LATAR BELAKANG MASALAH
Sudah lama birokrasi menjadi perhatian para ilmuwan sosial karena melihat
peranan yang begitu penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Umumnya fungsi birokrasi diasumsikan sebagai pelayan masyarakat atau pelayan
publik. Dilihat dari asal katanya, birokrasi merupakan gabungan dari dua kata yaitu
bureau yang berarti office table (meja kantor) yang bertujuan
sebagai alat kerja manusia atau dapat juga diartikan sebagai hukum yang menjadi
dasar aturan-aturan dan cracy yang bermakna power (kekuasaan)
dalam bentuk authority (kewenangan atau otoritas) dan legitimation
(pengakuan). Secara ringkas birokrasi bisa diartikan sebagai orang yang diberi
wewenang untuk menjalankan kekuasaan. (A. Salim, 2002 : 97). Dengan kata lain
birokrasi dapat dipahami sebagai suatu kekuasaan yang dijalankan oleh para pejabat.
(Albrow, 2005 : 19). Atau pendapat Albrow dengan mengutip definisi Mill
birokrasi sebagai suatu pekerjaan untuk menjalankan pemerintahan oleh
orang-orang yang memerintah secara profesional. (Albrow, 2005 : 11). Atau
seperti dikutip Setiono dari Yahya Muhaimin, birokrasi ialah “keseluruhan
aparat pemerintah, sipil maupun militer yang melakukan tugas membantu
pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu”. (Setiono, 2002 : 22).
Sebenarnya birokrasi bukan hanya ditemui di dalam tugas-tugas pemerintahan
tetapi terdapat diberbagai kantor swasta atau organisasi sosial. Namun karena
alasan ekonomis dan strategis atau karena butuh modal yang sangat besar dan
intensif sehingga tak terlalu menarik buat pihak swasta. Sekarang kata
birokrasi tersebut cenderung ditujukan kepada serangkaian urusan yang dilakukan
oleh instansi-instansi pemerintah.
(Wibowo, et.al., 2005 : 98). Secara garis besar tujuan birokrasi terbagi
dua yaitu birokrasi publik dan privat. Birokrasi publik dikaitkan dengan
pemerintah, sedangkan birokrasi privat dengan swasta.
Pada birokrasi publik tujuannya sangat banyak dan beragam bahkan terkadang
kabur dan tak nyata karena polarisasi aspek politis dan ekonomis. Tanggung
jawab bersifat vertikal pada lembaga yang berwenang. Orang-orang yang bekerja
pada pelayanan publik dipilih lewat kriteria tertentu, berdasarkan keahlian,
kualifikasi khusus dan loyal secara politis. Sebaliknya dalam sektor privat ada
kebebasan untuk memilih pekerjaan guna meraih tujuan yang akan dipertanggung
jawabkan kepada komisaris atau pemegang saham. Orang-orang yang bekerja
berdasarkan prinsip kepantasan dan kualifaksi keahlian berdasarkan manajemen
modern yang berupaya menghasilkan keuntungan maksimal. (Putra & Arif, 2001
: 12). Sebagai instrumen negara modern, birokrasi seharusnya memiliki ciri-ciri
antara lain bersifat rasional, netral, objektif, efektif, efisien. (Castles,
et.al. , 1983 : 5).
Memang pada dasarnya birokrasi diharapkan mampu menjalankan suatu pekerjaan
secara maksimal karena birokrasi telah diisi oleh para profesional. Gagasan
tentang maksimalisasi tugas pemerintahan sudah ada sejak masa lalu. Banyak ahli
percaya bahwa konsep yang mirip dengan birokrasi telah dipakai di masa lampau
seperti pada pemerintahan Romawi, Mesir kuno, atau Cina kuno dimana ketika itu
para pejabat kerajaan diseleksi dengan sistem ujian, senioritas dan keahlian.
(Setiono, 2002 : 22).
Menurut Blau & Meyer, preferensi birokratisasi telah mengalami
perubahan mendasar dan signifikan sejak seratus tahun terakhir. Birokrasi menjelma
menjadi lembaga yang dominan dan menjadi simbol lahirnya zaman modern. Untuk
memahami kondisi masa kini harus dikaitkan dengan lembaga yang bernama
birokrasi. Ukuran bangsa-bangsa modern sangat besar dan lahirnya banyak
organisasi merupakan salah satu alasan proliferasi birokrasi. Pada masa lalu
ukuran negara sangat kecil, bahkan negara besar saat itu hanya memiliki
administrasi yang longgar dan sedikit sekali organisasi formal kecuali lembaga
pemerintahan. Sedangkan pada negara-negara modern memiliki jutaan warga negara,
militer yang kuat, berbagai perusahaan raksasa, serikat pekerja yang kuat dan
organisasi nirlaba atau asing. Karena skala persoalan semakin besar membuat
organisasi cenderung kepada birokratisasi. (Blau & Meyer, 2000 : 12-13).
Birokrasi mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat
modern. Misalnya lembaga tenaga kerja pemerintah atau non pemerintah yang
dipakai untuk memperoleh pekerjaan, serikat pekerja sebagai pelindung pekerja,
pasar-pasar swalayan atau toko-toko kecil untuk berbelanja, rumah sakit untuk
berobat, sekolah untuk mencari pengetahuan, partai politik yang menjadi medium
kepentingan politik rakyat dan lain-lain cenderung diatur secara birokratis.
(Blau & Meyer, 2000 : 12-13).
Namun kalau melihat kepada prakteknya, birokrasi cenderung berkonotasi
negatif karena banyak orang yang berurusan dengannya mengalami perlakuan yang
mengecewakan. Misalnya suatu urusan harus melewati banyak pejabat tanpa
memperoleh informasi yang diinginkan, atau kalau mengisi formulir yang panjang
berkali-kali dan dikembalikan begitu saja hanya karena lupa menambahkan
informasi yang sangat sepele, ataupun jika lamaran-lamaran kerja ditolak karena
alasan teknis. Maka pada saat itulah kita berpikir tentang birokrasi. Akhirnya
dalam bahasa sehari-hari birokrasi mengandung pengertian tak efisien, tak
efektif, bertele-tele atau berbelit-belit dan banyak sebutan lain. Padahal arti
birokrasi yang sesungguhnya bukan seperti itu. Memang birokrasi merupakan suatu
lembaga yang kuat dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas
potensial terhadap hal-hal yang baik maupun yang buruk. (Blau & Meyer, 2000
: 3-5).
Untuk mengetahui kenyataan birokrasi tersebut dapat ditinjau ke berbagai
negara di dunia, dan ternyata ditemukan lebih dari satu model birokrasi yang
tumbuh dan berkembang. Misalnya di negara maju seperti Amerika Serikat,
loyalitas birokrat hanyalah kepada konstitusi dan konvensi. Mereka digambarkan
mampu berprestasi sebagai pelayan masyarakat. Sehingga yang muncul birokrasi yang
rasional. Sebaliknya kalau mengacu kepada negara berkembang seperti Indonesia
dan Thailand digolongkan sebagai birokrasi patrimonial yang menekankan
loyalitas birokrat kepada kekuasaan, baik politik maupun ekonomi. Para birokrat
di Indonesia itu lebih mampu membuat bos senang dengan laporan-laporan bagus
yang berbeda dengan realitas, membuat anggaran besar bagi pembangunan namun
uangnya habis ditilap, lebih pandai meminta kepada masyarakat daripada melayani
masyarakat. (Forum Keadilan No. 45, 2002 : 11).
Contoh lain, di Jepang yang mulai melakukan modernisasi dan pembangunan
sejak akhir abad ke-19, telah mendirikan dan menjadikan Universitas Tokyo
sebagai pusat latihan bagi para pejabat pemerintah dan para pemimpin untuk
mempercepat suatu transformasi negara modern dan kuat. Para lulusan perguruan
tinggi menduduki jabatan-jabatan pada lembaga-lembaga pembuat keputusan
pemerintah dan mengarahkan berbagai kegiatan modernisasi bangsa. Mereka pun
akhirnya menjadi elit yang berkuasa. Dan sesuai dengan tradisi Asia Timur
seperti pada masa imperium Cina dahulu, para pejabat pemerintah memperoleh
kedudukannya lewat ujian-ujian dinas sipil yang juga merupakan kelompok yang
paling dihormati karena mereka memiliki perpaduan unsur pendidikan tinggi dan
pelayanan yang tak mementingkan diri sendiri tetapi berbakti kepada raja dan
rakyat. Seseorang yang berkarier di jabatan birokrasi merupakan suatu
kehormatan dan menjadi dambaan banyak orang. (Budi Winarno, 2008 : 88).
Sehingga bisa dikatakan birokrasi menjadi suatu agen modernisasi dan
pembangunan bagi negara bangsa.
Sampel yang lain lagi seperti di Singapura, sudah sejak 1959 dilakukan
reformasi birokrasi ketika peralihan kekuasaan kepada pemerintahan Lee Kuan
Yew. Birokrasi didasarkan atas pemerintahan yang bersih, menganut sistem
meritokrasi dan pragmatisme. Pemerintah berhasil menerapkan kebijakan untuk
mentranformasikan Singapore Civil Servis (SCS), badan yang menjalankan
birokrasi pemerintahan. Korupsi dan inefektifitas selama periode kolonial telah
direformasi dan memerlukan waktu bertahun-tahun. Minimalisasi korupsi terjadi
dengan memberikan intensif bagi para pegawai, adanya Undang-Undang Anti Korupsi
atau Prevention of Corruption Act (POCA). Dan secara bertahap
memperbaiki gaji dan kesejahteraan para pegawai. Sampai tahun 1994, gaji
menteri dan pegawai pemerintah yang senior hampir menyamai pemimpin puncak di
sektor swasta (seperti akuntan, bankir, insinyur, ahli hukum), pimpinan
perusahaan lokal maupun asing. Dari data 1995 penghasilan bulanan pimpinan
administrasi di Singapura atau setingkat Dirjen (Direktur Jenderal) di
Indonesia sekitar S$ 48.400 atau US$ 34.571 (lebih dari 34 juta rupiah). Pada
posisi yang sama di Amerika Serikat hanya sekitar US$ 7.224, di Australia
sekitar A$ 18.278.
Memang kalau menengok ke negara maju birokrasi pemerintah sudah
profesional, memiliki hierarki kewenangan, pembagian kerja, aturan kerja yang
jelas, sistem upah yang berdasarkan peraturan. Aparat birokrasi hanya loyal
kepada konstitusi dan konvensi, tak memihak pemerintah jika timbul krisis
legitimasi dari parlemen atau rakyat. Birokrasi hanya patuh pada pemerintah
yang mendapat kepercayaan politik dari masyarakat juga tak mudah diintimidasi
oleh desakan politik dari kelompok kepentingan. (Forum Keadilan No. 45, 2002 :
23).
Kalau melihat ilustrasi ringkas tentang kondisi birokrasi di beberapa
negara memang sangat berbeda. Untuk dunia ketiga seperti Indonesia kalau
diperhatikan secara umum maka kesan yang timbul terhadap fakta birokrasi adalah
prosedur kerja yang berbelit-belit, mekanisme kerja yang tak efisien dan tak
efektif, proses pelayanan yang lamban, sumber penyalahgunaan kedudukan dan
wewenang. (Castles, et.al. , 1983 : 5).
Mengutip pendapat Castles, birokrasi di Indonesia lebih mirip dengan
birokrasi patrimonial yaitu suatu hubungan antara patron dan klien atau
hubungan antara priyayi dan wong cilik pada masa kerajaan Jawa kuno. Sehingga
pola kekuasaannya bersifat personalistik dan model kepemimpinannya berwatak
paternalistik atau hubungan antara aparat dan rakyat juga bersifat paternalistik
beserta dengan segala implikasinya. Birokrasi di Indonesia memiliki kekuasaan
yang sangat besar, dan sulit dikontrol karena tak ada kekuatan ekstra
birokrasi. Sehingga kalau ada penyalahgunaan atau penyelewengan kekuasaan juga
sulit dikendalikan. Birokrasi di Indonesia memiliki sejarah panjang yang bisa
ditelusuri kesinambungannya mulai dari kerajaan Jawa kuno, masa kolonial
Belanda, revolusi dan Demokrasi Parlementer (1945-1958), Demokrasi Terpimpin
(1958-1966), Demokrasi Pancasila (1966-1998), dan masa reformasi
(1998-sekarang).
Keadaan demikian merupakan suatu kenyataan yang sudah terbentuk pada
kondisi-kondisi objektif. Birokrasi yang muncul berakar pada kebudayaan politik
dengan latar belakang sejarah sebagai permulaannya yang kemudian membentuk
sebuah pola perilaku birokrasi sampai sekarang. (Castles, et.al. , 1983 : 7-8).
Itulah gambaran birokrasi yang dapat kita lihat di Indonesia yang masih jauh
dari harapan sebagai publik servis.
POKOK
PERMASALAHAN
A.
Batasan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas, banyak hal yang menarik perhatian
melihat kondisi birokrasi di Indonesia pada beberapa periode sejarah yang telah
berlangsung, dimana keberadaan elite birokrasi menjadi sesuatu yang menarik
untuk dikaji hubungannya dengan politik. Namun pada kesempatan ini terutama
yang coba hendak diketahui lebih jauh adalah tentang bagaimana hubungan antara
birokrasi dan politik di Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru.
