Kamis, 23 Februari 2012

Wacana Demokrasi, Praktek Demogrezy


Aku ingin memuntahkan seluruh isi perutku, dan meluahkan seluruh emosi yang selama ini telah menjadi gumpalan api dalam tubuhku, ku ingin letupkan seketika seperti letupan Bom yang meluluhlantahkan Unisoviet. Dan kumuntahkan api perlawanan itu  seperti gunung merapi memuntahkan lempengan yang ada dalam perutnya, dan ku ingin banting dia seperti ombak membanting karang, biar mati seketika manusia-manusia itu yang selalu berbicara demokrasi, tapi…..?

Indonesia setelah memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, para fonding father bangsa ini dengan suasana yang tidak kondusif memulai dengan serius bahkan berapi-api untuk mencari sistem ketatanegaraan bagsa yang baru merdeka kala itu. Berbagai gagasan terkait dengan persolan sistem ketatanegaraan di presentasikan dalam forum yang memfasilitasi pada saat itu. Tapi, akhirnya mencapai sebuah konsensus yaitu disepakati sistem kepemerintahan demokrasi.
Demokrasi pertama adalah demokrasi terpimpin (Orla). Kedua demokrasi pancasila (Orde Baru), dan yang ketiga, demokrasi liberal (Era Reformasi). Sampai sekarang, semua pemimpin sama-sama mengkleim ditinya sistem pemerintahan yang dipimpinnya adalah pemerintahan yang demokratis.
 Ku saksikan, kulihat, kudengar. Ketika para punggawa-punggawa di bumi Indonesia ini, baik secara langsung maupun lewat media, selalu berbicara demokrasi dan perlu penciptaan iklim demokratisasi. Sebagai sistem pemerintahan yang baik, yang mampu membawa negara ini dari segala kelebihan yang dimilikinya, yaitu negara yang Miskin, ter-Korupsi, Kolusi, Nepotisme atau disingkat (KKN), pelanggar HAM, dan negara yang tidak menghargai perbedaan sebagai rahmat dari sang khalik. Perbedaan adalah bencana dan sesatu yang diharamkan di bumi ini. Kenapa tidak..!!. Politisi dengan politisi, saling menuding, membunuh, demi meraih sebuah yang bernama kekuasaan. kiai dengan kiai, saling megkleim tentang kebenaran, padahal kebenaran yang dianggap benar baginya adalah kebenaran subyektifitas, bukan kebenaran yang ombekyetif, didunia ini tidak ada kebenaran yang hakiki. Yang ada hanyalah kebenaran relative. Akademisi dengan para mahasiswanya, mahasiswa seolah tidak bisa memprotes kebijakan kampus, itu dianggap melawan dosen, rektor dan yayasan. Lalu kemudian diancam bahkan dikelurkan dikampus. Begitupun juga Agama antar agama, sampai hari ini kleim antar agama satu dengan agama lain tentang agama tuhan. Suku dengan suku lain, daerah antar daerah lain. Memperlihatkan sebuah fenomena berbauh anarkis. Karema bangunan dasarnya menganggap perbedaan merupakan barang haram di bumi Indonesia ini. Padahal lahirnya sebuah konsensus diawali dengan adanya perbedaan.  
Lalu kenapa harus berbicara demokrasi dan demokratisasi?, dan kenapa harus menyuarakan dengan lantang di tengah teriknya matahari, dibawah guyuran hujan. Bahwa tegakkan nilai-nilai demokrasi agar tercipta suasana yang demokratis. kalau kemudian dalam kehidupan nyata nilai-nilai demokrasi dipecundangi, ditelanjangi, dan diperkosa berramai-ramai. Inikah zaman yang diramalkan oleh Rangga Warsito dan Joyo Boyo, walau keduanya itu hidup pada generasi yang berbeda dan zaman berbeda. Tapi kejituan ramalan mereka pada titik yang sama. Bahwa akan ada suatu jaman nanti yaitu “zaman edan”. Zaman yang diramalkan itu tengah bersemi di bumi Indonesia ini dengan semakin sulit diterima secara rasional dan akal sehat.
Dalam keheningan, kegelisahan seorang manusia, melihat fenomena di atas. Dari hari kehari menunjukan ketimpangan dan pembunuhan secara pelan-pelan melalui kebijakan pemerintah. Rakyat menjerit, berteriak dalam posisis ketidak berdayaan. Rakyat dibuat semakin terpuruk dengan prodak kebijakannya tidak berpihak pada rakyat. Dibawah rezim yang berkuasaan yang beratas namakan pemimpin yang demokratis. Sistem Demokrasi adalah dimana pemerintah sebagai abdi rakyat (abdi dalem) berada dalam posisi yang menampung seluruh aspirasi masyarakat dan kebijakan itu berdasarkan aspirasi tersebut, serta dikembalikan pada rakyatnunutk kepentingan rakyat pula.
Budaya Malu
Kita mungkin sering bertanya,. Apakah nilai-nilai demokrasi yang selalu di bicarakan oleh elit-elit dinegeri ini sudah diartikulasikan dalam bentuk nyata?. Kalau kita tanya elit-elit negeri ini, dengan enteng mereka akan menjawab “ya”, sudah, nilai-nilai demokrasi sedang dibagun oleh kami.
Memang budaya malu sudah digeser oleh kepentingan politik ngawur. Rasa malu di distorsi dengan pembenaran-pembenaran yang berselimutkan “apa yang dilakukan itu benar, sesuai dengan aturan yang mengaturnya”. Pemeimpin-pemimpin seperti ini lah adalah ”musuh” demokrasi, karena akan menciptakan iklim demokrasi yang semu.   
Demokrasi hanya berbentuk wujud dalam konfigurasi kekacauan, dan pembunuhan secara tidak langsung. Padahal demokrasi, tidak sedemikain ekstrimnya. Demokrasi bukan merupakan hukum rimba, bukan pula hukum yang dibuat hanya oleh satu orang manusia. Ia merupakan jalan tengah, dimana seluruh manusia berbagai tanggungjawab untuk memastikan bahwa ia bekerja dengan benar.
Ketika presiden Amerika serika pada tahun 1885, Grover Gleveland. Ia dengan fasih memaparkan bagaimana demokrasi menjalankan fungsinya. Bahwa seorang pemimpin mengangkat sumpah jabatan, hanya bertanggungjawab dengan masalah-masalah pengabdian, dimana setiap warga yang patriotik yang ada di ladang, di bengkel, dikesibukan perdagangan pasar, dan diamna saja ikut bersama-sama menanggung, ketahuilah rakyatku, konstitusi yang menetapkan sumpahnya adalah melikmu, pemerintah yang sutu saat yang kamu pilih untuk mengatur adalah milikmu, hak pilih yang mencerminkan kehendak bebas adalah milikmu, hukum dan keseluruhan tata aturan masyarakat kita, dan rapat kota sampai rapat dewan perwakilan rakyat adalah milikmu juga.
Manusia-manusia dibumi ini yang tiada henti-hentinya berbicara demokrasi. Aku mungkin salah satu dari sekian juta rakyat negeri ini dari sekian banyak rakyat mengatakan hal yang sama ketika para elit negeri ini menjadikan demokrasi sebagai alat menutupi kebodohan yang dimilikinya pada rakyat. Aku bukan bembeci demokrasi sebagai sistem negara ini. Sekali lagi aku membenci orang bicara demokrasi, tapi tidak mengindahkan demokrasi yang sering dibicarakan itu.
Pergantian rezim ke rezim terus berjalan, waktu selalu mengikuti perubahan itu. Tapi, manusia-manusia tiada hentinya berbicara demokrasi itu. Konon Kabar burung dari mulut kemulut bahwa demokrasi mengandung janji-janji yang menggiurkan. Misalnya, Pasca runtuhnya perang Dunia II serta runtuhnya komunisme di eropa timur, seluruh masyarakat dunia mengarahkan pandangan matanya pada demokrasi di barat. Janji itu tak lain dan tak bukan adalah harapan akan sirnanya perang saudara dan kehancuran internasional. Manusia-manusia, telah muak terus-terusan menyaksikan sebuah penindasan demi penindasan manusia atas manusia lain, seperi yang kekuatan nazi di bawa kekuasaan Ahdolf Hilter dimana peragakan perbudakan atas manusia lain. Despotik, tiranik, otoriterian yang tidak menghargai nilai-nilai manusia. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa raukan wajah manusia-manusia kala itu, ketika merindukan manusia dengan manusia lain saling memeluk, bercanda, tertawan, tampa ada permusuhan dan pembunuhan.
Sekelompok mahasiswa yang berdemostrasi di timurnya Indonesia, tepat di irian jaya, depan universitas cendrawasi. Dimana kelopok mahasiswa papua berorasi menuntut seputar eksistensi perusahaan tambang emas raksasa milik negara adidaya Amerika Serikat, yang bernama Fripot.
Aneh memang negara ini. Negara yang menempatkan dirinya dalam barisan negara-negara dengan jumlah penduduk nomor empat di dunia yang juga menjadi negara demokrasi nomor tiga terbesar setelah India dan Amerika Serikat. Selalu dikejutkan dengan fenomena pembantaian demi pembantaian, aku sempat berpikir, mungkin ini sebagai warisan yang pernah dilakukan oleh pemimpin negara terdahulu, sebagai identitas yang buram. Polisi melepaskan tembakan kepada barisan mahasiwa, dan mahasiswa tidak mau kalah menyerang dengan melemparkan batu kearah polisi dan mengepung serta memblokade jalan depan kampus dengan menumbahkan pohon-pohon di pinggir jalan. sekelompok polisi yang pada misi  awalnya ingin menghentikan gerakan yang dilakoni mahasiwa. Bentrokan fisik tidak terhindarkan sampai merengut korban jiwa yang kebetulan anggatan TNI dan polisi tewas dengan seketika ditempat itu serta korban luka-luka mengenaskan, baik dari polisi dan mahasiswa kena tembakan polisi bersarang ditubuhnya. Ceceran darah telah memerahkan tanah. Kawan sebelahku ketika menyaksikan lewat TV kejadian yang luar biasa itu. Berteriak dengan nada yang menjengkelkan “kiamat sudah, hacur sudah Indonesia”. Aku memahami dia secara spikologis dengan melihat fenomena tersebut berpengaruh terhadap memunculkan emosi spontanitas.
Baru selang beberapa hari kejadian berdarah disambut lagi oleh realitas yang diciptakan oleh actor dan pemain yang sama. Yang membedakan, waktu, lokus kejadiannya. Kali ini tidak kalah seruhnya fenomena di universitas candrawasi.. Di sumbawa, kawan-kawan aktifis mahasiswa tertembak oleh oknum polisi, tidak tahu berapa yang tertebak. Banyak kalangan mengatakan pembakaran cam newmont diseting oleh orang newmon itu sendiri. Bisa jadi, secara politik merupakan distorsi politik gerakan. 
Demakorasi sebagai ruang kebebasan?    
Demokrasi memberikan ruang khusus bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya, Justru elit-elit yang sering menghimbau kepada masyarakat dalam berbagai kesempatan, nilai-nilai demokrasi harus dibangun bersama dibumi Indoneia agar tercipta kondisi yang demokratis, adil dan aman. Tapi kenyataan. Justru merekalah yang menjolimi demokrasi itu sendiri. Lalu untuk apa berbicara demokrasi kalau cara mainnya tidak demokratis?. Saya terkadang bertanya pada diri saya sendidri. Adakah yang berani bersuara dengan lantang sambil menunjuk mukanya dan mengatakan “jangan bicara demokrasi”, entah dari mahasiswa, kaum buruh tani, atau tokoh-tokoh intelektual mudan yang peduli tehadap bangsa ini, demi mengawal agenda reformasi dan demi penciptaan masyarakat adil dan makmur.
DEMOKRASI itu sendiri bukan segala-galanya. Demokrasi memerlukan “norma”, lembaga yang mapan, serta pedoman dan tatalaksana yang jelas. Tampa “norma” , kelembagaan yang mapan serta tatalaksana yang jelas. Demokrasi mungkin akan menjadi demokrezy. Karena itu, demokrasi bukan sebuah tatanan yang sekali jadi. Ia memerlukan waktu. Tetapi kalau kita keliru mempersepsikan demokrasi, yang terjadi adalah anarki dan kekerasan.
Hal demikian juga dirasakan Sulastomo dalam melihat praktek elit-elit yang mengakui dirinya sang demokratis sejati. Ia merasa pesimis. Dalam Bukunya Reformasi Antara Harapan Dan Realitas (2005). Bila ketiga substansi demokrasi diatas tidak dibangun dan dijalankan pada jalan yang benar. Yaitu norma, kelembagaan yang mapan, sebagai landasan bersam. Dan bila system demokrasi yang benar-benar menigimplementasikan prinsip “suara rakyat adalah suara tuhan.Demokrasi juga sebagai sala satu esensinya adalah kesiapan mental untuk menerima kekalahan, tidak diterima secara legowo dan jantan, atau dalam bahasa kren sekarang “berkompetisi yang tidak sehat dan bermain tidak cantik lho” hanya bersiap untuk menang, kalau demikian yang tumbuh justru semangat “apriori” yang dibungkus berbagai alasan yang mengesankan rasional. Demokrasi yang esensinya adalah untuk mengabdi kepada seluruh rakyat menjadi semata-mata akomodasi kepentingan politik golongan/kelompok hanya demi untuk pembagian kekuasaan. Yang belum terlihat sampai sekarang kejujuran para elit yang merupakan syarat untuk membangun tradisi demokrasi yang sehat. Aspirasi rakyat sebagai hasil pemilu yang demokratis 2004 kemarin tidak memperoleh akomodasi yang layak, karena kepentingan politik golongan yang ditonjolkan pada publik. Kenyataan ini telah merambat sampai pada tingkatan daerah (ke bawah), melihat behaviore political sehari-hari, dengan satu asas bagaimana menghalalkan segalah cara untuk mencapai tujuan, politik ala Machaevelli ini sampai sekarang masih terjadi direpublik yang menganut sistem demokrasi ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar