Kamis, 23 Februari 2012

Hubungan Birokrasi Dan Politik di Indonesia Masa Orde Lama Dan Orde Baru





LATAR BELAKANG MASALAH
Sudah lama birokrasi menjadi perhatian para ilmuwan sosial karena melihat peranan yang begitu penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Umumnya fungsi birokrasi diasumsikan sebagai pelayan masyarakat atau pelayan publik. Dilihat dari asal katanya, birokrasi merupakan gabungan dari dua kata yaitu bureau yang berarti office table (meja kantor) yang bertujuan sebagai alat kerja manusia atau dapat juga diartikan sebagai hukum yang menjadi dasar aturan-aturan dan cracy yang bermakna power (kekuasaan) dalam bentuk authority (kewenangan atau otoritas) dan legitimation (pengakuan). Secara ringkas birokrasi bisa diartikan sebagai orang yang diberi wewenang untuk menjalankan kekuasaan. (A. Salim, 2002 : 97). Dengan kata lain birokrasi dapat dipahami sebagai suatu kekuasaan yang dijalankan oleh para pejabat. (Albrow, 2005 : 19). Atau pendapat Albrow dengan mengutip definisi Mill birokrasi sebagai suatu pekerjaan untuk menjalankan pemerintahan oleh orang-orang yang memerintah secara profesional. (Albrow, 2005 : 11). Atau seperti dikutip Setiono dari Yahya Muhaimin, birokrasi ialah “keseluruhan aparat pemerintah, sipil maupun militer yang melakukan tugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu”.  (Setiono, 2002 : 22).
Sebenarnya birokrasi bukan hanya ditemui di dalam tugas-tugas pemerintahan tetapi terdapat diberbagai kantor swasta atau organisasi sosial. Namun karena alasan ekonomis dan strategis atau karena butuh modal yang sangat besar dan intensif sehingga tak terlalu menarik buat pihak swasta. Sekarang kata birokrasi tersebut cenderung ditujukan kepada serangkaian urusan yang dilakukan oleh instansi-instansi pemerintah.  (Wibowo, et.al., 2005 : 98). Secara garis besar tujuan birokrasi terbagi dua yaitu birokrasi publik dan privat. Birokrasi publik dikaitkan dengan pemerintah, sedangkan birokrasi privat dengan swasta.
Pada birokrasi publik tujuannya sangat banyak dan beragam bahkan terkadang kabur dan tak nyata karena polarisasi aspek politis dan ekonomis. Tanggung jawab bersifat vertikal pada lembaga yang berwenang. Orang-orang yang bekerja pada pelayanan publik dipilih lewat kriteria tertentu, berdasarkan keahlian, kualifikasi khusus dan loyal secara politis. Sebaliknya dalam sektor privat ada kebebasan untuk memilih pekerjaan guna meraih tujuan yang akan dipertanggung jawabkan kepada komisaris atau pemegang saham. Orang-orang yang bekerja berdasarkan prinsip kepantasan dan kualifaksi keahlian berdasarkan manajemen modern yang berupaya menghasilkan keuntungan maksimal. (Putra & Arif, 2001 : 12). Sebagai instrumen negara modern, birokrasi seharusnya memiliki ciri-ciri antara lain bersifat rasional, netral, objektif, efektif, efisien. (Castles, et.al. , 1983 : 5).
Memang pada dasarnya birokrasi diharapkan mampu menjalankan suatu pekerjaan secara maksimal karena birokrasi telah diisi oleh para profesional. Gagasan tentang maksimalisasi tugas pemerintahan sudah ada sejak masa lalu. Banyak ahli percaya bahwa konsep yang mirip dengan birokrasi telah dipakai di masa lampau seperti pada pemerintahan Romawi, Mesir kuno, atau Cina kuno dimana ketika itu para pejabat kerajaan diseleksi dengan sistem ujian, senioritas dan keahlian. (Setiono, 2002 : 22).
Menurut Blau & Meyer, preferensi birokratisasi telah mengalami perubahan mendasar dan signifikan sejak seratus tahun terakhir. Birokrasi menjelma menjadi lembaga yang dominan dan menjadi simbol lahirnya zaman modern. Untuk memahami kondisi masa kini harus dikaitkan dengan lembaga yang bernama birokrasi. Ukuran bangsa-bangsa modern sangat besar dan lahirnya banyak organisasi merupakan salah satu alasan proliferasi birokrasi. Pada masa lalu ukuran negara sangat kecil, bahkan negara besar saat itu hanya memiliki administrasi yang longgar dan sedikit sekali organisasi formal kecuali lembaga pemerintahan. Sedangkan pada negara-negara modern memiliki jutaan warga negara, militer yang kuat, berbagai perusahaan raksasa, serikat pekerja yang kuat dan organisasi nirlaba atau asing. Karena skala persoalan semakin besar membuat organisasi cenderung kepada birokratisasi. (Blau & Meyer, 2000 : 12-13).
Birokrasi mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat modern. Misalnya lembaga tenaga kerja pemerintah atau non pemerintah yang dipakai untuk memperoleh pekerjaan, serikat pekerja sebagai pelindung pekerja, pasar-pasar swalayan atau toko-toko kecil untuk berbelanja, rumah sakit untuk berobat, sekolah untuk mencari pengetahuan, partai politik yang menjadi medium kepentingan politik rakyat dan lain-lain cenderung diatur secara birokratis. (Blau & Meyer, 2000 : 12-13).
Namun kalau melihat kepada prakteknya, birokrasi cenderung berkonotasi negatif karena banyak orang yang berurusan dengannya mengalami perlakuan yang mengecewakan. Misalnya suatu urusan harus melewati banyak pejabat tanpa memperoleh informasi yang diinginkan, atau kalau mengisi formulir yang panjang berkali-kali dan dikembalikan begitu saja hanya karena lupa menambahkan informasi yang sangat sepele, ataupun jika lamaran-lamaran kerja ditolak karena alasan teknis. Maka pada saat itulah kita berpikir tentang birokrasi. Akhirnya dalam bahasa sehari-hari birokrasi mengandung pengertian tak efisien, tak efektif, bertele-tele atau berbelit-belit dan banyak sebutan lain. Padahal arti birokrasi yang sesungguhnya bukan seperti itu. Memang birokrasi merupakan suatu lembaga yang kuat dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial terhadap hal-hal yang baik maupun yang buruk. (Blau & Meyer, 2000 : 3-5).
Untuk mengetahui kenyataan birokrasi tersebut dapat ditinjau ke berbagai negara di dunia, dan ternyata ditemukan lebih dari satu model birokrasi yang tumbuh dan berkembang. Misalnya di negara maju seperti Amerika Serikat, loyalitas birokrat hanyalah kepada konstitusi dan konvensi. Mereka digambarkan mampu berprestasi sebagai pelayan masyarakat. Sehingga yang muncul birokrasi yang rasional. Sebaliknya kalau mengacu kepada negara berkembang seperti Indonesia dan Thailand digolongkan sebagai birokrasi patrimonial yang menekankan loyalitas birokrat kepada kekuasaan, baik politik maupun ekonomi. Para birokrat di Indonesia itu lebih mampu membuat bos senang dengan laporan-laporan bagus yang berbeda dengan realitas, membuat anggaran besar bagi pembangunan namun uangnya habis ditilap, lebih pandai meminta kepada masyarakat daripada melayani masyarakat. (Forum Keadilan No. 45, 2002 : 11).
Contoh lain, di Jepang yang mulai melakukan modernisasi dan pembangunan sejak akhir abad ke-19, telah mendirikan dan menjadikan Universitas Tokyo sebagai pusat latihan bagi para pejabat pemerintah dan para pemimpin untuk mempercepat suatu transformasi negara modern dan kuat. Para lulusan perguruan tinggi menduduki jabatan-jabatan pada lembaga-lembaga pembuat keputusan pemerintah dan mengarahkan berbagai kegiatan modernisasi bangsa. Mereka pun akhirnya menjadi elit yang berkuasa. Dan sesuai dengan tradisi Asia Timur seperti pada masa imperium Cina dahulu, para pejabat pemerintah memperoleh kedudukannya lewat ujian-ujian dinas sipil yang juga merupakan kelompok yang paling dihormati karena mereka memiliki perpaduan unsur pendidikan tinggi dan pelayanan yang tak mementingkan diri sendiri tetapi berbakti kepada raja dan rakyat. Seseorang yang berkarier di jabatan birokrasi merupakan suatu kehormatan dan menjadi dambaan banyak orang. (Budi Winarno, 2008 : 88). Sehingga bisa dikatakan birokrasi menjadi suatu agen modernisasi dan pembangunan bagi negara bangsa.
Sampel yang lain lagi seperti di Singapura, sudah sejak 1959 dilakukan reformasi birokrasi ketika peralihan kekuasaan kepada pemerintahan Lee Kuan Yew. Birokrasi didasarkan atas pemerintahan yang bersih, menganut sistem meritokrasi dan pragmatisme. Pemerintah berhasil menerapkan kebijakan untuk mentranformasikan Singapore Civil Servis (SCS), badan yang menjalankan birokrasi pemerintahan. Korupsi dan inefektifitas selama periode kolonial telah direformasi dan memerlukan waktu bertahun-tahun. Minimalisasi korupsi terjadi dengan memberikan intensif bagi para pegawai, adanya Undang-Undang Anti Korupsi atau Prevention of Corruption Act (POCA). Dan secara bertahap memperbaiki gaji dan kesejahteraan para pegawai. Sampai tahun 1994, gaji menteri dan pegawai pemerintah yang senior hampir menyamai pemimpin puncak di sektor swasta (seperti akuntan, bankir, insinyur, ahli hukum), pimpinan perusahaan lokal maupun asing. Dari data 1995 penghasilan bulanan pimpinan administrasi di Singapura atau setingkat Dirjen (Direktur Jenderal) di Indonesia sekitar S$ 48.400 atau US$ 34.571 (lebih dari 34 juta rupiah). Pada posisi yang sama di Amerika Serikat hanya sekitar US$ 7.224, di Australia sekitar A$ 18.278.
Memang kalau menengok ke negara maju birokrasi pemerintah sudah profesional, memiliki hierarki kewenangan, pembagian kerja, aturan kerja yang jelas, sistem upah yang berdasarkan peraturan. Aparat birokrasi hanya loyal kepada konstitusi dan konvensi, tak memihak pemerintah jika timbul krisis legitimasi dari parlemen atau rakyat. Birokrasi hanya patuh pada pemerintah yang mendapat kepercayaan politik dari masyarakat juga tak mudah diintimidasi oleh desakan politik dari kelompok kepentingan. (Forum Keadilan No. 45, 2002 : 23).
Kalau melihat ilustrasi ringkas tentang kondisi birokrasi di beberapa negara memang sangat berbeda. Untuk dunia ketiga seperti Indonesia kalau diperhatikan secara umum maka kesan yang timbul terhadap fakta birokrasi adalah prosedur kerja yang berbelit-belit, mekanisme kerja yang tak efisien dan tak efektif, proses pelayanan yang lamban, sumber penyalahgunaan kedudukan dan wewenang. (Castles, et.al. , 1983 : 5).
Mengutip pendapat Castles, birokrasi di Indonesia lebih mirip dengan birokrasi patrimonial yaitu suatu hubungan antara patron dan klien atau hubungan antara priyayi dan wong cilik pada masa kerajaan Jawa kuno. Sehingga pola kekuasaannya bersifat personalistik dan model kepemimpinannya berwatak paternalistik atau hubungan antara aparat dan rakyat juga bersifat paternalistik beserta dengan segala implikasinya. Birokrasi di Indonesia memiliki kekuasaan yang sangat besar, dan sulit dikontrol karena tak ada kekuatan ekstra birokrasi. Sehingga kalau ada penyalahgunaan atau penyelewengan kekuasaan juga sulit dikendalikan. Birokrasi di Indonesia memiliki sejarah panjang yang bisa ditelusuri kesinambungannya mulai dari kerajaan Jawa kuno, masa kolonial Belanda, revolusi dan Demokrasi Parlementer (1945-1958), Demokrasi Terpimpin (1958-1966), Demokrasi Pancasila (1966-1998), dan masa reformasi (1998-sekarang).
Keadaan demikian merupakan suatu kenyataan yang sudah terbentuk pada kondisi-kondisi objektif. Birokrasi yang muncul berakar pada kebudayaan politik dengan latar belakang sejarah sebagai permulaannya yang kemudian membentuk sebuah pola perilaku birokrasi sampai sekarang. (Castles, et.al. , 1983 : 7-8). Itulah gambaran birokrasi yang dapat kita lihat di Indonesia yang masih jauh dari harapan sebagai publik servis.

POKOK PERMASALAHAN
A. Batasan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas, banyak hal yang menarik perhatian melihat kondisi birokrasi di Indonesia pada beberapa periode sejarah yang telah berlangsung, dimana keberadaan elite birokrasi menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji hubungannya dengan politik. Namun pada kesempatan ini terutama yang coba hendak diketahui lebih jauh adalah tentang bagaimana hubungan antara birokrasi dan politik di Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru.


B. Rumusan masalah
Rumusan yang coba kita kaji dalam studi perbandingan hubungan birokrasi dengan politik, sesuai dengan masalah yang diuraikan diatas adalah Bagaimana hubungan birokrasi dan politik di Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru?

KERANGKA TEORI
            Untuk mengawali pembahasan terlebih dahulu dimulai dari konsep-konsep yang umum tentang birokrasi. Birokrasi modern pertama kali dikemukakan Max Weber, seorang sosiolog ternama asal Jerman, yang dikenal melalui ideal type (tipe ideal) birokrasi modern. Konsep birokrasi inilah yang sering diadopsi dalam berbagai rujukan birokrasi negara kita, walaupun dalam penerapan tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Tipe ideal itu melekat dalam struktur organisasi rasional dengan prinsip “rasionalitas”, yang bercirikan pembagian kerja, pelimpahan wewenang, impersonalitas, kualifikasi teknis, dan, efisiensi.
            Pada dasarnya, tipe ideal birokrasi yang diusung oleh Weber bertujuan ingin menghasilkan efisiensi dalam pengaturan negara. Tetapi konsep Weber sudah tidak lagi sepenuhnya tepat disesuaikan dengan keadaan saat ini, apalagi dikaitkan dengan konteks Indonesia. Secara filosofis dalam paradigma Weber, birokrasi merupakan organisasi yang rasional dengan mengedepankan efisiensi. Pengertian efisiensi digunakan secara netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrasi dan organisasi. Dalam pandangan ini, birokrasi dimaknai sebagai institusi formal yang memerankan fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Jadi, birokrasi dalam pengertian Weberian adalah fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional terhadap serangkaian tujuan yang ditetapkan pemerintahan. Birokrasi Weber berparadigma netral dan bebas nilai. Tidak ada unsur subyektivitas yang masuk dalam pelaksanaan birokrasi karena sifatnya impersonalitas: melepaskan baju individu dengan ragam kepentingan yang ada di dalamnya.
            Weber melihat birokrasi sebagai invensi sosial yang muncul sebagai konsekuensi berkembangnya sistem sosial dan sistem politik yang kompleks. Pemikiran tentang birokrasi dikembangkan dalam kaitannya dengan teorinya tentang dominasi. Dominasi menurut Weber, merupakan salah satu bentuk hubungan kekuasaan dalam mana si penguasa sadar akan haknya untuk memerintah, sedang yang diperintah sadar bahwa adalah menjadi kewajibannya untuk menaati segala perintah atasannya.
            Organisasi birokrasi yang mendekati bentuk ideal hanya ditemukan pada organisasi kapitalisme modern. Bila dilihat sejarah pada abad pertengahan, jauh sebelum munculnya kapitalisme modern, telah terdapat contoh-contoh birokrasi yang telah berkembang di Mesir purba, Cina, Roma dan Gereja Katolik. Birokrasi birokrasi ini pada dasarnya adalah birokrasi patrimonial, dan kebanyakan didasarkan atas  bayaran terhadap para pejabatnya dalam bentuk barang. Ini menunjukkan bahwa bentuk suatu ekonomi uang, tidak merupakan syarat mutlak timbulnya organisasi birokrasi, walaupun akhirnya ekonomi uang  tersebut mempunyai arti yang sangat penting dalam melancarkan  tumbuhnya birokrasi rasional modern (Anthony Giddens, 1986: hlm 194-195).
Mengikuti argumentasi Hegel, Miftah Thoha menyebutkan bahwa administrasi negara (birokrasi) sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara negara (pemerintah) dan masyarakatnya. Adapun masyarakat terdiri dari para kelompok profesional, usahawan, dan sebagainya yang mewakili kelompok partikular (khusus). Diantara keduanya (negara dan masyarakat) itu birokrasi pemerintah merupakan medium yang bisa dipakai untuk mengaitkan kepentingan partikular dengan kepentingan umum. (Thoha, 2003 : 22-23).
Menurut Thoha mengambil penjelasan David Beetham yang berdasarkan pendapat Weber bahwa terdapat tiga unsur penting di dalam konsep birokrasi. Pertama, birokrasi dipandang sebagai instrumen teknis (technical instrument). Kedua, birokrasi dilihat sebagai kekuatan independen di dalam masyarakat sepanjang dilekatkan pada penerapan sebagai instrumen teknis. Ketiga, pengembangan dari sikap ini para birokrat tak mampu memisahkan perilaku mereka dari kepentingannya sebagai kelompok partikular. Sehingga bisa keluar dari fungsi seharusnya sebab anggotanya cenderung datang dari kelas sosial yang partikular juga. Elemen yang kedua dan ketiga itu sebenarnya mengandung pengertian bahwa kehidupan birokrasi hampir tak mungkin dipisahkan dari politik. (Thoha, 2003 : 19-20). Dari kutipan ini dapat dikatakan bahwa birokrasi selain bertugas sebagai instrumen yang menjalankan perintah ternyata juga birokrasi merupakan suatu kekuatan yang akan selalu bersinggungan dengan politik yang bisa dilihat dari perilaku para birokrat sebagai kelompok partikular yang juga mempunyai kepentingan sendiri diluar tugas utamanya.
Ahli lain seperti Michels menyebut adanya “hukum besi oligarki” pada setiap organisasi sebagaimana dikemukakan oleh Alfian. Pertama, siapa yang mengucapkan organisasi pasti mengucapkan oligarki.
Kedua, manusia berada dalam suatu dilema yang tak mungkin terpecahkan, lembaga-lembaga besar seperti negara, organisasi buruh, partai politik, institusi keagamaan dan sebagainya, akhirnya memberikan kekuasaan efektif kepada sejumlah kecil orang yang berada di puncak organisasi itu. Ketiga, organisasi-organisasi besar memberi kekuasaan tak terbatas (cenderung monopoli) kepada pengurusnya. Keempat, organisasi yang pada mulanya didirikan untuk mencapai suatu tujuan, akhirnya menjadi tujuan itu sendiri.
Kelima, ada beberapa faktor yang membuat golongan kecil (oligarki) yang berkuasa selalu unggul berhadapan dengan mayoritas massa yaitu mereka lebih ulung dalam pengetahuan mengenai organisasi antara lain karena memonopoli informasi, mereka mengontrol alat komunikasi resmi dari organisasi, ahli dalam bermain politik, karena massa sendiri inkompeten, karena massa merasa membutuhkan elite atau pemimpin. (Alfian, 1990 : 174).
Sedangkan kalau mengikuti pendapat Karl Marx, Thoha melihat bahwa birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan untuk melaksanakan dominasinya atas kelas-kelas sosial lain. Atau dapat disebut birokrasi pasti memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut. (Thoha, 2003 : 23). Misalnya di Amerika Serikat pada masa Presiden Andrew Jakcson telah dipengaruhi oleh sistem patronase dimana dominasi partai politik sangat kuat dalam birokrasi, terutama dalam rekruitmen dan promosi jabatan di birokrasi. (Putra & Arif, 2001 : 48-49). Hal ini ternyata terjadi juga di Indonesia seperti pada masa Demokrasi Parlementer dimana partai-partai politik yang menguasai birokrasi di berbagai departemen.
Kondisi suatu birokrasi merupakan refleksi dari budaya birokrasi yang berkembang di suatu negara. Budaya birokrasi bisa diartikan sebagai seperangkat nilai yang memiliki simbol, orientasi nilai, keyakinan, pengetahuan dan pengalaman kehidupan yang diaktualisasikan dalam sikap, nilai, keyakinan dan perbuatan yang dilakukan oleh setiap anggota dari organisasi yang bernama briokrasi. Setiap briokrasi selalu bersinggungan dengan aspek budaya masyarakat setempat. Dinamika yang terjadi di dalam birokrasi selalu berkorelasi dengan lingkungan eksternal. Karakter dan model  birokrasi yang berkembang di Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu bentuk interaksi yang terjalin dengan lingkungan politik, budaya, sosial juga ekonomi. (Dwiyanto, et.al., 2006 : 91).
            Istilah Birokrasi hampir selalu dikaitkan dengan sesuatu yang rumit, panjang dan tidak efisien. Buruknya birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi Asia. Satu lembaga penelitian (Political and Economic Risk Consultancy (PERC) meneliti soal birokrasi di Indonesia dan  hasilnya birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti dibandingkan keadaan di tahun 1999. Pada tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor 1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan pengalaman dan persepsi expatriats yang menjadi responden bahwa antara lain menurut mereka masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan orang terdekat (Syafuan Rozi, 2000).  Bila dibandingkan dengan beberapa negara Asia lainnya, Thailand dan Korea Selatan mengalami perbaikan pada tahun 2000, meskipun mereka juga masih berada di  peringkat bawah rata-rata yaitu masing-masing 6,5 dan 7,5 (2000) dari tahun sebelumnya yang 8,14 dan 8,7.
            Kinerja birokrasi selalu dijadikan alasan penyebab terjadinya keterpurukan bangsa karena masih adanya persoalan-persoalan seperti birokrasi yang lamban, tidak efisien, tidak efektif, tidak tanggap, dan ditengarai banyak diwarnai dengan praktik korupsi, serta menjadi salah satu penyebab praktik penyalahgunaan kewenangan. Buruknya kinerja birokrasi sebagai perpanjangan tangan penerapan kebijakan publik pemerintah justru menjadi faktor penghambat efektivitas dan efisiensi bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah di lapangan.
Mengacu pada uraian yang diutarakan oleh Karl D. Jakcson & Lucian W. Pye, bahwa yang terlihat pada sistem politik yang dikembangkan di Indonesia setelah merdeka dan terutama terbaca jelas pada masa Orde Baru lebih berlandaskan pada budaya politik Jawa. Hal ini juga berhubungan dengan banyaknya elite politik nasional berasal dari suku Jawa yang memperlihatkan kecenderungan ke arah tersebut. Perilaku elite birokrasi dalam memberikan arah dan kebijakan nasional lebih dekat mengacu kepada budaya Jawa yaitu budaya patrimonial (hubungan antara patron dan klien). (Dwiyanto, et.al., 2006 : 89).
Namun ada juga yang mengatakan bahwa model birokrasi di Indonesia bersifat paternalistik yaitu hubungan bapak dan anak buah (bapakisme). Hubungan paternalisme (bapakisme) lebih halus di bandingkan dengan dengan hubungan patron klien. Seperti yang disadur Dwiyanto dkk dari Mulder mengatakan hubungan bawahan dan atasan seperti hubungan antara anak dan bapaknya dalam konsep Jawa. Anak harus menghormati bapaknya yang tergambar dalam perasaan sungkan, berbicara halus (kromo) atau sopan dengan bapaknya. Hubungan antara orangtua dan anak bersifat superior dan inferior. Anak melayani orangtua untuk menarik perhatian dan orangtua harus memberikan perhatian atau sesuatu yang lain. Sistem kehidupan keluarga di Jawa masih berpegang pada hukum adat, tata krama pergaulan dan preferensi sosial seperti umur, pangkat, jabatan, atau hal-hal yang dianggap sebagai ukuran status seseorang. (Dwiyanto, et.al., 2006 : 95).

PEMBASAN
Hubungan Birokrasi Dengan Politik Pada Zaman Orde Lama
Untuk mengetahui kondisi Orde Lama, disini dipakai konsep yang diambil Mahfud MD dari penjelasan Yahya Muhaimin, bahwa dalam model bapakisme (hubungan bapak-anak), “bapak” (patron) dilihat sebagai tumpuan dan sumber pemenuhan kebutuhan material bahkan spritual serta pelepasan kebutuhan emosional “anak-bapak” (client) dan sebaliknya para anak buah dijadikan sebagai tulang punggung yang setia dari bapak, membantu terselenggaranya upacara-upacara keluarga, memasuki atau keluar dari organisasi politik yang dikehendaki oleh bapak, bahkan tak jarang bersedia berkorban jiwa untuk mempertaruhkan kepentingan bapak yang harus dihormati, ditaati, dan pantang ditentang. Sebagaimana karier politik seseorang begitu juga halnya dengan pekerjaan dan jabatan-jabatan birokrasi bersandar kepada kecerdikannya memelihara dan memanfaatkan hubungan pribadi dan hubungan politik lebih banyak ditentukan oleh persetujuan dan penunjukan dari pemegang jabatan di tingkat atas. Keadaan birokrasi di Indonesia masa kini dipengaruhi oleh peninggalan masa lampau berupa konsep politik kelompok etnis Jawa tradisional yang aristokratis. Pada masa Mataram kuno mengenal kelompok punggawa (priyayi) atau pejabat yang diberi hak atas tanah, menarik pajak atau sejenisnya dari rakyat tanpa batasan maupun peraturan yang pasti lalu diberikan kepada raja setelah diambil sekedarnya oleh para punggawa (abdi dalem) tersebut. Pada sistem ini tak ada kekuatan penyeimbang di luar birokrasi yang mampu melakukan kontrol terhadap aparat birokrasi. Sehingga membuat birokrasi suka bertindak sewenang-wenang dan tak merasa bertanggung jawab kepada rakyat, dan di pihak rakyat menjadi pasif, tak aktif berpartisipasi dalam kehidupan politik dan ekonomi. (Mahfud MD., 1993 : 112).
Menurut Isa Anshori, semenjak kemerdekaan birokrasi diperlakukan sebagai kelas istimewa, hal ini dimaklumi bahwa pada saat itu birokrasi merupakan sarana yang mempersatukan bangsa. Berlanjut pada era demokrasi parlementer, birokrasi menjadi incaran dari berbagai kekuatan politik yang ada. Misalnya partai-partai politik mulai melirik untuk menguasai birokrasi pemerintah, bahkan antara tahun 1950-1959 birokrasi pemerintahan berada dibawah kepemimpinan partai politik yang menjadi mayoritas di dalam parlemen. Parlemen menjadi kuat, tetapi sebaliknya lembaga eksekutif semakin lemah. Namun, rakyat tetap saja tak beruntung karena birokrasi menjadi lahan KKN partai politik.
Kehidupan politik yang demokratik pada masa pasca kemerdekaan yang di warnai oleh sistem pemerintahan parlementer membawa implikasi yang besar terhadap birokrasi Indonesia. Yang menjadi kepala pemerintah adalah Perdana Menteri yang merekrut para menteri dari partai-partai politik tertentu sesuai dengan bentuk koalisi pemerintahan yang terjadi pada waktu itu. Maka, yang terjadi kemudain adalah para menteri yang direkrut tersebut menjadikan departemen yang dipimpinnya sebagai sumber mobilisasi dukungan bagi partai politiknya. PNI menguasai departemen dalam negeri dan departemen penerangan, Masyumi dan NU menguasai departemen agama.
Menurut Afan Gaffar (2006: 232) Birokrasi pasca kemerdekaan mengalami proses politisasi, sekaligus fragmentasi. Sekalipun jumlahnya tidak terlampau besar, aparat pemerintah bukanlah sebuah organisasi yang menyatu karena sudah terkapling-kapling kedalam partai-partai politik yang bersaing dengan intensif guna memperoleh dukungan. Hal itu berjalan terus sampai masa pemerintahan demokrasi terpimpin. Arah gerak birokrasi masih mengalami polarisasi yang sangat tajam dengan mengikuti arus polarisasi politk masyarakat. Sekalipun pengaruh partai politik sedikit-demi sedikit mengalami penagruh terbatas, karena dibubarkan oleh Soekarno. Kecuali PKI dan Angkatan Darat.

Hubungan Birokrasi Dengan Politik Pada Zaman Orde Baru
Meminjam pendapat Karl D. Jakson, melihat Orde Baru sebagai Bureaucratic polity atau Negara Birokratik. Dalam negara seperti ini, biasanya sekelompok kecil elite menguasai sepenuhnya penggambilan keputusan politik negara. Sementara masyarakat hanya dilibatkan dalam proses implementasi kebijakan. Dwight King menyebutnya Orde Baru sebagai Bereaucratic Authoriterian with limited purality. Artinya birokrat baik Sipil maupun Militer memang sangat dominan, bahkan cenderung otoriter, tetapi warna pluralisme tetap ada, sekalipun terbatas. Yaitu, dengan mengorganisasikan kepentingan secara korporatis, seperti kepentingan buruh, petani, guru dan lain sebagainya, yang disusun secara vertikal, tidak horizontal yang dikenal dalam demokrasi. Harold Crouch menyebutnya state-qua state. Ruth McVey mengatakan Beamtenstaat atau Negara pejabat. Sedangkan William Liddle mengajukan tiga jajaran utama, dengan membuat piramida kekuasaan di Indonesia yaitu, presiden dengan semua atributnya, angkatan bersenjata, dan birokrasi. Kekuasaan presiden menempati puncak piramida yang ada dalam struktur kekuasaan secara keseluruhan. Sekalipun menurut konstitusi presiden mempunyai kedudukan yang sama dengan lembaga tinggi negara lainnya, seperti DPR, MA, BPK, dan DPA. Tetapi presiden merupakan primus inter pares, yang utama dari yang setara. Presiden mengontrol rekruitmen politik dalam negara, termasuk untuk jabatan lembaga tinggi negara, seperti anggota legislatif dan yudikatif. Jajaran kedua adalah Angkatan Bersenjata. Pada kehidupan politik Orde Baru, angkatan bersenjata mempunyai peranan politik yang sangat penting, terutama Angkatan Darat sebagai stabilisator dan dinamisator politik. ABRI bergerak dibidang politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan, termasuk bidang olah raga dan kesenian. ABRI memainkan peranan politiknya secara langsung melalui organisasi sosial dan politik yang ada, misalnya pada Golkar. Jajaran ketiga adalah Birokrasi. Bahwa pengaruh birokrasi dalam sistem politik Orde Baru sangat tinggi. Karena Masyarakat sulit untuk menghindar dari berurusan dengan Birokrasi. Misalnya mengurus surat izin usaha, kesulitan dan kerumitan bila tidak dilampirkan dengan sesajen. Rakyat di anggap bodoh dan tidak perlu tahun ini itu (Afan Gaffar, 2006: 36,37,38,39)
Lanjut Afan Gaffar, Indonesia pada masa Orde Baru telah terjadi proses depolitisasi yang sangat efektif terhadap institusi yang ada. Depolitisasi dilakukan dengan cara: pertama, dengan mewujudkan konsep ”massa mengambang” atau ”floating mass”. Kontrol politik terhadap partai politik non-pemerintah akan semakin gampang dilakukan. Depolitisisasi massa dijalankan untuk mencapai Dua tujuan utama. Pertama, agar pemerintah Orde Baru dengan mudah membentuk format politik yang sesuai dengan kehendaknya. Kedua, sebagai dasar bagi terwujudnya stabilitas politik yang sangat di perlukan dalam rangka menyukseskan pembangunan ekonomi nasional. Kedua, mewujudkan prinsip monoloyalitas terhadap semua pegawai negeri atau yang bekerja dalam lingkunagan instansi pemerintahan. Ketiga, emaskulasi partai-partai politik yang ada. Hal tersebut dilakukan dengan dua macam cara, yaitu dengan melakukan ”regrouping”  atau penyederhanaan sistem kepartaian dan mengontrol rekruitmen pimpinan utama partai tersebut, sehingga partai-partai tersebut mempunyai pimpinan yang akomodatif dengan pemerintah.



Analisis Perbandingan
Hubungan birokrasi dengan politik pada masa Orde Lama
Hubungan Birokrasi dengan politik pada masa Orde Lama, mengalami fase yang berbeda, terkait dengan pengaruh hubungan atau afiliasi dengan kekuatan politik tertentu. Pada saat pemerintah atau kabinet yang berkuasa pada masa ini merupakan koalisi dari beberapa partai politik. Sedangkan partai politik yang tidak berkuasa menjadi oposisi akibatnya umur kabinet yang berkuasa tak bertahan lama. Hal ini terjadi disebabkan adanya perbenturan kepentingan antar partai karena ideology yang tak bisa diajak untuk berkompromi. Lebih jelasnya akan diuraikan melalui periode-periode yang berlaku.

Periode 1945-1950
Pada periode pertama antara tahun 1945-1950, dikenal dengan zaman demokrasi Parlementer dan Presidensial. spirit perjuangan masih lebih mencolok kepada penyelenggaraan pemerintahan. Bahkan tak jarang hal ini terlihat di dalam kekuatan moyoritas menekan kepentingannya sendiri untuk menghargai aspirasi minoritas demi persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini disadari, bahwa bagsa indonesia baru mengalami kemerdekaan. Jadi semnagat integritas nasional menjadi perhatian semua elemen pemerintah, dan ideologi-ideologi politik. Bulum terlalu mencolok konfigurasi kepentingan dari berbagai ideologi politik yang berjung melepaskan Indonesia dari cengkeraman kolonialisme.
Walaupun ada semangat primordial tetapi tidak mengemuka karena tenggelam oleh semangat nasional. Satu-satunya yang menjadi ancaman Negara adalah PKI (Partai Komunis Indonesia) yang sempat memberontak dalam rangka menguasai pemerintahan dan negara. Di awal kemerdekaan ada semacam consensus bahwa lembaga pemerintahan merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini cukup logis sebab hanya birokrasi yang mampu menjangkau rakyat sampai ke desa-desa. (Thoha, 2003 : 135-136).
Pada saat ini aparat pemerintah banyak direkrut dari berbagai etnis yang dianggap mewakili hampir semua suku bangsa. Dan boleh dikatakan orang-orang yang duduk di pemerintahan hanya mempertimbangkan asal-usul orangnya tanpa melihat kepada keahliannya. Misalnya di dalam setiap departemen harus ada etnis Jawa, etnis Batak, etnis Padang, etnis Sunda dan berbagai etnis lain yang kemudian dianggap dapat mewakili gambaran integrasi semua suku bangsa.
Tetapi dalam perjalanan waktu di dalam birokrasi semakin terlihat semakin menguatnya gejala primordial. Lembaga birokrasi ini menjadi incaran kekuatan-kekuatan politik. Partai-partai politik mulai mengincar peluang untuk mendominasi atau menguasai lembaga birokrasi pemerintah. Jadi, keberadaan birokrasi dalam percanturan politik pada periode ini adalah awal dari keterlibatan Birokrasi dalam ranah politik atau telah mulai dilirik oleh kelompok kepentingan untuk berafiliasi.

Perode 1950-1959
Pada masa periode kedua ini, fenomena semakin jelasnya partai politik untuk mengincar birokrasi pemerintah semakin hari semakin terasa. Pada tahun 1950 berlaku juga UUDS yang isinya tentang sistem demokrasi parlementer, yang berarti pemerintah bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan rakyat (DPR). Dengan maklumat wakil presiden pada 3 November 1945 menghadirkan sistem banyak partai yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan banyak partai politik sesuai dengan aspirasinya.
Pada masa ini dilaksanakan juga pemilihan umum pertama yang demokratis yaitu Pemilu tahun 1955. Ketika itu partai yang memenangkan pemilu memiliki niat untuk menguasai beberapa departemen. Bahkan tak jarang kabinet bubar karena pembagian kementerian di departemen tak sesuai dengan keinginan partai politik yang bersangkutan. (Thoha, 2003 : 136).
Misalnya secara umum Departemen Dalam Negeri seakan menjadi jatah Partai Nasional Indonesia (PNI). Sementara NU (Nakhdatul Ulama) sudah mendominasi Departemen Agama. (Forum Keadilan, No. 45 : 15). Mosi tak percaya menjadi awal dari keruntuhan kabinet yang memerintah. Disini terlihat lembaga perwakilan rakyat (legislative) memiliki kedudukan yang kuat sebaliknya lembaga pemerintah (eksekutif) menjadi lemah. Di pihak lain aparat pemerintah yang diharapkan netral juga sudah ahli berpolitik dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada. (Thoha, 2003 : 136-137).
Aparat pemerintah sepertinya hanya patuh kepada kepentingan partai tempat dia menyalurkan aspirasi politik ketimbang serius memberikan pelayanan kepada rakyat. Saat partai yang berkuasa berganti maka aparat birokrasi pun banyak yang berganti karena lebih memilih mengikuti keinginan dari partainya. Pada pokoknya, keterlibatan Birokrasi dalam politik sudah melakukan peran ganda, pada satu sisi Birokrasi atau elite birokrasi menjalankan tugasnya sudah di pengaruhi oleh partai politik yang memerintah. Pada masa ini dalam sejarah politik Indonesia dikenal dengan zaman demokrasi Parlementer atau Liberal.

Periode 1960-1965
Pengaruh elite birokrasi terhadap ranah politik secara langsung, pada periode ini tidak seperti yang terjadi pada periode sebelumnya. Karena sistem pemerintahan mengalami perubahan. Dimana perubahan tersebut dirasakan secara langsung oleh seluruh struktur pemerintahan, termasuk institusi birokrasi dalam melakukan perannya.
Pada periode ini dikenal dengan demokrasi terpimpin atau akhirnya demokrasi parlementer liberal. Kekuasaan terpusat pada diri Presiden Soekarno. Partai-partai politik di disederhanakan dalam bungkus Nasakom, dengan dibubarkan parlemen hasil pemilu tahu 1955 sebagai konsekuensi dari dekrit presiden 5 juli. Peran presiden sangat kuat dalam membentuk dan memimpin pemerintahan. Dimana presiden sebagai kepala pemerintahan memimpin kabinet dan tidak bertanggung jawab terhadap DPR. Menteri sebagai pembantu presiden dan bertanggung jawab terhadap Presiden.
Pada periode ini, lembaga pemerintah semakin di incar oleh oleh partai politik. Tiga kekuatan partai politik yang dibungkus dalam Nasakom berusaha membagi kavling pengaruhnya di berbagai departemen pemerintah. Atau lebih tetapnya lembaga pemerintah sudah mulai terperangkap jaring yang di pasang oleh kekuatan politik Nasakom. Jadi sesungguhnya birokrasi menjadi kekuatan politik yang bermain secara langsung dengan tersebar pada tiga ideologi politik Nasakom.
Sebagai ringkasannya disini akan dibuat suatu tabel yang menggambarkan hubungan birokrasi dan politik pada masa Orde Lama tersebut.
Masa
Ciri Khas Birokrasi
Orientasi Keberpihakan
Keterangan
Orde Lama

Belum atau tak terjadi kekompakan birokrasi sebab politisasi birokrasi yang berwujud pengkavlingan departemen-departemen oleh parta-partai politik. Misal, Depdagri dikavling oleh PNI, Depag oleh Partai NU.
Politisasi terhadap birokrasi begitu dalam sehingga promosi jabatan di berbagai departemen pada semua lingkungan ditentukan terutama oleh loyalitas kepartaian anggota.
Aktornya adalah pegawai negeri yang lebih berpihak kepada partai induknya.
Tampak gejala politisasi birokrasi oleh partai politik yang kuat, posisi-posisi birokrasi banyak diisi oleh orang-orang yang ditunjuk partai politik. Birokrasi cenderung pro partai, kader dan pendukungnya.
Profesonalisme dan kinerja birokrasi orde lama tak berjalan baik sebab semua organnya sendiri sudah menjadi partai politik.
Setiap departemen dikuasai partai politik tertentu yang memiliki orientasi berbeda-beda.
Diadaptasi dari Forum Keadilan, N0. 45, Februari 2002 : 17


Hubungan Birokrasi dengan politik pada masa Orde Baru
Setelah Orde Baru di kukuhkan dalam sidang MPRS yang berlangsung pada bulan Juni-Juli 1966. Pada zaman Orde Baru ini lah dikenal sebutan demokrasi pancasila. sesungguhnya pancasila sangat kramat dan angker, siapapun baik secara induvidu maupun secara organisasi (kelompok) diawasi dengan ketat oleh kekuatan negara yang diwakili oleh ABRI dibawah pimpinan Presiden Soeharto. Jimly Asshiddiqie , Sejak awal Orede baru pemerintah menekankan stabilitas nasional dengan program politiknya. Demi terwujudnya stabilitas nasional pemerintah, terlebih dahulu membangun konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, pertama, berwujud kebulatan tekat pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini juga disebut konsensus utama. Kedua, komsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama. Secara umum, elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan konsensus-konsensus nasional antara lain pemerintah, TNI, dan beberapa organisasi massa. Konsensus itu kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No XX/1966. sejak itulah konsensus nasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh rakayat Indonesi. Beberapa hasil konsensus antara lain penyederhanaan partai politik dan keikut sertaan TNI/POLRI dalam keanggotaan DPR/MPR.
Dalam hubungan Birokrasi dengan ranah politik kekuasan pada masa Orde Baru Secara umum, wajah birokrasi masa Orde Baru dapat diidentifikasi dalam dua tipe: yaitu sentralitas dan bersifat patrimonial. Birokrasi di jadikan sebagai alat yang efektif untuk mengadapi pemerintahan daerah. Namun demikian, wajah birokrasi yang sentralistik dan patrimonial, baik pada organisasi Pamong Praja ataupun badan usaha milik Negara, bukalah monopoli Orde Baru, melainkan warisan kelembagaan dari rejim sebelumnya. Kondisi ini disebabkan diantaranya oleh proses rekrutmen kedalam jabatan pemerintahan dan realitas birokrasi sebagai ajang konflik politik yang melahirkan patronase, sehingga menciptakan iklim dimana manipulasi politik oleh pejabat pemerintah menjadi lumrah dan perlu (Mohtar Mas’oed, 1989).
Seperti dicatat Mahfud dari Muhaimin, sistem politik Orde Baru pada awalnya berusaha mengembalikan birokrasi yang semrawut, tak bertanggung jawab ke arah birokrasi yang efisien, jujur, akuntabilitas dan menghargai hukum. Namun menurut Soedjatmoko, keinginan untuk membentuk pemerintahan modern, efisien dan kuat telah memunculkan pemerintahan yang disebut Modernizing Bureaucratic State (MBS), yang memperlihatkan semakin meluasnya peranan birokrasi di dalam negara. Ada kecenderungan otoritarianisme dan sentralisasi dalam MBS sebagai ciri kebudayaan politik negara patrimonial, dan ada persamaan yang jelas antara makna “modern officialdome” dalam MBS dengan konsepsi kemasyarakatan yang sangat hierarkis yang berada di dasar negara patrimonial pada masa lampau. (Mahfud MD., 1993 : 112-113).
Pada tahun 1966 sampai 1998 lembaga pemerintah lebih memihak pada kekuatan yang dominan. Semenjak kekuasaan Soeharto yang didukung oleh tiga kekuatan penting antara lain Golkar, ABRI, dan Birokrasi sepremasi sipil yang menempatkan kedaulatan rakayat tidak bernilai apa-apa. Hubungan birokrasi pemerintah dengan kekuasaan politik justru telah membuat birokrasi sebagai kepanjangan tangan kekuasaan yang lalu berubah menjadi mesin politik dalam menghimpun dukungan politik pada masyarakat sama\pai pada tingkat desa, sekalipun dengan cara yang penuh manipulatif dan bengis. Hal demikian didukung oleh kebijakan monoloyalitas.
Berikut ini sebagai ringkasannya dapat dibuat suatu tabel yang menggambarkan hubungan birokrasi dan politik di Indonesia pada masa Orde Baru tersebut.
Masa
Ciri Khas Birokrasi
Orientasi Keberpihakan
Keterangan
Orde Baru
Tak jelas pemisahan antara jabatan politik dan jabatan administratif. Di satu sisi ada ketentuan yang mengatur eselonisasi jabatan-jabatan di bawah menteri, namun tradisi politik Orba memperlakukan semua jabatan seakan jabatan politik.
Pegawai negeri dikenakan kewajiban monoloyalitas terhadap Golkar.
Golkar menempatkan birokrasi pada jalur B sebagai satu faksi di tubuhnya.
Aktornya adalah para menteri kabinet pembangunan, pegawai sipil yang terhimpun dalam Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI).
Dalam Fraksi Karya Pembangunan (FKP) di DPR-RI, ada faksi atau jalur B yaitu birokrasi.
Terjadi gejala :
Bureacraty polity, terjadi dominasi birokrat dan militer dalam pembuatan kebijakan.
Birokratik patrimonial yaitu hubungan patron-klien dalam birokrasi dan masyarakat.
Korporatisme negara, terjadi kooptasi organisasi masyarakat.
Diadaptasi dari Forum Keadilan, N0. 45, Februari 2002 : 17


KESIMPULAN
Dari sekian pandangan dan analisis yang dikemukakan diatas. Hemat kami, bahwa hubungan birokrasi dengan politik pada masa Orde Lama adalah hubungan yang melibatkan diri sebagai salah satu kekuatan politik yang menyebar dari faksi-faksi ideologi politik. Sehingga netralitas birokrasi tidak terjaga terhadap kepentingan politik elite-elite politik yang kebanyakan tergabung dalam partai politik. Singkatnya birokrasi merupakan alat politik bagi partai politik dalam mempertahankan kekuasaan dan mencari dukungan. Sehingga netralitas sebagai pelayan masyarakat menjadi sulit dilakukan karena birokrasi terkotak-kotak oleh kepentingan politik yang ada. Sekalipun pada masa awal pemerintahan ini keterlibatan birokrasi belum terlalu nampak, namun bukan berarti birokrasi tidak terlibat dengan partai-partai politik.
Sedangkan hubungan Birokrasi dengan politik pada pemerintahan Orde Baru yang terbaca adalah bahwa birokrasi dan ABRI di rangkul menjadi modal politik yang efektif. Keberpihakan dan keterlibatan Birokrasi pada ranah politik untuk mendukung salah satu kekuatan politik yang berkuasa adalah Golkar menjadi sulit dihindari pada Orde Baru, hal ini dipengaruhi oleh struktur dalam departem-departemen pada awalnya hampir ditempati oleh orang-orang Militer. Pemerintah Orde Baru dengan kebijakan monoloyalitas dan kebijakan lainnya mengharuskan Birokrasi untuk menjadi mesin politik kekuasaan yang efektif. Terbukti dari pemilu ke pemilu, politik penyeragaman ideologi mengharuskan unutk mencoblos Golkar, sehingga banyak orang mengatakan pemerintahan Orde Baru merupakan pemerintahan birokrasi atau negara birokrasi.
  Perbedaan keterlibatan birokrasi pada zaman Orde Lama dan Orde Baru dalam politik yang paling mencolok adalah dimana masa Orla keterlibatan politik birokrasi menyebar dari berbagai kepentingan politik. Hanya saja pada masa Orde Baru keterlibatan birokrasi tidak menyebar ke barbagai kekuatan politik, seperti partai-partai politik. Sepenuhnya merapat pada kekuatan Golkar yang pada masa ini belum menjadi partai politik, dan keberadaan birokrasi pada zaman itu benar-benar mempengaruhi rotasi kepemimpinan nasional dan perpolitikan.  . 
Kedudukan Birokrasi terhadap partai politik semenjak Presiden Soeharto tidak bisa dikatakan netral. Walaupun Golkar yang menguasai pemerintahan saat itu bukanlah “partai politik”, akan tetapi birokrasi pemerintah tidak bisa netral dari kekuatan politik. Semua posisi dan jabatan birokrasi terkooptasi dan memihak pada Golkar. Cara seperti ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan jaman pemerintahan Presiden Soekarno yang memberikan akses kepada tiga kekuatan politik Naskom untuk mengkavling birokrasi departemen pemerintah.
Keterkaitan birokrasi dengan politik memang tidak dapat dihindari. Pada kenyataannya, birokrasi tidak pernah beroperasi dalam ”ruang hampa politik” dan bukan aktor netral. Di samping itu birokrasi pada negara-negara berkembang tidak bisa lepas dari pengaruh sistem internasional. Hal ini menempatkan birokrasi tidak bisa hanya sebagai  alat penerapan kebijaksanaan publik yang netral. Jalan pikiran ini mengharuskan pemikiran kembali ke pemahaman mengenai birokrasi, yang selama ini didasarkan pada konseptualisasi Weberian, dan mencari kerangka berpikir alternatif  yang bisa lebih tepat mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena birokrasi di masyarakat dunia ketiga seperti Indonesia.



Daftar Pustaka

Agus D., et.al., Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, UGM Press, 2006

Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar, yogyakarta. 2006,
A. Salim, Perubahan Sosial, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2002

Alfian, Masalah dan Prospek Pembangunan Politik di Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1990

Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, 1986

Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993

B. Setiono, Jaring Birokrasi Tinjauan dari Aspek Politik dan Administrasi, Gugus Press, Bekasi, 2002

Budi Winarno, Globalisasi Peluang atau Ancaman bagi Indonesia, Erlangga, Surabaya, 2008

Begi Hersutanto, Menata Birokrasi, Memangkas Korupsi, CSIS Jakarta, 2007

F. Putra & S. Arif, Kapitalisme Birokrasi, LkiS, Yogyakarta, 2001

Jimly Asshiddiqie. Kebebasan Berserikat, pembubaran Partai politik, dan Mahkama Konstitusi. Diterbitkan oleh sekteriatan Jenderal dan Kepanitraan Mahkama Konstitusi RI. 2005. jakarta. Hal 189-190.

Lance Castles, et.al., Birokrasi, Kepemimpinan dan Revolusi Sosial, Hapsara, Surakarta, 1983

Miftah Thoha. Birokrasi dan Politik Indonesia. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2003

Martin Albrow, Birokrasi, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2005

Mohtar Mas’oed, Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003

P.M. Blau & M.W. Meyer, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2000

Syafuan Rozi, Model Reformasi Birokrasi Indonesia. LIPI Jakarta, 2000

Syaiful Arif, Reformasi Perilaku Birokrasi, Jawa Pos 20 April 2008

Majalah Forum Keadilan, No. 24 Februari 2002



Tidak ada komentar:

Posting Komentar