B.
Rumusan masalah
Rumusan yang coba kita kaji dalam studi perbandingan hubungan birokrasi
dengan politik, sesuai dengan masalah yang diuraikan diatas adalah Bagaimana
hubungan birokrasi dan politik di Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru?
KERANGKA
TEORI
Untuk
mengawali pembahasan terlebih dahulu dimulai dari konsep-konsep yang umum
tentang birokrasi. Birokrasi modern pertama kali dikemukakan Max Weber, seorang
sosiolog ternama asal Jerman, yang dikenal melalui ideal type (tipe ideal)
birokrasi modern. Konsep birokrasi inilah yang sering diadopsi dalam berbagai
rujukan birokrasi negara kita, walaupun dalam penerapan tidak sepenuhnya bisa
dilakukan. Tipe ideal itu melekat dalam struktur organisasi rasional dengan
prinsip “rasionalitas”, yang bercirikan pembagian kerja, pelimpahan wewenang,
impersonalitas, kualifikasi teknis, dan, efisiensi.
Pada
dasarnya, tipe ideal birokrasi yang diusung oleh Weber bertujuan ingin
menghasilkan efisiensi dalam pengaturan negara. Tetapi konsep Weber sudah tidak
lagi sepenuhnya tepat disesuaikan dengan keadaan saat ini, apalagi dikaitkan
dengan konteks Indonesia. Secara filosofis dalam paradigma Weber, birokrasi
merupakan organisasi yang rasional dengan mengedepankan efisiensi. Pengertian
efisiensi digunakan secara netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrasi
dan organisasi. Dalam pandangan ini, birokrasi dimaknai sebagai institusi
formal yang memerankan fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, dan
pemberdayaan masyarakat. Jadi, birokrasi dalam pengertian Weberian adalah
fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional terhadap serangkaian tujuan
yang ditetapkan pemerintahan. Birokrasi Weber berparadigma netral dan bebas
nilai. Tidak ada unsur subyektivitas yang masuk dalam pelaksanaan birokrasi
karena sifatnya impersonalitas: melepaskan baju individu dengan ragam
kepentingan yang ada di dalamnya.
Weber
melihat birokrasi sebagai invensi sosial yang muncul sebagai konsekuensi
berkembangnya sistem sosial dan sistem politik yang kompleks. Pemikiran tentang
birokrasi dikembangkan dalam kaitannya dengan teorinya tentang dominasi.
Dominasi menurut Weber, merupakan salah satu bentuk hubungan kekuasaan dalam
mana si penguasa sadar akan haknya untuk memerintah, sedang yang diperintah
sadar bahwa adalah menjadi kewajibannya untuk menaati segala perintah
atasannya.
Organisasi
birokrasi yang mendekati bentuk ideal hanya ditemukan pada organisasi
kapitalisme modern. Bila dilihat sejarah pada abad pertengahan, jauh sebelum
munculnya kapitalisme modern, telah terdapat contoh-contoh birokrasi yang telah
berkembang di Mesir purba, Cina, Roma dan Gereja Katolik. Birokrasi birokrasi
ini pada dasarnya adalah birokrasi patrimonial, dan kebanyakan didasarkan
atas bayaran terhadap para pejabatnya
dalam bentuk barang. Ini menunjukkan bahwa bentuk suatu ekonomi uang, tidak
merupakan syarat mutlak timbulnya organisasi birokrasi, walaupun akhirnya
ekonomi uang tersebut mempunyai arti
yang sangat penting dalam melancarkan tumbuhnya
birokrasi rasional modern (Anthony Giddens, 1986: hlm 194-195).
Mengikuti
argumentasi Hegel, Miftah Thoha menyebutkan bahwa administrasi negara
(birokrasi) sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara negara
(pemerintah) dan masyarakatnya. Adapun masyarakat terdiri dari para kelompok
profesional, usahawan, dan sebagainya yang mewakili kelompok partikular
(khusus). Diantara keduanya (negara dan masyarakat) itu birokrasi pemerintah
merupakan medium yang bisa dipakai untuk mengaitkan kepentingan partikular
dengan kepentingan umum. (Thoha, 2003 : 22-23).
Menurut
Thoha mengambil penjelasan David Beetham yang berdasarkan pendapat Weber bahwa
terdapat tiga unsur penting di dalam konsep birokrasi. Pertama, birokrasi
dipandang sebagai instrumen teknis (technical instrument). Kedua,
birokrasi dilihat sebagai kekuatan independen di dalam masyarakat sepanjang
dilekatkan pada penerapan sebagai instrumen teknis. Ketiga, pengembangan dari
sikap ini para birokrat tak mampu memisahkan perilaku mereka dari
kepentingannya sebagai kelompok partikular. Sehingga bisa keluar dari fungsi
seharusnya sebab anggotanya cenderung datang dari kelas sosial yang partikular
juga. Elemen yang kedua dan ketiga itu sebenarnya mengandung pengertian bahwa
kehidupan birokrasi hampir tak mungkin dipisahkan dari politik. (Thoha, 2003 :
19-20). Dari kutipan ini dapat dikatakan bahwa birokrasi selain bertugas
sebagai instrumen yang menjalankan perintah ternyata juga birokrasi merupakan
suatu kekuatan yang akan selalu bersinggungan dengan politik yang bisa dilihat
dari perilaku para birokrat sebagai kelompok partikular yang juga mempunyai
kepentingan sendiri diluar tugas utamanya.
Ahli
lain seperti Michels menyebut adanya “hukum besi oligarki” pada setiap
organisasi sebagaimana dikemukakan oleh Alfian. Pertama, siapa yang mengucapkan
organisasi pasti mengucapkan oligarki.
Kedua,
manusia berada dalam suatu dilema yang tak mungkin terpecahkan, lembaga-lembaga
besar seperti negara, organisasi buruh, partai politik, institusi keagamaan dan
sebagainya, akhirnya memberikan kekuasaan efektif kepada sejumlah kecil orang
yang berada di puncak organisasi itu. Ketiga, organisasi-organisasi besar
memberi kekuasaan tak terbatas (cenderung monopoli) kepada pengurusnya. Keempat,
organisasi yang pada mulanya didirikan untuk mencapai suatu tujuan, akhirnya
menjadi tujuan itu sendiri.
Kelima, ada beberapa faktor yang membuat golongan kecil (oligarki) yang
berkuasa selalu unggul berhadapan dengan mayoritas massa yaitu mereka lebih
ulung dalam pengetahuan mengenai organisasi antara lain karena memonopoli
informasi, mereka mengontrol alat komunikasi resmi dari organisasi, ahli dalam
bermain politik, karena massa sendiri inkompeten, karena massa merasa
membutuhkan elite atau pemimpin. (Alfian, 1990 : 174).
Sedangkan kalau mengikuti pendapat Karl Marx, Thoha melihat bahwa birokrasi
merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan untuk
melaksanakan dominasinya atas kelas-kelas sosial lain. Atau dapat disebut
birokrasi pasti memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut.
(Thoha, 2003 : 23). Misalnya di Amerika Serikat pada masa Presiden Andrew
Jakcson telah dipengaruhi oleh sistem patronase dimana dominasi partai politik
sangat kuat dalam birokrasi, terutama dalam rekruitmen dan promosi jabatan di
birokrasi. (Putra & Arif, 2001 : 48-49). Hal ini ternyata terjadi juga di
Indonesia seperti pada masa Demokrasi Parlementer dimana partai-partai politik
yang menguasai birokrasi di berbagai departemen.
Kondisi suatu birokrasi merupakan refleksi dari budaya birokrasi yang berkembang
di suatu negara. Budaya birokrasi bisa diartikan sebagai seperangkat nilai yang
memiliki simbol, orientasi nilai, keyakinan, pengetahuan dan pengalaman
kehidupan yang diaktualisasikan dalam sikap, nilai, keyakinan dan perbuatan
yang dilakukan oleh setiap anggota dari organisasi yang bernama briokrasi.
Setiap briokrasi selalu bersinggungan dengan aspek budaya masyarakat setempat.
Dinamika yang terjadi di dalam birokrasi selalu berkorelasi dengan lingkungan
eksternal. Karakter dan model birokrasi
yang berkembang di Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu bentuk interaksi
yang terjalin dengan lingkungan politik, budaya, sosial juga ekonomi.
(Dwiyanto, et.al., 2006 : 91).
Istilah
Birokrasi hampir selalu dikaitkan dengan sesuatu yang rumit, panjang dan tidak
efisien. Buruknya birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang
dihadapi Asia. Satu lembaga penelitian (Political and Economic Risk
Consultancy (PERC) meneliti soal birokrasi di Indonesia dan hasilnya birokrasi Indonesia dinilai termasuk
terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti dibandingkan keadaan di tahun
1999. Pada tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari
skor 1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10
untuk terburuk. Skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan
pengalaman dan persepsi expatriats yang menjadi responden bahwa antara
lain menurut mereka masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang
memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan orang terdekat
(Syafuan Rozi, 2000). Bila dibandingkan
dengan beberapa negara Asia lainnya, Thailand dan Korea Selatan mengalami
perbaikan pada tahun 2000, meskipun mereka juga masih berada di peringkat bawah rata-rata yaitu masing-masing
6,5 dan 7,5 (2000) dari tahun sebelumnya yang 8,14 dan 8,7.
Kinerja birokrasi selalu dijadikan alasan penyebab
terjadinya keterpurukan bangsa karena masih adanya persoalan-persoalan seperti
birokrasi yang lamban, tidak efisien, tidak efektif, tidak tanggap, dan
ditengarai banyak diwarnai dengan praktik korupsi, serta menjadi salah satu
penyebab praktik penyalahgunaan kewenangan. Buruknya kinerja birokrasi sebagai
perpanjangan tangan penerapan kebijakan publik pemerintah justru menjadi faktor
penghambat efektivitas dan efisiensi bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah di
lapangan.
Mengacu
pada uraian yang diutarakan oleh Karl D. Jakcson & Lucian W. Pye, bahwa
yang terlihat pada sistem politik yang dikembangkan di Indonesia setelah
merdeka dan terutama terbaca jelas pada masa Orde Baru lebih berlandaskan pada
budaya politik Jawa. Hal ini juga berhubungan dengan banyaknya elite politik
nasional berasal dari suku Jawa yang memperlihatkan kecenderungan ke arah
tersebut. Perilaku elite birokrasi dalam memberikan arah dan kebijakan nasional
lebih dekat mengacu kepada budaya Jawa yaitu budaya patrimonial (hubungan
antara patron dan klien). (Dwiyanto, et.al., 2006 : 89).
Namun ada juga yang mengatakan bahwa model birokrasi di Indonesia bersifat
paternalistik yaitu hubungan bapak dan anak buah (bapakisme). Hubungan
paternalisme (bapakisme) lebih halus di bandingkan dengan dengan
hubungan patron klien. Seperti yang disadur Dwiyanto dkk dari Mulder mengatakan
hubungan bawahan dan atasan seperti hubungan antara anak dan bapaknya dalam
konsep Jawa. Anak harus menghormati bapaknya yang tergambar dalam perasaan
sungkan, berbicara halus (kromo) atau sopan dengan bapaknya. Hubungan antara
orangtua dan anak bersifat superior dan inferior. Anak melayani orangtua untuk
menarik perhatian dan orangtua harus memberikan perhatian atau sesuatu yang
lain. Sistem kehidupan keluarga di Jawa masih berpegang pada hukum adat, tata
krama pergaulan dan preferensi sosial seperti umur, pangkat, jabatan, atau
hal-hal yang dianggap sebagai ukuran status seseorang. (Dwiyanto, et.al., 2006
: 95).
PEMBASAN
Hubungan
Birokrasi Dengan Politik Pada Zaman Orde Lama
Untuk mengetahui kondisi Orde Lama, disini dipakai konsep yang diambil
Mahfud MD dari penjelasan Yahya Muhaimin, bahwa dalam model bapakisme
(hubungan bapak-anak), “bapak” (patron) dilihat sebagai tumpuan dan sumber pemenuhan
kebutuhan material bahkan spritual serta pelepasan kebutuhan emosional
“anak-bapak” (client) dan sebaliknya para anak buah dijadikan sebagai
tulang punggung yang setia dari bapak, membantu terselenggaranya
upacara-upacara keluarga, memasuki atau keluar dari organisasi politik yang
dikehendaki oleh bapak, bahkan tak jarang bersedia berkorban jiwa untuk
mempertaruhkan kepentingan bapak yang harus dihormati, ditaati, dan pantang
ditentang. Sebagaimana karier politik seseorang begitu juga halnya dengan pekerjaan
dan jabatan-jabatan birokrasi bersandar kepada kecerdikannya memelihara dan
memanfaatkan hubungan pribadi dan hubungan politik lebih banyak ditentukan oleh
persetujuan dan penunjukan dari pemegang jabatan di tingkat atas. Keadaan
birokrasi di Indonesia masa kini dipengaruhi oleh peninggalan masa lampau
berupa konsep politik kelompok etnis Jawa tradisional yang aristokratis. Pada
masa Mataram kuno mengenal kelompok punggawa (priyayi) atau pejabat yang diberi
hak atas tanah, menarik pajak atau sejenisnya dari rakyat tanpa batasan maupun
peraturan yang pasti lalu diberikan kepada raja setelah diambil sekedarnya oleh
para punggawa (abdi dalem) tersebut. Pada sistem ini tak ada kekuatan
penyeimbang di luar birokrasi yang mampu melakukan kontrol terhadap aparat
birokrasi. Sehingga membuat birokrasi suka bertindak sewenang-wenang dan tak
merasa bertanggung jawab kepada rakyat, dan di pihak rakyat menjadi pasif, tak
aktif berpartisipasi dalam kehidupan politik dan ekonomi. (Mahfud MD., 1993 :
112).
Menurut Isa Anshori, semenjak kemerdekaan birokrasi diperlakukan sebagai
kelas istimewa, hal ini dimaklumi bahwa pada saat itu birokrasi merupakan
sarana yang mempersatukan bangsa. Berlanjut pada era demokrasi parlementer,
birokrasi menjadi incaran dari berbagai kekuatan politik yang ada. Misalnya
partai-partai politik mulai melirik untuk menguasai birokrasi pemerintah,
bahkan antara tahun 1950-1959 birokrasi pemerintahan berada dibawah
kepemimpinan partai politik yang menjadi mayoritas di dalam parlemen. Parlemen menjadi
kuat, tetapi sebaliknya lembaga eksekutif semakin lemah. Namun, rakyat tetap
saja tak beruntung karena birokrasi menjadi lahan KKN partai politik.
Kehidupan politik yang demokratik pada masa pasca kemerdekaan yang di
warnai oleh sistem pemerintahan parlementer membawa implikasi yang besar
terhadap birokrasi Indonesia. Yang menjadi kepala pemerintah adalah Perdana
Menteri yang merekrut para menteri dari partai-partai politik tertentu sesuai
dengan bentuk koalisi pemerintahan yang terjadi pada waktu itu. Maka, yang
terjadi kemudain adalah para menteri yang direkrut tersebut menjadikan
departemen yang dipimpinnya sebagai sumber mobilisasi dukungan bagi partai
politiknya. PNI menguasai departemen dalam negeri dan departemen penerangan,
Masyumi dan NU menguasai departemen agama.
Menurut Afan Gaffar (2006:
232) Birokrasi pasca kemerdekaan mengalami proses politisasi, sekaligus
fragmentasi. Sekalipun jumlahnya tidak terlampau besar, aparat pemerintah
bukanlah sebuah organisasi yang menyatu karena sudah terkapling-kapling kedalam
partai-partai politik yang bersaing dengan intensif guna memperoleh dukungan.
Hal itu berjalan terus sampai masa pemerintahan demokrasi terpimpin. Arah gerak
birokrasi masih mengalami polarisasi yang sangat tajam dengan mengikuti arus polarisasi
politk masyarakat. Sekalipun pengaruh partai politik sedikit-demi sedikit
mengalami penagruh terbatas, karena dibubarkan oleh Soekarno. Kecuali PKI dan
Angkatan Darat.
Hubungan
Birokrasi Dengan Politik Pada Zaman Orde Baru
Meminjam pendapat Karl D. Jakson, melihat Orde Baru sebagai Bureaucratic
polity atau Negara Birokratik. Dalam negara seperti ini, biasanya
sekelompok kecil elite menguasai sepenuhnya penggambilan keputusan politik
negara. Sementara masyarakat hanya dilibatkan dalam proses implementasi
kebijakan. Dwight King menyebutnya Orde Baru sebagai Bereaucratic
Authoriterian with limited purality. Artinya birokrat baik Sipil maupun
Militer memang sangat dominan, bahkan cenderung otoriter, tetapi warna
pluralisme tetap ada, sekalipun terbatas. Yaitu, dengan mengorganisasikan
kepentingan secara korporatis, seperti kepentingan buruh, petani, guru dan lain
sebagainya, yang disusun secara vertikal, tidak horizontal yang dikenal dalam
demokrasi. Harold Crouch menyebutnya state-qua state. Ruth McVey
mengatakan Beamtenstaat atau Negara pejabat. Sedangkan William Liddle
mengajukan tiga jajaran utama, dengan membuat piramida kekuasaan di Indonesia
yaitu, presiden dengan semua atributnya, angkatan bersenjata, dan birokrasi.
Kekuasaan presiden menempati puncak piramida yang ada dalam struktur kekuasaan
secara keseluruhan. Sekalipun menurut konstitusi presiden mempunyai kedudukan
yang sama dengan lembaga tinggi negara lainnya, seperti DPR, MA, BPK, dan DPA.
Tetapi presiden merupakan primus inter pares, yang utama dari yang
setara. Presiden mengontrol rekruitmen politik dalam negara, termasuk untuk
jabatan lembaga tinggi negara, seperti anggota legislatif dan yudikatif.
Jajaran kedua adalah Angkatan Bersenjata. Pada kehidupan politik Orde Baru,
angkatan bersenjata mempunyai peranan politik yang sangat penting, terutama
Angkatan Darat sebagai stabilisator dan dinamisator politik. ABRI bergerak
dibidang politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan, termasuk bidang olah raga dan
kesenian. ABRI memainkan peranan politiknya secara langsung melalui organisasi
sosial dan politik yang ada, misalnya pada Golkar. Jajaran ketiga adalah
Birokrasi. Bahwa pengaruh birokrasi dalam sistem politik Orde Baru sangat
tinggi. Karena Masyarakat sulit untuk menghindar dari berurusan dengan
Birokrasi. Misalnya mengurus surat izin usaha, kesulitan dan kerumitan bila
tidak dilampirkan dengan sesajen. Rakyat di anggap bodoh dan tidak perlu tahun
ini itu (Afan Gaffar, 2006: 36,37,38,39)
Lanjut Afan Gaffar, Indonesia pada masa Orde Baru telah terjadi proses
depolitisasi yang sangat efektif terhadap institusi yang ada. Depolitisasi
dilakukan dengan cara: pertama, dengan mewujudkan konsep ”massa mengambang”
atau ”floating mass”. Kontrol politik terhadap partai politik non-pemerintah
akan semakin gampang dilakukan. Depolitisisasi massa dijalankan untuk mencapai
Dua tujuan utama. Pertama, agar pemerintah Orde Baru dengan mudah membentuk
format politik yang sesuai dengan kehendaknya. Kedua, sebagai dasar bagi
terwujudnya stabilitas politik yang sangat di perlukan dalam rangka
menyukseskan pembangunan ekonomi nasional. Kedua, mewujudkan prinsip
monoloyalitas terhadap semua pegawai negeri atau yang bekerja dalam lingkunagan
instansi pemerintahan. Ketiga, emaskulasi partai-partai politik yang ada. Hal
tersebut dilakukan dengan dua macam cara, yaitu dengan melakukan ”regrouping” atau penyederhanaan sistem kepartaian dan
mengontrol rekruitmen pimpinan utama partai tersebut, sehingga partai-partai
tersebut mempunyai pimpinan yang akomodatif dengan pemerintah.
Analisis
Perbandingan
Hubungan
birokrasi dengan politik pada masa Orde Lama
Hubungan Birokrasi dengan politik pada masa Orde
Lama, mengalami fase yang berbeda, terkait dengan pengaruh hubungan atau
afiliasi dengan kekuatan politik tertentu. Pada saat pemerintah atau kabinet
yang berkuasa pada masa ini merupakan koalisi dari beberapa partai politik.
Sedangkan partai politik yang tidak berkuasa menjadi oposisi akibatnya umur
kabinet yang berkuasa tak bertahan lama. Hal ini terjadi disebabkan adanya
perbenturan kepentingan antar partai karena ideology yang tak bisa diajak untuk
berkompromi. Lebih jelasnya akan diuraikan melalui periode-periode yang
berlaku.
Periode
1945-1950
Pada periode pertama antara tahun 1945-1950, dikenal dengan zaman demokrasi
Parlementer dan Presidensial. spirit perjuangan masih lebih mencolok kepada
penyelenggaraan pemerintahan. Bahkan tak jarang hal ini terlihat di dalam
kekuatan moyoritas menekan kepentingannya sendiri untuk menghargai aspirasi
minoritas demi persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini disadari, bahwa bagsa
indonesia baru mengalami kemerdekaan. Jadi semnagat integritas nasional menjadi
perhatian semua elemen pemerintah, dan ideologi-ideologi politik. Bulum terlalu
mencolok konfigurasi kepentingan dari berbagai ideologi politik yang berjung
melepaskan Indonesia dari cengkeraman kolonialisme.
Walaupun ada semangat primordial tetapi tidak mengemuka karena tenggelam
oleh semangat nasional. Satu-satunya yang menjadi ancaman Negara adalah PKI
(Partai Komunis Indonesia) yang sempat memberontak dalam rangka menguasai
pemerintahan dan negara. Di awal kemerdekaan ada semacam consensus bahwa
lembaga pemerintahan merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan
bangsa. Anggapan ini cukup logis sebab hanya birokrasi yang mampu menjangkau
rakyat sampai ke desa-desa. (Thoha, 2003 : 135-136).
Pada saat ini aparat pemerintah banyak direkrut dari berbagai etnis yang
dianggap mewakili hampir semua suku bangsa. Dan boleh dikatakan orang-orang
yang duduk di pemerintahan hanya mempertimbangkan asal-usul orangnya tanpa
melihat kepada keahliannya. Misalnya di dalam setiap departemen harus ada etnis
Jawa, etnis Batak, etnis Padang, etnis Sunda dan berbagai etnis lain yang
kemudian dianggap dapat mewakili gambaran integrasi semua suku bangsa.
Tetapi dalam perjalanan waktu di dalam birokrasi semakin terlihat semakin
menguatnya gejala primordial. Lembaga birokrasi ini menjadi incaran
kekuatan-kekuatan politik. Partai-partai politik mulai mengincar peluang untuk
mendominasi atau menguasai lembaga birokrasi pemerintah. Jadi, keberadaan
birokrasi dalam percanturan politik pada periode ini adalah awal dari
keterlibatan Birokrasi dalam ranah politik atau telah mulai dilirik oleh
kelompok kepentingan untuk berafiliasi.
Perode
1950-1959
Pada masa periode kedua ini, fenomena semakin jelasnya partai politik untuk
mengincar birokrasi pemerintah semakin hari semakin terasa. Pada tahun 1950
berlaku juga UUDS yang isinya tentang sistem demokrasi parlementer, yang
berarti pemerintah bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan rakyat (DPR).
Dengan maklumat wakil presiden pada 3 November 1945 menghadirkan sistem banyak
partai yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan banyak
partai politik sesuai dengan aspirasinya.
Pada masa ini dilaksanakan juga pemilihan umum pertama yang demokratis
yaitu Pemilu tahun 1955. Ketika itu partai yang memenangkan pemilu memiliki
niat untuk menguasai beberapa departemen. Bahkan tak jarang kabinet bubar
karena pembagian kementerian di departemen tak sesuai dengan keinginan partai
politik yang bersangkutan. (Thoha, 2003 : 136).
Misalnya secara umum Departemen Dalam Negeri seakan menjadi jatah Partai
Nasional Indonesia (PNI). Sementara NU (Nakhdatul Ulama) sudah mendominasi
Departemen Agama. (Forum Keadilan, No. 45 : 15). Mosi tak percaya menjadi awal
dari keruntuhan kabinet yang memerintah. Disini terlihat lembaga perwakilan
rakyat (legislative) memiliki kedudukan yang kuat sebaliknya lembaga pemerintah
(eksekutif) menjadi lemah. Di pihak lain aparat pemerintah yang diharapkan
netral juga sudah ahli berpolitik dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada.
(Thoha, 2003 : 136-137).
Aparat pemerintah sepertinya hanya patuh kepada kepentingan partai tempat
dia menyalurkan aspirasi politik ketimbang serius memberikan pelayanan kepada
rakyat. Saat partai yang berkuasa berganti maka aparat birokrasi pun banyak
yang berganti karena lebih memilih mengikuti keinginan dari partainya. Pada
pokoknya, keterlibatan Birokrasi dalam politik sudah melakukan peran ganda,
pada satu sisi Birokrasi atau elite birokrasi menjalankan tugasnya sudah di
pengaruhi oleh partai politik yang memerintah. Pada masa ini dalam sejarah
politik Indonesia dikenal dengan zaman demokrasi Parlementer atau Liberal.
Periode
1960-1965
Pengaruh elite birokrasi terhadap ranah politik secara langsung, pada periode
ini tidak seperti yang terjadi pada periode sebelumnya. Karena sistem
pemerintahan mengalami perubahan. Dimana perubahan tersebut dirasakan secara
langsung oleh seluruh struktur pemerintahan, termasuk institusi birokrasi dalam
melakukan perannya.
Pada periode ini dikenal dengan demokrasi terpimpin atau akhirnya demokrasi
parlementer liberal. Kekuasaan terpusat pada diri Presiden Soekarno.
Partai-partai politik di disederhanakan dalam bungkus Nasakom, dengan
dibubarkan parlemen hasil pemilu tahu 1955 sebagai konsekuensi dari dekrit
presiden 5 juli. Peran presiden sangat kuat dalam membentuk dan memimpin
pemerintahan. Dimana presiden sebagai kepala pemerintahan memimpin kabinet dan
tidak bertanggung jawab terhadap DPR. Menteri sebagai pembantu presiden dan
bertanggung jawab terhadap Presiden.
Pada periode ini, lembaga pemerintah semakin di incar oleh oleh partai
politik. Tiga kekuatan partai politik yang dibungkus dalam Nasakom berusaha
membagi kavling pengaruhnya di berbagai departemen pemerintah. Atau lebih
tetapnya lembaga pemerintah sudah mulai terperangkap jaring yang di pasang oleh
kekuatan politik Nasakom. Jadi sesungguhnya birokrasi menjadi kekuatan politik
yang bermain secara langsung dengan tersebar pada tiga ideologi politik
Nasakom.
Sebagai ringkasannya disini akan dibuat suatu tabel yang menggambarkan
hubungan birokrasi dan politik pada masa Orde Lama tersebut.
Masa
|
Ciri Khas Birokrasi
|
Orientasi Keberpihakan
|
Keterangan
|
|
Orde Lama
|
Belum atau tak terjadi kekompakan birokrasi sebab
politisasi birokrasi yang berwujud pengkavlingan departemen-departemen oleh
parta-partai politik. Misal, Depdagri dikavling oleh PNI, Depag oleh Partai
NU.
Politisasi terhadap birokrasi begitu dalam sehingga
promosi jabatan di berbagai departemen pada semua lingkungan ditentukan
terutama oleh loyalitas kepartaian anggota.
|
Aktornya adalah pegawai negeri yang lebih berpihak
kepada partai induknya.
Tampak gejala politisasi birokrasi oleh partai politik
yang kuat, posisi-posisi birokrasi banyak diisi oleh orang-orang yang
ditunjuk partai politik. Birokrasi cenderung pro partai, kader dan
pendukungnya.
|
Profesonalisme dan kinerja birokrasi orde lama tak
berjalan baik sebab semua organnya sendiri sudah menjadi partai politik.
Setiap departemen dikuasai partai politik tertentu yang
memiliki orientasi berbeda-beda.
|
|
Diadaptasi dari Forum
Keadilan, N0. 45, Februari 2002 : 17
Hubungan Birokrasi dengan politik pada masa
Orde Baru
Setelah
Orde Baru di kukuhkan dalam sidang MPRS yang berlangsung pada bulan Juni-Juli
1966. Pada zaman Orde Baru ini lah dikenal sebutan demokrasi pancasila.
sesungguhnya pancasila sangat kramat dan angker, siapapun baik secara induvidu
maupun secara organisasi (kelompok) diawasi dengan ketat oleh kekuatan negara
yang diwakili oleh ABRI dibawah pimpinan Presiden Soeharto. Jimly Asshiddiqie ,
Sejak awal Orede baru pemerintah menekankan stabilitas nasional dengan program
politiknya. Demi terwujudnya stabilitas nasional pemerintah, terlebih dahulu
membangun konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, pertama,
berwujud kebulatan tekat pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan UUD 1945
dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini juga disebut
konsensus utama. Kedua, komsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus
utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama.
Secara umum, elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan
konsensus-konsensus nasional antara lain pemerintah, TNI, dan beberapa
organisasi massa. Konsensus itu kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No
XX/1966. sejak itulah konsensus nasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat
bagi seluruh rakayat Indonesi. Beberapa hasil konsensus antara lain
penyederhanaan partai politik dan keikut sertaan TNI/POLRI dalam keanggotaan
DPR/MPR.
Dalam
hubungan Birokrasi dengan ranah politik kekuasan pada masa Orde Baru Secara
umum, wajah birokrasi masa Orde Baru dapat diidentifikasi dalam dua tipe: yaitu
sentralitas dan bersifat patrimonial. Birokrasi di jadikan sebagai alat yang
efektif untuk mengadapi pemerintahan daerah. Namun demikian, wajah birokrasi
yang sentralistik dan patrimonial, baik pada organisasi Pamong Praja ataupun
badan usaha milik Negara, bukalah monopoli Orde Baru, melainkan warisan
kelembagaan dari rejim sebelumnya. Kondisi ini disebabkan diantaranya oleh
proses rekrutmen kedalam jabatan pemerintahan dan realitas birokrasi sebagai
ajang konflik politik yang melahirkan patronase, sehingga menciptakan iklim
dimana manipulasi politik oleh pejabat pemerintah menjadi lumrah dan perlu
(Mohtar Mas’oed, 1989).
Seperti
dicatat Mahfud dari Muhaimin, sistem politik Orde Baru pada awalnya berusaha
mengembalikan birokrasi yang semrawut, tak bertanggung jawab ke arah birokrasi
yang efisien, jujur, akuntabilitas dan menghargai hukum. Namun menurut
Soedjatmoko, keinginan untuk membentuk pemerintahan modern, efisien dan kuat
telah memunculkan pemerintahan yang disebut Modernizing Bureaucratic State
(MBS), yang memperlihatkan semakin meluasnya peranan birokrasi di dalam negara.
Ada kecenderungan otoritarianisme dan sentralisasi dalam MBS sebagai ciri
kebudayaan politik negara patrimonial, dan ada persamaan yang jelas antara
makna “modern officialdome” dalam MBS dengan konsepsi kemasyarakatan
yang sangat hierarkis yang berada di dasar negara patrimonial pada masa lampau.
(Mahfud MD., 1993 : 112-113).
Pada tahun 1966 sampai 1998 lembaga pemerintah lebih memihak pada kekuatan
yang dominan. Semenjak kekuasaan Soeharto yang didukung oleh tiga kekuatan
penting antara lain Golkar, ABRI, dan Birokrasi sepremasi sipil yang
menempatkan kedaulatan rakayat tidak bernilai apa-apa. Hubungan birokrasi
pemerintah dengan kekuasaan politik justru telah membuat birokrasi sebagai
kepanjangan tangan kekuasaan yang lalu berubah menjadi mesin politik dalam
menghimpun dukungan politik pada masyarakat sama\pai pada tingkat desa,
sekalipun dengan cara yang penuh manipulatif dan bengis. Hal demikian didukung
oleh kebijakan monoloyalitas.
Berikut ini sebagai ringkasannya dapat dibuat suatu tabel yang
menggambarkan hubungan birokrasi dan politik di Indonesia pada masa Orde Baru
tersebut.
Masa
|
Ciri Khas Birokrasi
|
Orientasi Keberpihakan
|
Keterangan
|
Orde Baru
|
Tak jelas pemisahan antara jabatan politik dan jabatan
administratif. Di satu sisi ada ketentuan yang mengatur eselonisasi
jabatan-jabatan di bawah menteri, namun tradisi politik Orba memperlakukan
semua jabatan seakan jabatan politik.
Pegawai negeri dikenakan kewajiban monoloyalitas
terhadap Golkar.
Golkar menempatkan birokrasi pada jalur B sebagai satu
faksi di tubuhnya.
|
Aktornya adalah para menteri kabinet pembangunan,
pegawai sipil yang terhimpun dalam Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI).
Dalam Fraksi Karya Pembangunan (FKP) di DPR-RI, ada
faksi atau jalur B yaitu birokrasi.
|
Terjadi gejala :
Bureacraty polity, terjadi dominasi birokrat dan
militer dalam pembuatan kebijakan.
Birokratik patrimonial yaitu hubungan patron-klien
dalam birokrasi dan masyarakat.
Korporatisme negara, terjadi kooptasi organisasi
masyarakat.
|
Diadaptasi dari Forum
Keadilan, N0. 45, Februari 2002 : 17
KESIMPULAN
Dari
sekian pandangan dan analisis yang dikemukakan diatas. Hemat kami, bahwa
hubungan birokrasi dengan politik pada masa Orde Lama adalah hubungan yang
melibatkan diri sebagai salah satu kekuatan politik yang menyebar dari
faksi-faksi ideologi politik. Sehingga netralitas birokrasi tidak terjaga
terhadap kepentingan politik elite-elite politik yang kebanyakan tergabung
dalam partai politik. Singkatnya birokrasi merupakan alat politik bagi partai
politik dalam mempertahankan kekuasaan dan mencari dukungan. Sehingga
netralitas sebagai pelayan masyarakat menjadi sulit dilakukan karena birokrasi
terkotak-kotak oleh kepentingan politik yang ada. Sekalipun pada masa awal
pemerintahan ini keterlibatan birokrasi belum terlalu nampak, namun bukan
berarti birokrasi tidak terlibat dengan partai-partai politik.
Sedangkan
hubungan Birokrasi dengan politik pada pemerintahan Orde Baru yang terbaca
adalah bahwa birokrasi dan ABRI di rangkul menjadi modal politik yang efektif.
Keberpihakan dan keterlibatan Birokrasi pada ranah politik untuk mendukung
salah satu kekuatan politik yang berkuasa adalah Golkar menjadi sulit dihindari
pada Orde Baru, hal ini dipengaruhi oleh struktur dalam departem-departemen
pada awalnya hampir ditempati oleh orang-orang Militer. Pemerintah Orde Baru
dengan kebijakan monoloyalitas dan kebijakan lainnya mengharuskan Birokrasi
untuk menjadi mesin politik kekuasaan yang efektif. Terbukti dari pemilu ke
pemilu, politik penyeragaman ideologi mengharuskan unutk mencoblos Golkar,
sehingga banyak orang mengatakan pemerintahan Orde Baru merupakan pemerintahan
birokrasi atau negara birokrasi.
Perbedaan keterlibatan birokrasi pada zaman
Orde Lama dan Orde Baru dalam politik yang paling mencolok adalah dimana masa
Orla keterlibatan politik birokrasi menyebar dari berbagai kepentingan politik.
Hanya saja pada masa Orde Baru keterlibatan birokrasi tidak menyebar ke
barbagai kekuatan politik, seperti partai-partai politik. Sepenuhnya merapat
pada kekuatan Golkar yang pada masa ini belum menjadi partai politik, dan
keberadaan birokrasi pada zaman itu benar-benar mempengaruhi rotasi
kepemimpinan nasional dan perpolitikan.
.
Kedudukan
Birokrasi terhadap partai politik semenjak Presiden Soeharto tidak bisa
dikatakan netral. Walaupun Golkar yang menguasai pemerintahan saat itu bukanlah
“partai politik”, akan tetapi birokrasi pemerintah tidak bisa netral dari
kekuatan politik. Semua posisi dan jabatan birokrasi terkooptasi dan memihak
pada Golkar. Cara seperti ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan jaman
pemerintahan Presiden Soekarno yang memberikan akses kepada tiga kekuatan
politik Naskom untuk mengkavling birokrasi departemen pemerintah.
Keterkaitan birokrasi dengan politik memang tidak dapat dihindari. Pada
kenyataannya, birokrasi tidak pernah beroperasi dalam ”ruang hampa politik” dan
bukan aktor netral. Di samping itu birokrasi pada negara-negara berkembang
tidak bisa lepas dari pengaruh sistem internasional. Hal ini menempatkan
birokrasi tidak bisa hanya sebagai alat
penerapan kebijaksanaan publik yang netral. Jalan pikiran ini mengharuskan
pemikiran kembali ke pemahaman mengenai birokrasi, yang selama ini didasarkan
pada konseptualisasi Weberian, dan mencari kerangka berpikir alternatif yang bisa lebih tepat mendeskripsikan dan
menjelaskan fenomena birokrasi di masyarakat dunia ketiga seperti Indonesia.
Daftar Pustaka
Agus
D., et.al., Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, UGM Press, 2006
Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju
Demokrasi. Pustaka Pelajar, yogyakarta. 2006,
A. Salim, Perubahan Sosial, Tiara Wacana,
Yogyakarta, 2002
Alfian,
Masalah dan Prospek Pembangunan Politik di Indonesia, Gramedia, Jakarta,
1990
Anthony Giddens, Kapitalisme dan
Teori Sosial Modern, 1986
Moh.
Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
1993
B.
Setiono, Jaring Birokrasi Tinjauan dari Aspek Politik dan Administrasi,
Gugus Press, Bekasi, 2002
Budi
Winarno, Globalisasi Peluang atau Ancaman bagi Indonesia, Erlangga,
Surabaya, 2008
Begi Hersutanto, Menata Birokrasi, Memangkas Korupsi, CSIS Jakarta,
2007
F. Putra & S. Arif, Kapitalisme Birokrasi,
LkiS, Yogyakarta, 2001
Jimly
Asshiddiqie. Kebebasan Berserikat, pembubaran Partai politik, dan Mahkama
Konstitusi. Diterbitkan oleh sekteriatan Jenderal dan Kepanitraan Mahkama
Konstitusi RI. 2005. jakarta. Hal 189-190.
Lance
Castles, et.al., Birokrasi, Kepemimpinan dan Revolusi Sosial, Hapsara,
Surakarta, 1983
Miftah
Thoha. Birokrasi dan Politik Indonesia. PT. RajaGrafindo Persada.
Jakarta. 2003
Martin Albrow, Birokrasi, Tiara Wacana,
Yogyakarta, 2005
Mohtar Mas’oed, Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2003
P.M.
Blau & M.W. Meyer, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Prestasi
Pustakaraya, Jakarta, 2000
Syafuan Rozi, Model Reformasi Birokrasi Indonesia. LIPI
Jakarta, 2000
Syaiful Arif, Reformasi Perilaku
Birokrasi, Jawa Pos 20 April 2008
Majalah Forum Keadilan, No. 24 Februari 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar