Aku ingin memuntahkan seluruh isi perutku, dan meluahkan seluruh emosi yang selama ini telah menjadi gumpalan api dalam tubuhku, ku ingin letupkan seketika seperti letupan Bom yang meluluhlantahkan Unisoviet. Dan kumuntahkan api perlawanan itu seperti gunung merapi memuntahkan lempengan yang ada dalam perutnya, dan ku ingin banting dia seperti ombak membanting karang, biar mati seketika manusia-manusia itu yang selalu berbicara demokrasi, tapi…..?
Indonesia setelah
memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, para fonding
father bangsa ini dengan suasana yang tidak kondusif memulai dengan serius
bahkan berapi-api untuk mencari sistem ketatanegaraan bagsa yang baru merdeka
kala itu. Berbagai gagasan terkait dengan persolan sistem ketatanegaraan di
presentasikan dalam forum yang memfasilitasi pada saat itu. Tapi, akhirnya
mencapai sebuah konsensus yaitu disepakati sistem kepemerintahan demokrasi.
Demokrasi pertama adalah
demokrasi terpimpin (Orla). Kedua demokrasi pancasila (Orde Baru), dan yang
ketiga, demokrasi liberal (Era Reformasi). Sampai sekarang, semua pemimpin
sama-sama mengkleim ditinya sistem pemerintahan yang dipimpinnya adalah
pemerintahan yang demokratis.
Ku saksikan, kulihat, kudengar. Ketika para
punggawa-punggawa di bumi Indonesia ini, baik secara langsung maupun lewat
media, selalu berbicara demokrasi dan perlu penciptaan iklim demokratisasi.
Sebagai sistem pemerintahan yang baik, yang mampu membawa negara ini dari
segala kelebihan yang dimilikinya, yaitu negara yang Miskin, ter-Korupsi,
Kolusi, Nepotisme atau disingkat (KKN), pelanggar HAM, dan negara yang tidak
menghargai perbedaan sebagai rahmat dari sang khalik. Perbedaan adalah bencana
dan sesatu yang diharamkan di bumi ini. Kenapa tidak..!!. Politisi dengan
politisi, saling menuding, membunuh, demi meraih sebuah yang bernama kekuasaan.
kiai dengan kiai, saling megkleim tentang kebenaran, padahal kebenaran yang
dianggap benar baginya adalah kebenaran subyektifitas, bukan kebenaran yang
ombekyetif, didunia ini tidak ada kebenaran yang hakiki. Yang ada hanyalah
kebenaran relative. Akademisi dengan para mahasiswanya, mahasiswa seolah tidak
bisa memprotes kebijakan kampus, itu dianggap melawan dosen, rektor dan
yayasan. Lalu kemudian diancam bahkan dikelurkan dikampus. Begitupun juga Agama
antar agama, sampai hari ini kleim antar agama satu dengan agama lain tentang
agama tuhan. Suku dengan suku lain, daerah antar daerah lain. Memperlihatkan
sebuah fenomena berbauh anarkis. Karema
bangunan dasarnya menganggap perbedaan merupakan barang haram di bumi Indonesia
ini. Padahal
lahirnya sebuah konsensus diawali dengan adanya perbedaan.
Lalu kenapa harus berbicara
demokrasi dan demokratisasi?, dan kenapa harus menyuarakan dengan lantang di
tengah teriknya matahari, dibawah guyuran hujan. Bahwa tegakkan nilai-nilai
demokrasi agar tercipta suasana yang demokratis. kalau kemudian dalam kehidupan
nyata nilai-nilai demokrasi dipecundangi, ditelanjangi, dan diperkosa
berramai-ramai. Inikah zaman yang diramalkan oleh Rangga Warsito dan Joyo Boyo,
walau keduanya itu hidup pada generasi yang berbeda dan zaman berbeda. Tapi
kejituan ramalan mereka pada titik yang sama. Bahwa akan ada suatu jaman nanti
yaitu “zaman edan”. Zaman yang diramalkan itu tengah bersemi di bumi Indonesia
ini dengan semakin sulit diterima secara rasional dan akal sehat.
Dalam keheningan,
kegelisahan seorang manusia, melihat fenomena di atas. Dari hari kehari
menunjukan ketimpangan dan pembunuhan secara pelan-pelan melalui kebijakan
pemerintah. Rakyat menjerit, berteriak dalam posisis ketidak berdayaan. Rakyat
dibuat semakin terpuruk dengan prodak kebijakannya tidak berpihak pada rakyat. Dibawah
rezim yang berkuasaan yang beratas namakan pemimpin yang demokratis. Sistem
Demokrasi adalah dimana pemerintah sebagai abdi rakyat (abdi dalem) berada
dalam posisi yang menampung seluruh aspirasi masyarakat dan kebijakan itu
berdasarkan aspirasi tersebut, serta dikembalikan pada rakyatnunutk kepentingan
rakyat pula.
Budaya Malu
Kita mungkin sering
bertanya,. Apakah nilai-nilai demokrasi yang selalu di bicarakan oleh elit-elit
dinegeri ini sudah diartikulasikan dalam bentuk nyata?. Kalau kita tanya
elit-elit negeri ini, dengan enteng mereka akan menjawab “ya”, sudah,
nilai-nilai demokrasi sedang dibagun oleh kami.
Memang budaya malu sudah
digeser oleh kepentingan politik ngawur. Rasa malu di distorsi dengan
pembenaran-pembenaran yang berselimutkan “apa yang dilakukan itu benar, sesuai
dengan aturan yang mengaturnya”. Pemeimpin-pemimpin seperti ini lah adalah ”musuh”
demokrasi, karena akan menciptakan iklim demokrasi yang semu.
Demokrasi hanya berbentuk
wujud dalam konfigurasi kekacauan, dan pembunuhan secara tidak langsung.
Padahal demokrasi, tidak sedemikain ekstrimnya. Demokrasi bukan merupakan hukum
rimba, bukan pula hukum yang dibuat hanya oleh satu orang manusia. Ia merupakan
jalan tengah, dimana seluruh manusia berbagai tanggungjawab untuk memastikan
bahwa ia bekerja dengan benar.
Ketika presiden Amerika
serika pada tahun 1885, Grover Gleveland. Ia dengan fasih memaparkan bagaimana
demokrasi menjalankan fungsinya. Bahwa seorang pemimpin mengangkat sumpah
jabatan, hanya bertanggungjawab dengan masalah-masalah pengabdian, dimana
setiap warga yang patriotik yang ada di ladang, di bengkel, dikesibukan
perdagangan pasar, dan diamna saja ikut bersama-sama menanggung, ketahuilah
rakyatku, konstitusi yang menetapkan sumpahnya adalah melikmu, pemerintah yang
sutu saat yang kamu pilih untuk mengatur adalah milikmu, hak pilih yang
mencerminkan kehendak bebas adalah milikmu, hukum dan keseluruhan tata aturan
masyarakat kita, dan rapat kota sampai rapat dewan perwakilan rakyat adalah
milikmu juga.
Manusia-manusia dibumi ini
yang tiada henti-hentinya berbicara demokrasi. Aku mungkin salah satu dari
sekian juta rakyat negeri ini dari sekian banyak rakyat mengatakan hal yang
sama ketika para elit negeri ini menjadikan demokrasi sebagai alat menutupi
kebodohan yang dimilikinya pada rakyat. Aku bukan bembeci demokrasi sebagai
sistem negara ini. Sekali lagi aku membenci orang bicara demokrasi, tapi tidak
mengindahkan demokrasi yang sering dibicarakan itu.
Pergantian rezim ke rezim
terus berjalan, waktu selalu mengikuti perubahan itu. Tapi, manusia-manusia
tiada hentinya berbicara demokrasi itu. Konon Kabar burung dari mulut kemulut
bahwa demokrasi mengandung janji-janji yang menggiurkan. Misalnya, Pasca
runtuhnya perang Dunia II serta runtuhnya komunisme di eropa timur, seluruh
masyarakat dunia mengarahkan pandangan matanya pada demokrasi di barat. Janji
itu tak lain dan tak bukan adalah harapan akan sirnanya perang saudara dan
kehancuran internasional. Manusia-manusia, telah muak terus-terusan menyaksikan
sebuah penindasan demi penindasan manusia atas manusia lain, seperi yang kekuatan
nazi di bawa kekuasaan Ahdolf Hilter dimana peragakan perbudakan atas manusia
lain. Despotik, tiranik, otoriterian yang tidak menghargai nilai-nilai manusia.
Aku tidak bisa membayangkan seperti apa raukan wajah manusia-manusia kala itu,
ketika merindukan manusia dengan manusia lain saling memeluk, bercanda,
tertawan, tampa ada permusuhan dan pembunuhan.
Sekelompok mahasiswa yang
berdemostrasi di timurnya Indonesia, tepat di irian jaya, depan universitas
cendrawasi. Dimana kelopok mahasiswa papua berorasi menuntut seputar eksistensi
perusahaan tambang emas raksasa milik negara adidaya Amerika Serikat, yang
bernama Fripot.
Aneh memang negara ini.
Negara yang menempatkan dirinya dalam barisan negara-negara dengan jumlah
penduduk nomor empat di dunia yang juga menjadi negara demokrasi nomor tiga
terbesar setelah India dan Amerika Serikat. Selalu dikejutkan dengan fenomena
pembantaian demi pembantaian, aku sempat berpikir, mungkin ini sebagai warisan
yang pernah dilakukan oleh pemimpin negara terdahulu, sebagai identitas yang
buram. Polisi melepaskan tembakan kepada barisan mahasiwa, dan mahasiswa tidak
mau kalah menyerang dengan melemparkan batu kearah polisi dan mengepung serta
memblokade jalan depan kampus dengan menumbahkan pohon-pohon di pinggir jalan.
sekelompok polisi yang pada misi awalnya
ingin menghentikan gerakan yang dilakoni mahasiwa. Bentrokan fisik tidak
terhindarkan sampai merengut korban jiwa yang kebetulan anggatan TNI dan polisi
tewas dengan seketika ditempat itu serta korban luka-luka mengenaskan, baik
dari polisi dan mahasiswa kena tembakan polisi bersarang ditubuhnya. Ceceran
darah telah memerahkan tanah. Kawan sebelahku ketika menyaksikan lewat TV
kejadian yang luar biasa itu. Berteriak
dengan nada yang menjengkelkan “kiamat sudah, hacur sudah Indonesia”. Aku
memahami dia secara spikologis dengan melihat fenomena tersebut berpengaruh
terhadap memunculkan emosi spontanitas.
Baru selang beberapa hari
kejadian berdarah disambut lagi oleh realitas yang diciptakan oleh actor dan
pemain yang sama. Yang membedakan, waktu, lokus kejadiannya. Kali ini tidak
kalah seruhnya fenomena di universitas candrawasi.. Di sumbawa, kawan-kawan
aktifis mahasiswa tertembak oleh oknum polisi, tidak tahu berapa yang tertebak.
Banyak kalangan mengatakan pembakaran cam newmont diseting oleh orang newmon
itu sendiri. Bisa jadi, secara politik merupakan distorsi politik gerakan.
Demakorasi sebagai ruang kebebasan?
Demokrasi memberikan ruang
khusus bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya, Justru elit-elit yang sering
menghimbau kepada masyarakat dalam berbagai kesempatan, nilai-nilai demokrasi
harus dibangun bersama dibumi Indoneia agar tercipta kondisi yang demokratis,
adil dan aman. Tapi kenyataan. Justru merekalah yang menjolimi demokrasi itu sendiri. Lalu
untuk apa berbicara demokrasi kalau cara mainnya tidak demokratis?. Saya terkadang
bertanya pada diri saya sendidri. Adakah yang berani bersuara dengan lantang
sambil menunjuk mukanya dan mengatakan “jangan bicara demokrasi”, entah dari
mahasiswa, kaum buruh tani, atau tokoh-tokoh intelektual mudan yang peduli
tehadap bangsa ini, demi mengawal agenda reformasi dan demi penciptaan
masyarakat adil dan makmur.
DEMOKRASI itu sendiri bukan
segala-galanya. Demokrasi memerlukan “norma”, lembaga yang mapan, serta pedoman
dan tatalaksana yang jelas. Tampa “norma” , kelembagaan yang mapan serta
tatalaksana yang jelas. Demokrasi mungkin akan menjadi demokrezy. Karena itu,
demokrasi bukan sebuah tatanan yang sekali jadi. Ia memerlukan waktu. Tetapi
kalau kita keliru mempersepsikan demokrasi, yang terjadi adalah anarki dan
kekerasan.
Hal demikian juga dirasakan
Sulastomo dalam melihat praktek elit-elit yang mengakui dirinya sang demokratis
sejati. Ia merasa pesimis. Dalam Bukunya Reformasi Antara Harapan Dan Realitas
(2005). Bila ketiga substansi demokrasi diatas tidak dibangun dan dijalankan
pada jalan yang benar. Yaitu norma, kelembagaan yang mapan, sebagai landasan
bersam. Dan bila system demokrasi yang benar-benar menigimplementasikan prinsip
“suara rakyat adalah suara tuhan.Demokrasi juga sebagai sala satu
esensinya adalah kesiapan mental untuk menerima kekalahan, tidak diterima
secara legowo dan jantan, atau dalam bahasa kren sekarang “berkompetisi yang
tidak sehat dan bermain tidak cantik lho” hanya bersiap untuk menang, kalau
demikian yang tumbuh justru semangat “apriori” yang dibungkus berbagai alasan
yang mengesankan rasional. Demokrasi yang esensinya adalah untuk mengabdi
kepada seluruh rakyat menjadi semata-mata akomodasi kepentingan politik
golongan/kelompok hanya demi untuk pembagian kekuasaan. Yang belum terlihat
sampai sekarang kejujuran para elit yang merupakan syarat untuk membangun
tradisi demokrasi yang sehat. Aspirasi rakyat sebagai hasil pemilu yang
demokratis 2004 kemarin tidak memperoleh akomodasi yang layak, karena
kepentingan politik golongan yang ditonjolkan pada publik. Kenyataan ini telah
merambat sampai pada tingkatan daerah (ke bawah), melihat behaviore
political sehari-hari, dengan satu asas bagaimana menghalalkan segalah cara
untuk mencapai tujuan, politik ala Machaevelli ini sampai sekarang masih
terjadi direpublik yang menganut sistem demokrasi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar