemerataan lebih kuat dan lebih luas tampak terjamin. Faktor yang mendesak pada konsolidasi demokrasi tidak masyarakat sipil kecuali institusi politik. konsolidasi adalah dengan nama demokrasi menjadi sangat luas dan sah antara waraga/rakyat yang tidak mau pecah. Ini melibatkan tingkah laku dan membuat kelembagaan politik demokrasi. normalisasi ini memerlukan akses warga,
Institusi kenegaraan yang kuat diperlukan untuk memenuhi reformasi ekonomi pada kondisi demokrasi. eksekutif yang kuat baik struktur dan pendukungnya. Badan pembuat undang-undang mungkin efektif, tapi kadang-kadang menghalangi reformasi, akan tetapi mereka disusun dengan kuat, pada akhirnya mereka akan melakukan lebih untuk mendamaikan demokrasi dan reformasi ekonomi dengan menyediakan satu dasar dukungan kenegaraan dan beberapa yang berarti yang menengahi bantahan dari masyarakat.akhirnya, otonomi, professional, dan tentang sistem pengadilan terorganisir dengan baik adalah sangat dibutuhkan untuk mengamankan kepastian hukum.
Penyampai protes tentang penegakan hukum akan terta, mendidik mereka tidak menhapus nilai kepentingannya. Masyarakat sipil dapat dan harus mainkan satu peran yang berpengaruh nyata untuk memperkuat demokrasi.
Diamond hendak mengatakan bahwa Demokrasi terkonsolidasi adalah Masyarakat madani membutuhkan institusi sosial, non-pemerintahan, yang independen yang menjadi kekuatan penyeimbang dari negara. Posisi itu dapat ditempati organisasi masyarakat, maupun organisasi sosial politik bukan pemenang pemilu, maupun kekuatan-kekuatan terorganisir lainnya yang ada di masyarakat. Akan tetapi institusi tersebut selama orde baru relatif dikerdilkan dalam arti lebih sering berposisi sebagai corong kepentingan kekuasaan ketimbang menjadi kekuatan swadaya masyarakat.
Hegemoni kekuasaan demikian kuat sehingga kekuatan ril yang ada di masyarakat demikian terpuruk. Padahal merekalah yang sebenarnya yang diharapkan menjadi lokomotif untuk mewujudkan masyarakat madani (demokrasi yang terkonsolidasi). Ada memang beberapa LSM yang secara konsisten memainkan peranan otonomnya akan tetapi jumlahnya belum signifikan dengan jumlah rakyat Indonesia yang selain berjumlah besar juga terfragmentasi secara struktural maupun kultural. Fragmentasi sosial dan ekonomi seperti itu sangat sulit mewujudkan masyarakat dengan visi kemandirian yang sama. Padahal untuk duduk sama rendah berdiri sama tinggi membutuhkan kesamaan visi dan kesadaran independensi yang tinggi. Dengan demikian boleh jadi masyarakat peradaban yang kita cita-citakan masih membutuhkan proses yang panjang dan konsisten.

Pemikiran Max Weber, Tentang Class, Status, and Party



A.    PENDAHULUAN
Maximilian Weber lahir pada tanggal 21 April 1864 dan wafat tanggal 14 Juni 1920, adalah seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog dari Jerman yang dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi dan administrasi negara modern. Karya utamanya berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan pemerintahan, meski ia sering pula menulis di bidang ekonomi. Karyanya yang paling populer adalah esai yang berjudul Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, yang mengawali penelitiannya tentang sosiologi agama. Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur. Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat modern.
Berbicara tentang pemikiran para filosof yang hidup sebelum dan pada zaman Max Weber serta sampai abad 19, kita ibarat orang yang menggali artefak-artefak masa lampau yang tersimpan kekuatan magis sehingga memberikan motivasi, inspirasi, dalam rangka melihat dan menata struktur masa depan yang lebih baik. Pemikiran Max Weber tentang kelas, staus, dan partai adalah merupakan tiga dimensi yang membaca fakta sosial, dalam rangka melihat kecenderungan masyarakat untuk melakukan perubahan dan kekuatan atau pengaruh. Pemikirannya dianggap luas dan komprehensif dalam melihat struktur masyarakat, Itu lah yang membedakannya dengan Karl Max yang hidup pada zaman sebulnya.
Pembahasan Weber akan kelas, status, dan partai dengan demikian memastikan hal-hal ini sebagai tiga dimensi dari tingkatan, sedangkan tiap dimensi ini terpisah satu sama lain, serta menempatkan bahwa pada suatu tingkat empiris, tiap dimensi itu bisa saling mempengaruhi secara sebab akibat[1].
Sesungguhnya, rangkaian dari tiga dimensi pemikiran Weber adalah mencoba memberikan pemahaman terhadap kita, bahwa kekuatan atau kelompok sosial tidak hanya sesempit seperti pemahaman atau pemikiran Karl Marx tentang pengaruh polah hubungan produksi (ekonomi) yang antagonistik yang membentuk kelas penindas (kapitalis) dan kelas proletar (buruh), namun lebih luas dari pemahaman tersebut.
Dalam konteks waktu ini, orang seringkali membandingkan pemikiran Weber dengan Marx. Soiologi Weberian dipandang sebagai salah satu alternatif pemikiran tentang kelas yang sebelumnya didominasi oleh arus pemikiran Marxian. Walaupun mempunyai concern yang sama terhadap fenomena kelas dan struktur dalam masyarakat namun Weber dan Marx menghasilkan dua aras pemikiran yang berbeda. Bila Marx lebih dikenali dengan karakter utama reduksionis dan deterministik dalam pemikirannya, Weber justru memperlihatkan kompleksitas dan pluralisme dalam memandang fenomena sosial di masyarakat. Namun, secara garis besar, dalam keseluruhan tulisannya dapat dikatakan bahwa Max Weber sangat dipengaruhi oleh Marx dalam karya-karyanya.
Weber mengembangkan analisis sosial yang jauh lebih luas dari Marx yang selalu berawal dan berakhir dalam dimensi ekonomi. Perhatian Weber terhadap faktor-faktor pembentuk struktur masyarakat diluar ekonomi meliputi nilai, religi, ide dan budaya yang dianggapnya mempunyai peran yang sejajar dengan faktor ekonomi. Inilah titik tolak yang menjadi pembeda antara Marx dan Weber dimana Marx menganggap ekonomi adalah dasar utama bagi pembentukan struktur dalam masyarakat.
Perbedaan diantara dua pemikir besar ini sangat mungkin disebabkan oleh dua hal. Pertama adalah konteks sosial yang dihadapi keduanya sangat berbeda, Weber hidup setelah Marx ketika kapitalisme telah jauh berkembang dan menunjukkan eksisitensi bentuk dan pola produksi yang telah berubah dengan bentuk awal yang di eksaminasi oleh Marx. Sedangkan yang kedua, bila Marx menjadikan Inggris, khususnya, dan Eropa Barat pada umumnya, sebagai pijakan pengamatan realitas sosial, Weber justru mengalami fase penting perkembangan intelektualnya di Amerika yang struktur dan kostruksi masyarakatnya jauh berbeda dengan Inggris. Oleh karena itu penting untuk mengkaji kembali pokok pikiran Max Weber tentang status, kelas, dan partai.

B.     POKOK MASALAH
Sebagaimana uraian singkat diatas, bahwa pemikiran Max Weber tentang pengaruh perkembangan dan perubahan struktur masyarakat yang dinamis, biasa kita tilik dari pemikirannya tentang status, kelas dan partai. Ole karena itu, dalam poko pembahasan ini adalah “Bagaimana pemikiran Weber tentang class, staus, dan party sebagai sumber kekuasaan?”.

C. PEMBAHASAN.
Karyanya Weber yang paling populer adalah esai yang berjudul Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, yang mengawali penelitiannya tentang sosiologi agama. Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur. Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat modern.
Karakter utama analisa Weber tentang struktur dalam masyarakat adalah usaha untuk melakukan kompromi antara dua mainstream pemikiran yang berlawanan. Dua mainstream itu adalah positivism, yang bersikeras untuk menggunakan rigiditas ilmu alam, seperti fisika dan kimia, untuk melakukan eksaminasi terhadap masyarakat, dan di sisi lain, mereka yang menolak untuk menyamakan fenomena sosial dalam masyarakat dengan fenomena alam. Weber meletakkan sosiologi tepat ditengah-tengah kedua disiplin yang saling berkontestasi tersebut. Di antara kekuatan generalisasi ilmu alam dan subyektifitas ilmu sejarah yang mengedepankan keunikan single event sebagai fokus kajian. Hal ini membuat sosiologi mampu membentuk sebuah teori reguler, yang tidak mampu disediakan oleh sejarah, namun teori tersebut bukanlah sebuah koridor penjelas yang rigid seperti yang ada pada ilmu alam. Alasan kuat untuk mengambil posisi ini adalah perbedaan mendasar subject matter antara manusia dan alam. Dua atom mungkin akan berinteraksi dengan cara yang sama sepanjang masa dengan prasyarat-prasyarat kondisi yang ceteris paribus, namun individu atau kelompok manusia akan berinteraksi dengan pola yang berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan konteks sosial yang ada.
Konsep penting pertama Weber dalam membangun posisi epistemologi disiplin sosiologinya adalah probabilitas. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa X mungkin akan menghasilkan Y, pada beberapa, sebagian besar, atau bahkan jarang momentum. Berdasarkan ini kita dapat menyimpulkan, bahkan memprediksikan kemungkinan X akan menghasilkan Y. Satu hal yang tidak bisa kita lakukan dalm ilmu sosial adalah memastikan bahwa X akan menghasilkan Y.
Konsep kedua adalah causal pluralism. Konsep ini menerangkan mengapa seringkali fenomena sosial berubah tidak sesuai dengan prediksi kita. Dalam anggapan Weber, seringkali sesorang mengesampingkan banyak faktor dalam usaha untuk menjelaskan sebuah fenomena. Padahal seringkali faktor-faktor tersebut justru menjadi penentu kenapa deviasi bisa terjadi. Maka penting untuk memperhitungkan berbagai faktor penyebab dari fenomena sosial yang terjadi. Penjelasan terhadap suatu fenomena sosial tidak dapat bertolak hanya dari satu faktor penyebab saja melainkan harus diawali dari deskripsi dari bermacam-macam faktor yang kemudian dapat dianalissi lebih lanjut mana yang menjadi faktor dominan.
Oleh sebab itu pembahasan pemikiran Weber akan kelas, status, dan partai dengan demikian memastikan hal-hal ini sebagai tiga dimensi dari tingkatan, sedangkan tiap dimensi ini terpisah satu sama lain, serta menempatkan bahwa pada suatu tingkat empiris, tiap dimensi itu bisa saling mempengaruhi secara sebab akibat.

Pemikiran Max Weber tentang Class, Status, dan Party.
1. Tentang kelas
Economy and society memuat dua bagian, yaitu mengenai kelompok kelas dan status.....Weber tidak menyelesaikan suatu penuturan analisis yang mendetail tentang gagasan kelas serta kaitannya dengan dasar-dasar lain dari tingkatan dalam masyarakat. Konsepsi kelas dari Weber bertolak dari analisisnya yang menyamaratakan tindakan ekonomi di suatu pasar. Tindakan ekonomi didefinisikan sebagai prilaku yang berusaha, dengan cara-cara damai, untuk memperoleh penguasaan atas keperluan-keperluan yang diingini. Keperluan-keperluan itu meliputi, baik benda maupun jasa. Pola hubungan ekonomi yang membebaskan diri dari pertalian-pertalian khusus dan dari kewajiban-kewajiban struktur komunitas lokal, dan menjadikan ditentukan secara berubah-ubah oleh kesempatan-kesempatan materil yang dipunyai seseorang untuk untuk menggunaan benda benda tidak bergerak, barang atau jasa-jasa, yang bisa ditukarkan di pasar yang bersaingan. Dari sinilah ”perjuangan kelas” dimulai, demikian kata weber[2].
Dengan kata lain, Mereka yang mengambil bagian dalam pasar yang sama atau ”situasi kelas” di pengaruhi keadaan-keadaan darurat ekonomi yang sama, secara sebab akibat mempengaruhi ukuran material dari eksistensinya dan dari pengalaman hidup pribadi yang bisa mereka nikmati Suatu ’kelas’ adalah suatu timbunan pribadi-pribadi, yang sekaligus berada bersama-sama dalam kelas situasi yang sama. Dalam kaitan ini, Mereka yang tidak mempunyai benda apa-apa dan mereka yang hanya bisa menawarkan jasa di pasar, di bagi sesuai dengan jenis-jenis jasa yang mereka tawarkan adalah sama saja seperti para pemilik benda yang bisa di beda-bedakan menurut apa saja yang mereka miliki dan bagaimana mereka menggunakannya untuk maksud-maksud ekonomi[3].
Weber juga mengikuti Marx dalam membedakan antara mereka yang mempunyai barang, kelas rentenir dan kelas wiraswasta, yang disebut oleh Weber ’kelas-kelas pemilik’ dan kelas-kelas niaga[4].
1.      Kelas pemilik adalah mereka yang memiliki benda dan menerima sewaan oleh karena pemiliknya atas tanah, tambang dan seterusnya. Kaum rentenir adalah kelas pemilik yang secara positif berkeuntungan. Kelas pemilik yang berkeuntungan negatif meliputi mereka semua yang tidak mempunyai barang/keterampilan untuk di tawarkan.
2.      kelas-kelas niaga adalah mereka yang berkeuntungan positif yang bisa merupakan entrepreneur yang menawarkan benda-benda untuk di jual di pasar ataupun yang berpartisipasi dalam pembiayaan kegiatan itu, misalnya para bankir.
Disamping itu, Weber melihat ada kelas-kelas lain yang disebutnya ’kelas sosial’. Weber menuturkan komposisi kelas sosial dari kapitalisme yaitu terdiri dari:
1.Kelas pekerja tangan.
2.Kaum borjuis kecil.
3.            Pegawai kantoran yang tidak mempunyai kekayaan, para ahli teknik dan kaum cendekiawan.
4.            kelompok-kelompok entrepreneur dan kaum pemilik tanah yang cenderung untuk mendapatkan kemudahan dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan pendidikan.
Kelas-Kelas dalam Kapitalisme
Tema tentang social inequality dalam pemikiran Weber terdapat dalam konsepnya tentang kelas, yang juga menjadi konsep sentral dalam bahasan Marx. Persamaan mendasar antara Weber dan Marx adalah titik tolak dari konsep kelas mereka adalah ekonomi. Perbedaannya adalah, bila Marx lebih banyak menekankan hubungan antar kelas dalam konteks moda produksi, terutama relasi dominatif dan eksploitatif yang menjadi pola utama hubungan sedangkan distribusi ekonomi cenderung diabaikan, Weber, justru menekankan pada sisi tersebut dalam membangun konsepsinya tentang kelas. Pada dasarnya Weber juga membahas tentang pertentangan kelas dan dominasi didalamnya, namun, sekali lagi, concern utama Weber adalah dalam hal bagaimana distribusi kekayaan menjadikan seseorang dalam masyarakat lebih kaya dari yang lain.
Analogi untuk memahami kelas dalam masyarakat pada pemikiran Weber adalah Pasar. Kategorisasi masyarakat secara ekonomis terbentuk dalam model pasar, yang merupakan sistem pertukaran kompetitif yang memungkinkan individu untuk saling bertukar untuk memenuhi kebutuhannya dan mengejar kepentingannya. Nilai-nilai yang terkandung dalam konsep ini adalah apa yang disebut Weber sebagai “kegunaan”, yang menyangkut juga nilai material seperti properti dan kepemilikan dan kemampuan kerja manusia seperti ketrampilan individual dan tenaga kerja. Jadi kelas, dalam konsepsi Weber adalah agregasi pemaknaan bersama masyarakat terhadap “situasi” di dalam pasar yang sama-sama menyediakan kepentingan ekonomi dan kesempatan untuk mencapai kepentingan.
Dari penjelasan di atas kita tahu bahwa Weber memulai bahasannya tentang struktur ekonomi dalam masyarakat pada titik yang sama dengan Marx yaitu tentang mereka yang memiliki properti dan mereka yang hanya memiliki tenaga kerja untuk dipertukarkan dalam pasar. Namun Weber menempuh jalan yang berbeda dengan Marx dengan menunjukkan kompleksitas tentang jenis properti yang menajdi modal individual serta keteranpilan macam apa yang ditawarkan. Perbedaan ini akan menciptakan berbagai macam kelas dalam kelas sederhana yang dimaksud oleh Marx. Kelas pemodal masih terbagi berdasarkan berbagai macam modal yang dimiliki serta kelas pekerja sendiri yang masih terbagai oleh berbagai macam keterampilan yang dimiliki oleh pekerja tersebut. Definisi ini membawa kita pada kerumitan tersendiri karena setiap definisi akan menciptakan berbagai kelas dalam masyarakat jadi setiap individu dalam sistem ekonomi kapitalisme modern yang sangat kompleks dapat mewakili kelas yang berbeda-beda sehingga konsep kelas tersebut dengan sendirinya tidak berguna.
Pada level operasional dari konsep ini sebenarnya Weber juga tidak berlaku serumit di atas. Konsep kelas Weber, lagi-lagi, berada ditengah-tengah antara konsep kelas bipolar Marx yang sangat sederhana dengan dengan konsep puralismenya yang sangat tegas. Pada akhirnya konsep ini juga tidak dapat dijelaskan secara gamblang karena inkonsistensi tulisan Weber yang tidak sepenuhnya selesai dalam Economy and Society. Kelas dalam konsepsi Weber tidak hanya berdasarkan pada perbedaan kepemilikan dalam ekonomi melainkan juga berhubungan dengan konsep terpisah tentang kelas sosial. Bila secara ekonomi kelas merujuk pada kesamaan situasi ekonomi dan kepentingan ekonomi dalam satu kelompok masyarakat, tetapi dalam konsepsi kelas sosial hal itu tidak secara otomatis terjadi. Kelas (secara ekonomi) tidak selalu secara langsung membentuk suatu grup atau kelompok sosial. Individu dalam kelas-kelas ekonomi tidak memiliki kesadaran akan persamaan situasi atau kepentingan seperti yang dimiliki suatu kelompok atau komunitas. Jadi kelas sosial adalah kelas ekonomi yang telah memiliki rasa persatuan dan kesadaran bersama sebagai suatu organisasi.

Kesadaran kelas
Menurut pandangan Weber, munculnya Kesadaran kelas mudah sekali berkembang dalam keadaan-keadaa sebagai berikut[5]:
1.            Musuh kelas adalah suatu kelompok dalam persaingan ekonomi yang langsung dapat di lihat; contoh, kelas buruh dengan sangat mudah di organisasi untuk melawan pemegang saham akan tetapi hampir semua si pemilik pabrik dan eksekutif bisnis yang harus menampung perlawanan kaum buruh dalam konflik upah.
2.            Sejumlah besar orang-orang yang ada dalam suatu situasi kelas yang sama.
3.             komunikasi dan pertemuan mudah dikordinisir.
4.            Kelas yang menjadi pokok soal, diberikan kepemimpinan, seperti saja dari kaum cendekiawan yang menyajikan sasaran-sasaran jelas dan komprehensif bagi kegiatan mereka.
2. Tentang Status
Komplikasi atas dasar status, bagi Weber, bukan merupakan suatu ”komplikasi” dari hirarki-hirarki kelas semata-mata. Sebaliknya kelompok-kelompok status bisa bertindak untuk mempengaruhi secara langsung kegiatan pasar dan sambil lalu bisa mengenakan pengaruhnya pada pola hubungan kelas. Dengan bagaimana pengaruh ini terjadi ialah dengan pembatasan lingkungan-lingkungan ekonomi, yang diperbolehkan untuk dikuasai oleh pasar[6].
Kelompok status adalah sekelompok orang, yang mempunyai situasi status yang sama. Kelompok-kelompok status, tidak seperti kelas-kelas, hampir selamanya menyadari posisi bersama mereka. Dalam hubungan dengan kelas-kelas, kelompok status paling dekat kepada kelas ”sosial” dan paling tidak mirip kepada kelas ”niaga”.

3. Tentang Partai
[7]Baik keanggotaan Kelompok kelompok kelas maupun kelompok status, bisa saja merupakan landasan bagi kekuasaan sosial, akan tetapi pembentukan partai politik merupakan pengaruh lanjut dan secara analisis atas pembagian kekuasaan. Suatu ’partai’ yang mempunyai kaitan dengan sesuatu asosiasi sukarela apa pun mempunyai maksud memperoleh penguasaan pengarahan sesuatu organisasi agar bisa melaksanakan kebijakan-kebijakan tertentu di dalam organisasi tersebut. Makna dari definisi ini, adalah bahwa partai-partai bisa berada dalam bentuk organisasi apa saja sepanjang ada pembentukan kelompok-kelompok yang di kerahkan secara bebas, jadi bisa dari mulai perkumpulan olah raga sampai ke negara.
Landasan untuk mendirikan partai-partai, bahkan partai-partai modern, beraneka ragam. Suatu situasi kelas atau situasi bersama, bisa saja menjadi dasar satu-satunya bagi penerimaan suatu anggota partai politik, akan tetapi hal ini jarang terjadi.
Pemikiran Max Weber tentang class, status, dan party menyimpulakan, bahhwa, baik kelompok kelas dan kelompok status bisa menjadi landasan bagi kekuatan sosial. Akan tetapi pembentukan partai-partai politik merupakan pengaruh lanjut dan secara analisis bebas atas pembagian kekuasaan. Suatu ”partai” yang mempunyai kaitan dengan sesuatu asosiasi sukarela apapun mempunyai maksud memperoleh penguasaan pengarahan sesuatu organisasi agar bisa melaksanakan kebijakan-kebijakan tertentu dalam organisasi tersebut. Makna dari definisi ini, adalah bahwa partai-partai bisa berada dalam bentuk apa saja sepanjang ada pembentukan kelompok-kelompok yang dikerahkan secara bebas.
Dizaman modern sekarang, istilah partai tidak asing lagi. Karena dipengaruhi oleh peran media cetak dan media elektronik serta pamflet-pamflet yang ditempel dipagar rumah, baliho dan spanduk berjejeran di jalan raya yang mudah diakses oleh masyarakat. Kata “partai” dulu dalam zaman keemasan para aristokrasi di gunakan untuk menggambarkan faksi-faksi dalam republik masa lalu, pasukan-pasukan yang terbentuk pada masa Renaisance Italia, kelab-kelab tempat berkumpul anggota dewan-dewan revolusi, komite-komite yang mempersiapkan pemilihan umum dalam monarki konstitusional, dan organisasi-organisasi sosial yang membentuk opini publik dalam negara-negara demokrasi modern. Menurut Maurice Duverger[8], penggunaaan nama yang sama itu dapat dibenarkan karena memiliki hubungan yang mendasarinya, semua lembaga ini berperan memenangkan kekuasaan politik dan menerapkan-nya.
Landasan untuk mendirikan partai, bahkan partai-partai modern, beraneka ragam. Suatu situasi kelas atau situasi bersama, bisa saja menjadi satu-satunya bagi penerimaan anggota suatu partai politik, tetapi hal ini jarang terjadi, didalam tiap kasus khusus, partai-partai bisa mewakili kepentingan yang di tentukan oleh situasi kelas atau situasi status.....akan tetapi partai-partai itu tidak perlu merupakan partai kelas murni ataupun partai status murni; dalam kenyataan, partai-partai lebih mungkin menjadi jenis-jenis campuran, bahkan kadang-kadang diluar pembagian seperti itu.
Hebert Feith dan Lance Castle[9] menggunakan pemikiran Weber dalam menganalisis masyarakat politik Indonesia pasca kemerdekaan, yaitu dari tahun 1945 sampai pada tahun 1965. menurut pakar politik Indonesianis ini bahwa dalam masyarakat Indonesia terdapat lima aliran politik, yaitu Islam, Nasionalisme Radikal, Komunisme, Sosialisme Demokrat, dan Tradisionalisme Jawa. Aliran-aliran politik itu kemudian berwujud dalam bentuk partai politik. Masyumi dan NU sebagai perwujudan aliran politik Islam, PNI sebagai perwujudan Nasionalisme Radikal, PKI sebagai perwujudan Komunisme, dan PSI sebagai perwujudan Sosialisme Demokrat. Sementara aliran Tradisonalisme Jawa meskipun tidak dalam wujud partai politik yang besar, ia mempengaruhi partai politik seperti NU, PKI, dan PNI. Akibat banyaknya aliran politik tersebut.
Dalam melihat tentang kemungkinan terjadinya pembentukan partai politik diluar kesamaan status dan kelas weber. Josep Lapalombara  dan Myron Weiner melihat terbentuknya sebuah partai[10]. Pertama, teori kelembagaan yang melihat ada hubungan antara parlemen awal dan timbulnya partai politik. Kedua, teori situasi historis yang melihat timbulnya partai politik sebagai upaya suatu sistem politik untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan dengan perubahan masyarakat secara luas. Ketiga, teori pembangunan yang melihat partai politik sebagai produk modernisasi sosial ekonomi.
Teori pertama mengatakan partai politik dibentuk oleh kalangan legislatif dan eksekutif ini disebabkan karena kebutuhan para anggota parlemen (yang ditentukan berdasarkan pengangkatan) untuk mengadakan kontak dengan masyarakat dan membina dukungan dari masyarakat. Setelah partai politik terbentuk dan menjalankan fungsi, kemudian muncul partai politik lain yang dibentuk oleh kalangan masyarakat. Partai politik terakhir ini biasanya dibentuk oleh pemimpin masyarakat yang sadar politik berdasarkan penilaian bahwa partai politik yang dibentuk pemerintah tidak mampu menanmpung dan memperjuangkan kepentingan mereka (rakyat). Hal terakhir ini sering kita temui dalam sejarah bangsa negara di Dunia.
Teori kedua menjelaskan krisis situasi historis terjadi manakalah suatu sistem politik mengalami masa transisi karena perubahan masyarakat dari bentuk tradisional yang berstruktur sederhana menjadi masyarakat modern yang berstruktur kompleks. Pada situasi ini terjadi berbagai perubahan, seperti pertambahan penduduk karena perbaiki fasilitas kesehatan, perluasan pendidikan, mobilitas okupasi, perubahan pola pertanian dan industri, partisipasi media, urbanisasi, ekonomi berorientasi pasar, peningkatan aspirasi dan harapan-harapn baru, dan munculnya gerakan populis. Perubaha-perubahan itu menimbulkan tiga macam krisis, yakni legitimasi, integrasi, dan partisipasi. Artinya, perubahan-perubahan mengakibatkan masyarakat mempertanyakan prinsip-prinsip yang mendasari legititimasi kewenangan pihak yang memerintah; menimbulkan masalah dalam identitas yang menyatukan masyarakat sebagai suatu bangsa; dan mengakibatkan timbulnya tuntutan yang semakin besar dalam proses politik. Untuk mengatasi tiga permasalah ini lah partai politik dibentuk. Partai politik yang berakar kuat dalam masyarakat diharapkan dapat mengendalikan pemerintahan sehingga terbentuk semacam pola hubungan kewenangan yang berlegitimasi antara pemerintah dan masyarakat. Partai politik yang terbuka bagi setiap anggota masyarakat dan beranggotakan pelbagai etnis, agama, daerah, dan pelapisan sosial ekonomi diharapkan dapat berperan sebagai pengintegrasi bangsa. Selanjutnya partai politik ikut serta dalam pemilihan umum sebagai sarana konstitusional mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan diharapkan dapat pula berperan sebagai saluran partisipasi masyarakat.
Teori ketiga melihat modernisasi sosial ekonomi, seperti pembangunan teknologi kominkasi berupa media massa dan transportasi, perluasan dan peningkatan pendidikan, industrialisasi, urbanisasi, perluasan kekuasaan negara seperti birokratisasi, pembentukan berbagai kelompok kepentingan dan organisasi profesi, dan penigkatan kemampuan individu yang mempengaruhi lingkungan, melahirkan suatu kebutuhan akan suatu organisasi plitik yang mampu memadukan dan memperjuangkan berbgai aspirasi tersebut. Jadi, partai politik merupakan produk logis dari modernisasi sosial ekonimi. Teori ketiga memiliki kesamaan dengan teori kedua, bahwa partai politik berkaitan dengan perubahan yang ditimbulkan modernisasi. Perbendaan kedua teori ini terletak dalam proses pembentukannya. Teori kedua mengatakan perubahan menimbulkan tiga krisis, sedangkan teori ketigan mengatan perubahan-perubahan itulah yang melahirkan kebutuhan adanya partai politik.

Kelas, Status dan Partai sebagai Sumber Kekuasaan
Pembentukan kelas-kelas yang berbeda dalam struktur dalam masyarakat, menurut Weber, harus didasarkan pada pluralitas sumber-sumbernya. Analisa pada fenomena ketidaksetaraan kelas harus dipadukan dengan dua ide yang sebenarnya berbeda secara konseptual dengan kela stetapi turut berperan dalam pembentukan perbedaan kelas dalam realitas sosial. Konsep-konsep tersebut adalah status dan partai.
Telah diuraikan diatas bahwa kelas adalah kategori yang bersifat individual berdasarkan kemampuan baik dalam hal ketrampilan maupun modal dalam sistem ekonomi (pasar). Status yang terdapat secara inheren dalam masyarakat, sangat berbeda dengan kelas. Masyarakat bagi Weber bukan hanya sekumpulan individu yang hidup bersama namun juga memiliki perasaan subyektif tentang keanggotaan bersama dan kesadaran kelompok yang terdefinisikan dengan baik. Status dalam masyarkat merupakan ciri khas gaya hidup atau cara mengatur kehidupan yang membedakannya dengan kelompok lain. Bila kelas keanggotaannya diakui lewat kekuatan ekonomi, status didapatkan dari sumber-sumber non-ekonomi seperti kehormatan sosial atau prestise yang didistribusikan dengan model-model tertentu. Jadi ada dua sistem representasi kekuasaan yang berlaku secara bersamaan dalam masyarakat.
Namun adakalanya dua sistem ini saling berhubungan, dalam artian individu yang menduduki kelas atas (secara ekonomi) juga memiliki status sosial yang tinggi pula. Dan bila status ini diakui dan dinyatakan dalam bentuk interaksi nyata antar anggota masyarakat maka telah terdapat kesadaran akan posisi dan perasaan in group yang kuat dari masing-masing anggotanya sehingga munculkan kelas sosial. Peranan sistem status dalam membentuk kelas sosial ini tampak nyata bila dalam perilaku keseharian seseorang akan memilih bergaul dengan orang lain yang mempunyai latar belakang yang sama baik secara sosial maupun ekonomi, jadi ada kesadaran kelas yang menyatukan mereka lebih dekat bila dibandingkan dengan orang lain dari kelas maupun status yang berbeda.
Dengan analisa struktur masyarakat yang lebih plural ini Weber ingin menunjukkan bahwa ada sumber-sumber kekuasaan lain selain ekonomi dalam struktur masyarakat. Jadi ada kemungkinan bagi individu untuk mengusahakan mobilitas vertikal dalam struktur sosial melalui jalan lain selain ekonomi. Hal ini juga menjelaskan sumber-sumber kemampuan aktor seperti Paus atau Karrdinal dalam mempengaruhi tindakan Raja atau para Bangsawan lain yangg notabene menduduki kelas tertinggi dalam ekonomi. Sumber kekuatan aktor seperti ini bukan dari sistem pasar ekonomis seperti yang tampak nyata dalam masyarakat namun berasal dari pemaknaan subyektif masyarakat yang menempatkan agama sebagai bagian penting dalam kehidupan masyarakat.
Kosep ketiga yang termasuk dalam bahasan distribusi kekuasaan dalam masyarakat perspektif Weberian adalah Partai. Partai dalam konsepsi Weber adalah asosiasi volunter pada sebuah sistem organisasi kolektif dalam mengejar kepentingan bersama. Partai yang diasumsikan oleh Weber lebih mengarah pada organisasi kepentingan atau profesi yang berfungsi sebagai kelompok penekan bukan partai politik seperti yang umumnya kita kenal. contohnya seperti Asosiasi Konsumen, Perkumpulan Dokter dan lain-lain.
Seperti juga pada keanggotaan kelas sosial dan kelompok status, dalam partai ini juga terdapat kesadaran kolektif dan solidaritas karena pada dasarnya pada kondisi tertentu kelompok status dan kelas sosial itu sendiri bisa dikatakan sebagai partai. Perbedaannya hanya pada bentuk formal organisasi dan administratif yang merepresentasi kelompok tersebut. Jadi, tidak semua kelas sosial atau kelompok status adalah partai begitupun sebaliknya. Overlapping konseptual ini menegaskan pluralitas dan konpleksitas struktur sosial Weberian. Partai, seperti juga kelas dan kelompok status, juga merupakan kekuatan sosial yang turut berperan dalam membentuk struktur sosial.

Kuasa, Dominasi dan Wewenang
Power merupakan salah satu konsep sentral dalam sosiologi Weberian terutama dalam hubungannya denga kajian social inequality. Dalam pandangan Weber, ketidaksetaraan dalam masyarakat merupakan buah dari perbedaan pencapaian individual dalam konteks pergulatan sosial (persaingan dan pertentangan antar kepentingan). Pergulatan ini adalah esensi makna dari politik menurut Weber. Power adalah faktor yang penentu hasil pergulatan sosial sekaligus yang menjaga kondisi ketidak-setaraan.
Power dalam definisi Weber adalah “kemungkinan individu, aktor dalam hubungan sosialnya berada dalam satu posisi yang mampu menyatakan kepentingannya tanpa mendapatkan tentangan”. Definisi ini membawa beberapa konsekuensi pada sifat kekuasaan itu sendiri yang sporadis, dan dapat berubah sewaktu-waktu. Sedangkan dominasi, dalam perspektif Weber, adalah bentuk khusus dari power. Dominasi adalah kondisi aktual power dalam konteks hubungan sosial ketika individu atau kelompok menerima posisi tertentu dalam kerangka struktural tertentu sebagai penerima perintah dari kelompok dominan. Dominasi menunjukkan adanya pola reguler yang dibangun untuk menunjukkan ketidaksetaraan berdasarkan power. Perbedaan antara power dan dominasi ini memungkinkan kita menganalisa praktik power sebagai suatu tindakan berkelanjutan dalam kerangka ketidaksetaraan sosial sebagai fenomena yang terstruktur. Jadi dominasi menjadikan power lebih bersifat tetap dan berkelanjutan dalam tataran praksis daripada pada level definisi seperti pada awalnya.
Secara operasional, konsep dominasi ini dapat dihubungkan dengan kategorisasi struktur masyarkat yang telah disusun oleh Weber sebelumnya yaitu kelas sosial, kelompok status, dan partai. Ketiga kategori dalam struktur masyarakat ini merupakan prinsip-prinsip dasar dalam praksis kekuasaan dalam realitas sosial. Dengan kata lain, anggota dari kelas sosial, kelompok status dan partai yang dominan dalan masyarakat akan dapat menyatakan kepentingannya secara reguler dalam satu struktur masyarakt tertentu.
Konsep selanjutnya akan membahas alasan individu atau masyarakat yang berada pada level bawah mau menerima posisi mereka yang tersubordinasi. Dalam pemikiran Weber, salah satu alasannya adalah adanya legitimasi yang menajadikan kelas-kelas atas mempunyai keabsahan untuk melakukan dominasi. Ada tiga macam legitimasi yang diajukan oleh Weber untuk menjelaskan fenomena dominasi dalam masyarakat berdasarkan sumber-sumbernya. Pertama adalah legitimasi yang didapatkan dari kualitas individual seorang pemimpin yang acapkali disebut sebagai legimasi karismatik. Kualitas inimeliputi kepemimpinan, wibawa, popularitas. Kedua adalah legitimasi yang didapatkan dari hukum atau peraturan yang telah ditetapkan, yang disebut legal legitimacy. Ketiga adalah legitimasi yang didapatkan dari hak-hak tradisional untuk memimpin oleh individu atau kelompok tertentu yang dianggap lebih tinggi kedudukannya oleh masyarakat, disebut traditional authority. Selain legitimasi, ada banyak faktor lain yang dapat menjadi alasan penerimaan atau kepatuhan individu dan masyarakat terhadap dominasi. Faktor tersebut antara lain kebiasaan yang tidak pernah dipikirkan lebih jauh, konvensi, dan lain-lain. Subjek yang tersubordinasi dan menjadi objek dominasi hampir tidak memilki kesempatan untuk berubah karena adanya kepentingan individual tertentu, ketakutan terhadap penggunaan kekuatan fisik dan lain-lain.
Uraian di atas menunjukkan berbagai variasi faktor-faktor dominasi dan legitimasi yang masih konsisten dengan pluralitas Weber. Elaborasi berbagai konsep legitimasi ini juga menunjukkan bukti pandangan awal Weber tentang kompleksitas dalam proses pembentukan realitas sosial sehingga perlu diperhitungkan dalam menganalisa fenomena sosial. Kompleksitas ini berguna dalam pengmbangan konsep power sebagai konsep yang bersifat pivotal untuk memahami ketidaksetaraan yang terjadi baik dalam level kelompok sosial yang dibedakan berdasarkan ras, gender, etnisitas dan usia.


D. KESIMPULAN
Bagi Weber terkait dengan adanya posisi ekonomi sebagai dasar kelas sebagaimana menurt Karl Marx tidak keberatan, hanya saja ia menambahkan dua elemen lain yaitu kelompok status dan kekuasaan politik (party). Ketiga dimensi ini bisa tumpang tindih dengan salah satu atau keduanya dalam banyak keadaan dan situasi. Namun, dalam hal lain berbeda dan bisa berdiri sendiri. Karena menurut Weber, struktur kekuasaan tidak harus setara dengan struktur otoritas. Otoritas adalah kemungkinan seseorang akan di taati atas dasar suatu kepercayaan akan legitimasi haknya untuk mempengaruhi.
Pembentukan kelas-kelas yang berbeda dalam struktur masyarakat, menurut Weber, harus didasarkan pada pluralitas sumber-sumbernya. Analisa pada fenomena ketidaksetaraan kelas harus dipadukan dengan dua ide yang sebenarnya berbeda secara konseptual dengan kelas tetapi turut berperan dalam pembentukan perbedaan kelas dalam realitas sosial. Konsep-konsep tersebut adalah status dan partai.












DAFTAR BACAAN

Anthony Giddens. Capitalism and Modern sosial theory analysis of wrinting of Marx, durkheim and Max Weber. Cabridge University Press; London. Diterjemah oleh Soeheba Kamadibrata, 1986, ”Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Suatu analisis karya tulis Marx, Durkheim dan Max weber”. UI Press jakarta.

Doyle Paul Jhonson, 1986. Teori Sosial Klasik Dan Modern. Penerjemah Robert, M.Z. lawang, PT Gramedia, jakarta

Riswanda Imawa. Membedah Politik Orde Baru. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Cetakan 1 Februari 1997.

Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta. PT Gramedia Widiasarana. 1999.

Lili Romli. Islam yes, partai islam yes. Sejarah perkembangan partai-partai Islam di Indonesia. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 2006.



[1] Anthony Giddens. Capitalism and Modern sosial theory analysis of wrinting of Marx, durkheim and Max Weber. Cabridge University Press; London. Diterjemah oleh Soeheba Kamadibrata, 1986, ”Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Suatu analisis karya tulis Marx, Durkheim dan Max weber”. UI Press jakarta,  hlm 200
[2] Anthony Giddens. Ibid  hlm 201
[3] Ibid. hlm 202
[4] Ibid hlm 202
[5] Ibid. hlm 203-204
[6] Ibid. hlm 205
[7] Ibid. hlm 209
[8] Maurice Duverger dalam Riswanda Imawa. Membedah Politik Orde Baru. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Cetakan 1 Februari 1997.
[9] Hebert Feith dan Lance Castle dalam Lili Romli. Islam Yes, Partai Islam Yes. Sejarah perkembangan partai-partai islam di Indonesia. Yogyakarta, diterbitkan atas kerjasama pustaka pelajar. 2006, Hal 107-108
[10] Josep Lapalombara  dan Myron Weiner. 1966. “The Origin And Development Of Polical Parties” dalam bukunya yang mereka sunting. Polical Parties And Political Development. Princeton: Princeton University Press. Hal 7-12. dalam Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta. PT Gramedia Widiasarana. 1999. Hal 113 

PEMIKIRAN POLITIK MUHAMMAD HATTA TENTANG “DEMOKRASI EKONOMI”






A.    DESKRIPSI PEMIKIRAN MOHAMMAD HATTA

Bung Hatta adalah salah satu the founding father dan tokoh proklator republik indonesia bersama soekarno. Dalam sejarah percaturan politik dan pemikiran politik diindonesia pada masa kolonialisme dan pendudukan jepang sserta pada era kemerdekaan mereka menjadi aikon bangsa indonesia dalam merancang indonesia yang merdeka dan beraulat, berkesejahteraan.
Sekilas menelusuri kehidupan pribadin Hatta (1902-1980), keluarganya, serta pendidikan dan perjuangan politiknya sangat penting karena sangat berpengaruh dalam bentuk cara berpikir. Hatta ketika kecil di Minagkabau terjaadi gejolak dan peperangan akibat prilaku kolonial belanda banyak berbuat tidak adil dan semena-mena pada rakyat.sehingga berakhir pada peperangan antara nagari kamang bukittiggi dengan pmerintah kolonial belanda  pada 1908. Hatta disekolahkan oleh oran tuanya di Sekolah Rakyat, hanya tiga tahun ia pindah kesekolah belanda,yakni Europese Lagere School (ELS). kemudian dia kuliah di belanda di Handels Hoogere School, dengan mengambil jurusan ekonomi perdaganga. Perjuangan Hatta pada pergulatan politik yang mempengaruhi pembentukkan kepribadiannya adalah ikut terlibat dalam kegiatab Jon Sumatrane Bon (JSB), serta pergaulannya dengan orang terkemuka dijakarta. Antara lain H Agus Slamim, Abdoel Moeis. Dibelanda Hatta pernah memimpin Perhimpunan Indonesia (PI), melalui organisasi ini dia menegaskan perlunya sikap Nonkooperatif untuk mengusir imperialisme Belanda demi tercapainya indonesia merdeka. Melalui semboyang “indonesia merdeka sekarang juga!” Hatta menghadiri forum internasional atau kongres anti inperialisme. Pada kongres anti imperialisme di Brussel pada 1927 dia berkenalan dengan tokoh dari belahan negara lain seperti tokoh pergerakn India Pandit Jawarha Nehru.   
Atas hasil pergulatannya dengan dunia luar dan dalam negri Bug Hatta menjadi tokoh yang menakutkan bagi Belannda dengan ketajaman berpikirnya. Memang menyelami pemikiran politik Hatta tentang politik keindonesia ibarat menyelam samudra luas. Begitu luas pemmaham yang beliau sumbagkan tentang konsep Negara yang ideal bagi tegaknya indosesia yang beradab, mandiri, dan sejahterah. Ada beberapa hal penting pemikiran politik Bung Hatta yang tersohor tentang “Demokrasi Ekonomi” yang mendampingi “demokrasi politik” antara lain:
Menurut Hatta kerakyatan dalam sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat, khusunya hajat hidup orang banyak,yang bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu tidak berlaku sisem “ortodoksi ekonomi” sebagaimana pula demokrasi politick menolak “otokrasi politik”.
Dalam demokrasi ekonomi yang diajukan Bung Hatta berlaku “parisipasi ekonomi”, dan “emansipasi ekonomi”. Denokrasi itulah yang dimaksudnnya yang bermakna pada paham kerakyatan, bahwa rakyat adalah berdaulat.Bagaimana menegakkan dan menciptakan suatu masyarakat yang baik dan sejahterah. Untuk mencapai itu menurut Hatta, Pertama, harus ada jiwa dan semangat tolong menolong antara anggota dan warga masyarakat. Kedua, negara (politik) harus bersifat aktif dan tidak hanya menyerahkan sepenuhnya persoalan ekonomi kepada mekanisme pasar swasta dan koperasi. Bagi Bung Hatta kondisi seperti itu bisa menciptakan efisiensi yang tinggi sehingga mampu mengantarkan masyarakat pada tingkat kesejahteraan yang diharapkan. Atas pemikiran itu Hatta di juluki sebaga bapak kedaulatan, bapak koperasi (ekonomi) bangsa ini.
Atas pemikiran-politik tentang kedaulatan rakyat tersebut Bung Hatta mengalami tudingan oleh kawan-kawan seperjuangannya dan para analisis tentang pokok ajaran pikirannya tentang demokrasi politik dan demokrasi ekonomi dikemudian hari. Misalnya dalam konteks pemikiran islam perannya dalam menghapus tujuh (7) kata Piagam jakkarta menjelang proklamasi kemerdekaan, telah menyebabkan dirinya tidak sebagai kelompk islam. Misalnya Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Khar Muzakkar, M. Natsir, Syafruddin Prawira Negara dan lain-lain. Mengatakan sebagai “kelompok nasionalis” seperti Soekarno, dan Sjahrir.Hatta juga dicap sebagai kelompok “Nasionalis Sekuler” sebagai antitesis dari nasionalis islam. Demiian yang dikatakan TH. Sumartana dan MC Ricklefs. Lain dari pada itu, Endang Saifunddi Anshari mengatakan Hatta adalah “nasionalis muslim  sekuler.

B.     ANALISIS PEMIKIRAN MOHAMMAD HATTA

Benarkah Hatta meningtroduksi pemikiran Barat (sekuler)?. seperti yang dialamatkan oleh diatas. Menurut Nurcholish Madjid Hatta mengiginkan semua kegiatan kenegaraan harus berlangsung dibawah sinar ketuhanan yang maha esa, dengan begitu kegiatan kenegaraan kita memiliki dasar metafisik sehingga menghasilkan komitmen yang total, yang tumbuh dari kesadaran bahwa semua perbuatan dan tingkah laku manusia adalah bermakna dan akan dipertanggungjawabkan di hadapan tuhan. Nasioanalis sekuler adalah “salah kaprah”.
Lepas dari dikotomi antara nasionalis islam dan nasionalis sekuler. Pada pokoknya Pemikirin “Demokrasi Ekonomi” Hatta hemat saya ada beberapa hal yang beliau harapkan adalah membangun masyarakat yang sejahterah (kedaulatan kerakyatan),. Negara yang kuat secara ekonomi, dan berakhir pada kedaulatan kerakyatan. Namun sesungguhnya ada beberapa kelemahan pemikiran tersebut. Semangat tolong menolong antara anggota dan warga masyarakat. Serta negara (politik) harus bersifat aktif dan tidak hanya menyerahkan sepenuhnya persoalan ekonomi kepada mekanisme pasar swasta dan koperasi. Semangat nasionalisme rakyat dan elit Negara yang menyatu, dan berkeadilan tidak dipikirkan. Padahal menurut penulis terciptanya semangat kebersamaan (gotong royong) dan adanya otoritas Negara dalam mengatur dan mengawal pengelolaan sumber ekonomi masyarakat berawal dari itu. Itulah kelemahan “Demokrasi Ekonomi” Bung Hatta sekiranya.






Buku Bacaan:
ANWAR ABAS. BUNG HATTA DAN EKONOMI ISLAM. Pergulatan Menangkap Makna Keadilan Dan Kesejahteraan.DITERBITKAN LP3M STIE Ahmad Dahlan Jakarta. 2008.

F A S I S M E- CRITICAL REVIEW


  

A. Ringkasan
Sebagaimana kita ketahui dari studi penelusuran teoritis, bahwa Istilah fasisme dikembangkan dari istilah latin ”fasces” yang merupakan simbol kekuasaan pada jaman Romawi kuno. Di Italia dikenal pula istilah ”fascio” dengan arti dan konotasi yang sama.
Fasisme muncul dan dikenal luas di italia setelah perang duania I sebagai gerakan politik dan sempat menguasai negara itu dari tahun 1922 sampai1943. tetapi sebelum itu, telah dikenal istilah ”fasci” yang sering kali diartikan sebagai kelompok politik yang memperjuangkan tujuan-tujuan tertentu. Fasisme sebagai gerakan politik lebih esklusif sifatnya setelah dikaitkan dengan gerakan-gerakan yang diorganisasi oleh Benito Mussolini pada tahun 1919.
Rene Albrecht- Carie berpendapat bahwa Mussolini dan Nazisme Hilter sangat dipengaruhi oleh pemikiran Fichte dan Hegel. Dalam hubungan ini bisa dikatakan bahwa Fasisme tidak lain merupakan perkembangan radikal dari teori negara Hegel.
Disamping berusaha untuk mewujudkan cita-cita Hegel. Fasisme juga cenderung menganut moralisme idela yang selalu didengungkan Hegel dan diperjuangkan pula oleh Fichte, Green, Carlyle atau pun Mazzini. Sesuai dengan ajaran tersebut, orang seyogyanya lebih menuntut kebijakan daripada sekedar memenuhi kesenangan pribadi, ia harus lebih mementingkan tugas dan kewajiban dari pada hanya menuntut haknya semata-mata, dan pengorbanan diri atas nama masyarakat harus dilaksanakan atas dasar kepentingan diri sendiri (self interest).
Fasisme adalah peberontakan kedua setelah pemberontakan komunisme pada abad ke 20 terhadap cara hidup barat yang liberal. Fasisme adalah pengaturan pemerintahan dan masyarakat secara totaliter oleh satu kediktatoran partai tunggal yang sangat nasionalis, rasialis, militeris, dan imperialis. Negara yang pertama menjadi fasis italia (1922), disusul oleh Jerman (1933), dan Spanyol (1939). Di Asia, Jepang (1930-an) dengan mengembangkan sedikit demi sedikit lembaga-lembaga totaliter dari warisan pribuminya sendiri.
Apabila komunisme adalah satu bentuk sistem totaliter yang secara khas ada hubungannya dengan bangsa-bangsa yang melarat dan terbelakang, seperti, (Rusia di Eropa, dan Tiongkok di Asia). Maka, Fasisme adalah bentuk sistem totaliter yang secara khas pula tumbuh di kalangan bagsa-bangsa yang lebih berada dan secara teknologis lebih maju, (Jerman, di Eropa, Jepang di Asia).
Apabila komunisme sebagian besar adalah hasil dari masyarakat-masyarakat pra-idemokrasi dan pra-indistri, maka Fasisme adalah paham yang lahir setelah demokrasi dan industri. Pertama adanya demokrasi, Fasisme tidak mungkin lahir di negara-negara yang belum mempunyai pengalaman demokrasi sama sekali. Syarat kedua yang perlu bagi pertumbuhan fasisme adalah tingkat perkembangan industri yang cukup maju. Sedikitnya ada dua titik pokok antara fasisme dan indutrialisasi yang relatif maju. Pertama, teror dan propaganda fasis banyak memerlukan organisasi dan ”knowhow” teknologi. Kedua, sebagai sistem mobilisasi permanen untuk perang, fasisme tidak dapat berharap akan berhasil tampa punya cukup banyak persediaan kecakapan dan sumber-sumber industri.
Jadi secara singkat perbedaan Komunisme dan Fasisme adalah sebagai berikut. Komunisme adalah cara totaliter untuk mengindustrialisasi suatu masyarakat yang terbelakang, sedangkan Fasisme adalah cara totaliter untuk menyelesaikan konflik-konflik dalam satu masyarakat yang telah lebih maju industrinya.

Fasisme Merupakan Ideologi
Fasisme, sebagaimana dikemukan oleh Mussolini sendiri, merupakan satu ideologi yang menerima ajaran-ajaran oportunisme Machiavelli, Absolutisme Politik Hegel, ajaran kekuasaan Sorel, dan model-model pragmatisme William James. Selain itu juga ditegaskan bahwa Fasisme bukalah ideologi yang bersifat digmatisme dan kaku, akan tetapi dipandang sebagai ideologi yang luwes dimana ajaran-ajarannya diterima sebagai sebagai sesuatu kenyataan darurat sesuai dengan suasana yang ada dalam masyarakat dan negara. Hakekat Fasisme adalah kepercayaan dan instink, dan bukan akal atau ajaran.
Fasisme menolok gerakan Pasifisme, Menolak Demokrasi, Liberalisme. Fasisme lebih cenderung mendekati nasionalisme dan imperealisme, serta lebih tertarik kepada tradisi pada jaman Romawi.

Unsur-Unsur Doktrin Politik Fasis
Meskipun dikalangan kaum fasis tidak terdapat manifesto fasis dengan otoritas yang tidak diperdebatkan, tidak terlalu sukar untuk menerangkan unsur-unsur utama dari pandangan fasis:
  1. Ketidak percayaan akan pertimbangan akal;
Tradisi rasional Barat yang berasal dari yunani. Fasisme menolak Yunani sebagai tempat asal peradaban Barat dan secara terus terang anti rasinalitas. Tidak percaya akan pentingnya akal dalam unsur-unsur kemanusiaan. Cenderung meletakan titik berat pada unsur-unsur yang tidak rasional, sentimentil, dan tidak bisa di kontrol pada manusia. Secara psikologis, fasisme lebih fanatik dari pada mempunyai pertimbangan, lebig dogmatis dari pada berpikir terbuka. Oleh karena itu setiap rezim Fasisme mempunyai ”taboo”-nya, seperti soal suku bangsa, kerajaan, pemimpin. Sifat sesuatu daru ”taboo” adalah harus diterima atas dasar kepercayaan dan tidak dapat dipersoalkan secara kritis. Selama rezim fasis berkuasa di Italia (1922-1945), gambar Mussolini diperlihatkan di setiap ruangangan kelas dengan tulisan ”Mussolini adalah senantiasa benar”.
  1. Penyangkalan terhadap persamaan manusia pada dasarnya;
Pada dasarnya adalah sikap yang sama-sama di miliki oleh gerakan-gerakan dan negara-negara fasis (juga Komunis). Memang benar bahwa masyarakat demokratis tidak selalu mempraktekkan cita-cita persamaan manusia, tetapi meraka akan di ganggu oleh hati nurani sendiri apabila gagal berbuat demikian. Paling tidak menerima persamaan sebagai tujuan jangka panjang politik pemerintah. Sebaliknya, masyarakat fasis bukan saja tidak menerima kenyataan tidak samanya manusia, tetapi bertindak lebih lanjut dan menegakkan ketidak samaan sebagai cita-cita, konsep (gagasan) persamaan di antara manusia bertitik pangkal pada tiga asal usul peradaban Barat. Fasisme menolak konsep Yahudi-Kristen-Stois menegenai persamaan sebagai satu konsep yang lunak dan sama sekali tidak benar. Mereka mengemukakannya sebagai tantangan Konsep ketidak samaan yang paling mudah diterangkan dalam bentuk kontras antara superioritas dan inferioritas. Jadi, dalam kode kaum fasis, kaum laiki-laki lebih tinggi derajatnya dari perempuan, demikian juga serdadu-serdadu lebih tinggi kedudukannya dari orang-orang sipil, anggota partai dan yang bukan anggota partai, bangsa sendiri dari bagsa lain, yang kuat dari yang lemah, yang menang dalam perang dan yang kalah. Ukuran yang utama tentang persamaan dalam tradisi Barat adalah pikiran dan jiwa manusia,sementara penegasan Fasis tentang ketidak samaan didasarkan atas kekuatan.
  1. Kode tingkah laku berdasarkan dusta dan kekerasan;
Fasis meletakkan titik berat pada cara kekerasan dan dusta dalam segala hubungan manusia, dalam lingkungan, dan di antara bangsa-bangsa. Dalam sudut pandang demokratis, politik adalah satu peralatan untuk menyelesaikan konflik-konflik sosial yang penting secara damai. sebagai lawanya, pandangan fasis menyatakan bahwa politik diberi sifat oleh hubungan kawan-musuh. Politik bermula dan berkesudahan. Menurut cara berpikir fasis, dengan kemungkinan adanya seorang musuh dan penghapusan secara total. Antitesis demokratis bagi kawan ialah lawan. Dan dikalangan bagsa-bangsa demokratis, lawan hari ini di anggap sebagai pemerintahan yang potensial di hari besok.
Kauam fasisme hanya mengenal musuh, bukan lawan. Karena musuh-musuhnya hanya merupakan penjelamaan kejahatan, penghancuran secara total adalah satu-satunya penyelesaian. Doktrin ini berlaku bagi musuh di dalam dan luar negeri.  
  1. Pemerintahan oleh golongan terpilih;
Adalah satu prinsip yang digunakan oleh kaum fasi dimana-mana sebagai tantangan terhadap ”kegagalan Demokratis” bahwa rakyat sanggup untuk memerintah diri sendiri. Ide fasisme mengenai pemerintahan oleh golongan terpilih yang menunjuk diri sendiri. Dibawah pemerintahan rezim fasis, pemerintah bebas dari persetujuan rakyat. Prinsip kepemimpinan fasis menunjukan betapa ekstrimnya konsep pemerinyahan oleh elite. Ia mencerminkan sepenuhnya sifat yang tidak rasional dari politik fasis. Pemimpin di anggap tidak mungkin bersalah, dan dianggap mempunyai kesanggupan-kesanggupan gaib, dan penerima ilham.
  1. Sistem totaliter;
Fasisme adalah totaliter, ia menggunakan otoritas dan kekerasan dalam segala macam hubungan sosial, baik politik maupun tidak. Famisime bersifat anti feminisme, kaum perempuan harus tinggal dengan urusan mereka, kata kaum Nazi, yang harus mereka urus adalah tiga K, yaitu Kinder (anak-anak), Kuche (dapur), dan Kirche (gereja). Karena perempuan tidak sangup memanggul senjata, mereka dengan sendirinya menjadi warga negara kelas dua menurut pandangan fasis.
Dalam bentuk ekstrim kaum fasisme modern seperti Nazisme di jerman, memperlihatkan kebenciannya terhadap kaum perempuan dengan jalan memper olok-olok lembaga perkawinan sebagai suatu hal yang hanya dibuat-buat oleh kaum Yahudi dan Kristen. Wanita Jerman dianjurkan untuk menghasilkan anak-anak untuk tanah air di luar perkawinan.
Negara fasis juga menolak memperkerjakan kaum perempuan terlalu banyak di sekolah-sekolah. Menurut kaum fasis, sekolah-sekolah adalah tempat untuk mengajarkan disiplin dan kepatuhan. Terutama untuk mempersiapkan anak-anak laki-laki untuk dinas kemiliteran dan anak-anak perempuan untuk kegiatan rumah tangga.    
  1. Rasialisme dan imperialisme;
Adalah dua dasar pokok bagi kaum fasis untuk menjalankan prinsip ketidak samaan dan kekerasan dalam rangka hubungan denga masyarakat bangsa-bangsa. Dalam lingkungan bangsa, kaum elite adalah yang paling unggul dari yang lain. Merekan dapat memaksakan keinginannya terhadap kelompok lain dengan cara kekerasan.
  1. Oposisi terhadap undang-undang dan aturan-aturan internasional;
Adalah akibat yang logis dari kepercayaan fasis tentang ketidak samaan, kekerasan, rasialisme, imperialisme, dan peperangan. Negara-negara fasis Menolak untuk bergabung dengan perserikatan-perserikatan bangsa.

Negara, Hukum dan Ekonomi Fasis
Negara dalam pengertian fasis berbeda dengan pengertian ideologi politik lainnya. Dalam pemahaman Fasis, bahwa negara berdiri diatas semua individu dan mempunyai nilai yang lebih tinggi dibanding individu. Kebebasan individu dibatasi untuk memberikan perhatian sepenuhnya kepada negara. Negara adalah diatas segala-galanya. Negara mempunyai peranan sangat penting dalam bentuk individu-individu yang tercakup didalamnya, untuk itu negara harus melakukan pengawasan mutlak kepada setiap aspek kehidupan individu, yang meliputi pendidikan, kehidupan ekonomi, dan memaksakan tercapainya keselarasan antara kerja dan modal. Dari sisi inilah bahwa fasisme menolak Sosialisme-Marxis maupun Kpaitalisme. Dibawah Fasisme hak milik perseorangan dipertahankan sepanjang pemakaiannya di letakkan dibaawah kekuasaan negara. Pertentangan kelas tidak dibenarkan dan berbagai bentuk pemogokan di basmi.
Negara berbadan hukum mempraktekkan prinsip-prinsip fasis dalam menjalankan organisasi dan pengawasan terhadap ekonomi. Ekonomi fasis terdiri atas asosiasi-asosiasi modal dan buruh yang di kontrol. Tujuan dari negara yang berbadan hukum terutama adalah kekuasaan negara dan bukan kesejahteraan individu. Tujuan akhir dari organisasi ekonomi yang berbadan hukum adalah mempersiapkan suatu peperangan ekonomi yang permanen. Karena imperialisme agresif adalah tujuan akhir dari politik luar negeri fasis. Mussolini mengatakan bahwa negara berbadan hukum adalah satu partai, pemerintahan totaliter.

Daftar bacaan
Cheppy Haris Cahyono (penyunting) 1988. Ideoligi Politik. Pt. Hanindika Graha Widiaya. Yogyakarta.

Wiliam Ebenstein, 2006. Isme-Isme Yang Menggoncangkan Dunia. Narasis, yogyakarta.