Rabu, 22 Februari 2012

KEKUASAAN ADALAH CANDU...?

Kekuatan kapitalis benar-benar telah merasuki cara kerja sebuah sistem kehidupan bernegara-bagsa kita setelah perang dunia ke dua sampai hari ini. D.H Lawrence[1] telah menyimpulkan perbedaan sistem demokrasi konstitusional dan model sistem oligarki. Bagi Lawrence bukan persoalan republik atau kerajaan, tapi soal siapa yang dapat menguasainya?. tesisnya adalah “jika seseorang memiliki kemampuan menghasilkan uang, pada akhirnya dia memerintah republik, baginya bentuk negara modern tak lebih dari negara komersial”.
Kekuatan dahsyat korporatokrasi (institusi keuangan internasional, dan pemerintah yang menyatukan kekuatan uang dalam politik) inilah yang disebut oleh Michael Hardt dan Negri[2] (2000) dalam Magnum Opus-nya, menyebut empire (kekaisaran). keduanya menggambarkan wujud baru kedaulatan atau format baru kekuasaan politik ditengah globalisasi. Kedaulatan Negara-bangsa (nation state) tetap penting tetapi mengalami kemerosotan drastis. Lanjutnya kemerosotan ini dalam konteks terbentuknya kedaulatan dalam wajah baru, yang terdiri dari seperangkat organisme nasional dan supranasional yang menyatu dibawa logika peraturantuggal secara global. Rupa baru itulah yang disebutnya Empire.
Paloto[3] dalam pandangan Yunani awal mengenai dekadensi manusia ditunjukkan pada perubahan wataknya yang semakin hari semakin rendah, dari kecintaan pada kebenaran (pada diri filosof), turun kepada kecintaan status (para kasatria), kemudian melorot pada kecintaan akan harta (para plutokrat), dan terakhir adalah kecintaan pada segala keinginan pada syahwatinya (para demokrat). Dalam hal ini lanjut Plato sistem sosial-politik demokrasi dalam pengertian modern sebagai penggerak bentuk negara fiskal dalam menunjukkan watak manusia materialistik hedonis tersebut. Zaim Saidi[4]. Sosok manusia modern seperti itu adalah sosok manusia berwatak terendah, materialistik dan hedonistik, yang diakomodasikan dengan nyaman dalam kapitalisme modern.

Runtuhnya basis legitimasi Rezim Orde Baru 12 Mei 1998 yang lalu mencengangkan cukup banyak pihak, yaitu munculnya kembali fenomena multi partai yang selama ini telah terkubur dibwah reruntuhan Orde Lama dan Orde Baru. Ledakan-ledakan partisipasi rakyat luas dengan cepat mengubah rasa frustasi dan dendam terhadap rezim Soeharto di seluruh bidang. Kebijakan Presiden Habibie mengubah format politik Indonesia dari sistem partai dominan kesistem multi partai yang di ikuti oleh regulasi-regulasi baru seperti Undang-undang No 31 tahun 2002 tentang partai politik. Di satu sisi, ia mendorong kembali semangat politik yang nyaris padam akibat kebijakan monoloyalitas, deideologisasi, penyeragaman yang di personifikasi oleh Soeharto. Namun, di sisi lain eforia kebebasan menyalurkan naluri politik masyarakat juga menumbuhkan persoalan baru yang cukup tidak diantisipasi oleh para politisi-politisi baru (kader partai yang mendadak jadi elit politik).
Narasi besar dalam konsepsi politik di abad modern yang paling banyak dibicarakan dan dipraktekkan pada kalangan luas adalah mahluk yang bernama demokrasi. Konon warisan bangsa Yunani dan Romawi yang hidup pada 500 tahun SM itu begitu mulai menghipnotis negara-negara Dunia ketiga setelah perang Dunia ke II berakhir. Seiring dengan perubahan mutakhir di abad modern (abad 21) sekarang, bangsa indonesia tidak ketinggalan dari sugestikasi mazhab tersebut.
Terlepas dari sejarah awal istila demokrasi diperkenal oleh Plato dan Aristoteles dengan pandangan sinisnya, namun hari ini telah menjadi sebuah konsensus bersama sebagai konsepsi politik yang harus ditegakkan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang difirmankan dalam UUD 1945 sebagai hukum tertinggi negara ini. Walaupun, pada sisi lain masih ada sebagian masyarakat kita kurang bahkan dalam pemikiran yang ekstrim tidak sepakat dengan konsep demokrasi, tetapi ruang demokrasi tidak mengharamkan kebebasan individu itu. Salah satu yang mempengaruhi resistensi terhadap konsep sekuler tersebut diakibatkan oleh benturan dengan budaya dan keyakinan yang melekat pada domain egosetrisme trasedental masyarakat kita dan masih kentalnya budaya feodalisme. Kar Max menolak konsep demokrasi karena keberadaan negara adalah untuk mengeksploitasi buruh, baginya masyarakat tampa kelas dan masyarakat tampa negara merupakan sesuatu yang mutlak, untuk mencipatakan itu dilakukan dengan revolusi total oleh kaum proletariat. Sungguh itu di anggap sebagai pemikiran utopis. Jadi, dalam kehidupan bermasyarakat secara alamiah kebutuhan untuk mengatur kehidupan masyarakat di perlukan institusi yang bernama negara, dan dalam negara pasti dibutuhakan kekuasaan politik untuk mengaturnya.  
Demokrasi liberal yang di komandangkan sebagai sistem yang berpihak pada rakyat adalah proyek Amerika untuk Menyihir rakyat dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Sehingga demokrasi untuk rakyat akan disakralisasikan menjadi mitos dari cerita abad madern. Samuel Huntington (1995), berdalih bahwa demokrasi adalah menjadi isu global yang telah melanda hampir seluruh plosok Dunia. Fukumaya bersabda Demokrasi menjadi masalah kemanusiaan sejagad. Demokrasi adalah pilar pradaban. Munafrizal Manan (2005) bernyanyi, Dalam pasar politik internasional demokrasi telah menjadi ”barang” politik paling laris. Diskursus demokrasi telah mengglobal dan menyebar ke pelosok Dunia dengan kecepatan fantastis.
Aksioma politik ditengah ledakan keras transisi demokrasi bangsa ini menjadi sulit dibantah bahwa generalisasi stigma Dunia politik oleh sebiagian banyak masyarakat yang apriori, antipati, disinyalir akibat Akrobatik politik yang ditampilkan oleh para elite-elite politik selama era transisi diyakini banyak orang berkisar sebagi motif memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan semata yang diperankan kelompok kepentingan politik yaitu partai politik. Proses sirkulasi dan rotasi kekuasaan misalnya, hanya melahirkan penguasa-pengusa hasil dari pada perselingkuhan kapital melalui cokung-cokungnya dengan menumpangi kendaraan Pemilu, dan Pilkada sebagai azas legitimasi konstitusional. Sehingga melahirkan pemimpin-pemimpin karbitan, disulap, dikemasn dengan bagus dalam waktu yang cukup singgkat dengan media informasi melalui setting publikasi yang canggih (marketing politic). Sesungguhnya itu adalah rekayasa dan ilusi.
Nasib demokrasi di pertaruhkan. Ada banyak orang yang berpendapat, untuk membangun demokrasi yang sehat diperlukan iklim yang seimbang anatara pemerintah (state), swasta (market), masyarakat (civil society). Dimana tiga kekuatan ini dalam sebuah komunitas (Negara) bersinergis antara satu dengan yang lain. Apa bila pemerintah atau Negara menguasai market dan civil society maka kekuatan Negara cenderung otoriter, dan bila civil society menguasai State dan market maka tatanan sosial akan chaos, dan bila kekuatan market menguasai state dan civil society, maka kekuatan uang menjadi penentu segalanya. Ketiga domain tersebut diatas juga sebagai pilar dari pada Good governance. State, market dan civil society adalah sebenarnya memiliki logika hukum tersendiri dan tidak bisa dicampur adukan atau ingi disamakan antara satu sama lain, namun ketiga domain tersebut berjalan saling mengisi atara satu dengan yang lain (sinergisitas). Bila iklim demikian gagal kita ciptakan, maka kemudian demokrasi akan berjalan tertatih-tatih dan kemugkinan akan terjadi tragedi demokrasi.
Partai politik sebagai organisasi politik yang inheren dengan kekuasaan negara. Keberadaan dan posisinya yang begitu strategis pada sebuah negara yang menganut sistem demokrasi membuat partai politik sulit dilupakan dalam perpolitikan sebuah negara, dibandingkan dengan organisasi lain yang tidak memiliki legal rasional untuk terlibat dalam akrobat politik yang sah secara konstitusional dalam merebut dan mempertahankan kekuasaa. Jadi, partai politik sulit lepas diri dalam mempengaruhi alur cerita tentang kegagalan dan keberhasilan sebuah negara. 
Namun, sesungguhnya Ketika kekuasaan telah bermetamorfosis menjadi ”malaikat” yang mampu menyulap, melabrak kerinduan-kerinduan akan sesuatu yang mustahil di lakukan secara etis, maka pada saat itulah gerombolan cukong-cukong dan bankir kekuasan bergentayangan (Baca kurupsi partai). Cukong kekuasaan itu kemudian melegitimasi diri dengan berjubah sebagai kaum intelektual, politisi, kaum demokrat, baik yang tergabung pada organisasi kemahasiswaan, LSM, ormas, dan lebih-lebih partai politik. Namun, sesungguhnya mereka itu adalah darakula-drakula berwajah manusia yang didesain oleh arsitek agung dari kekuatan kapitalisme Barat. Maka sejak itulah kekuasaan menjadi ”berhala” bagi manusia abad modern dan kini kekuasaan politik ibarat candu bagi manusia.
Partai politik sebagai organisasi modern yang malang melintang berkiprah pada samudra kekuasaan politik, baik kekuasaan di pusat maupun di daerah, menjadi bagian yang sulit untuk di pisahkan dalam mendistrubusikan kader terbaiknya dalam mengisi struktur kekuasaan politik (negara). Potret suram partai politik selama perjalanan bangsa Indonesia, tidak terkecuali partai ber-azaskan agama, demokrasi Liberal, nasionalisme, sosialisme dan lain-lain sebagai ideologi perjuangannya. Partai politik telah menjadikan diri sebagai alat untuk memuaskan libido kekuasaan bagi kaum-kaum komparador yang memuja kesenangan dengan menciptakan rakyat meringkuk tidak berdaya, lemah mudah diperdaya, lesuh mudah di tindas. Karena kalau rakyat kuat, baik secara ekonomi, pendidikan, budaya, maka mereka mengalami kesulitan untuk menyalurkan hasrat-hasrat kerakusan duniawi yang kebablasan. Benarkah mereka itu para predator-predator negara indonesia?.
Melihat fenomena patai politik kekinian cukup mencengangkan bagi publik, praktek korupsi seolah menjadi lumrah ketika berkuasa. fenomena tersebut terkadang membenarkan tesis Kar Marx yang mengatakan bahwa ”uang adalah pelacur universal”. Ketika kapitalisme menumbuhkan bahwa gerakan ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada ”persaingan pasar” maka eksploitasi gila-gilaan itu tidak bisa dihindari. Bukan alam, bukan manusia yang mengendalikan kebutuhan manusia. Pasar-lah mengendalikan manusia. Lewat korporasi-korporasi raksasa seperti Bank Dunia, WTO, IMF. Mantra rekonsiliasi, penjajahan, dan penindasan, disandungkan. Eric Fromm merintih ”kini manusia tidak berkutik dihadapan berhala materialisme, kediktatoran uang, anomistis, dan perbudakan. Materialisme fundamentalistis telah menjebak manusia kedalam belenggu alienasi (kesunyian, keterasingan manusia dari tuhan, sesama manusia, dan dari lingkungan), dan sinisme. Disinilah kegagalan kapitalisme katanya Anthony Giddens. Karena terlalu yakin bahwa orang mampu mengendalikan Dunia hanya dengan memandang dunia sebagai hamparan padang pasar yang luas dengan janji-janji kudus demokratisasi dan keadilan sosial. Lalu, Siapakah yang bertanggung jawab atas itu?. Milton Friedman bernyanyi, kapitalisme seharusnya bertanggungjawab karena turut aktif melahirkan hampir semua pemerintahan represif di Dunia ketiga. Ketika materialisme menjadi berhala maka prgmatisme berpolitik menjadi nyata” Parkara berburu kekuasaan atau memperbanyak kekayaan menjadikan manusia bersedia untuk menjadi pelacur bagi kepentingan nafsu sesaat oleh kekuatan uang dan tahta. Kekuatan uang bisa menciptakan negara tidak berdaya bahkan menjadi kacung di negeri sendiri, namun juga sebaliknya. Seperti negara indonesia sejak jaman kolonialismen dan pendudukan Jepang sampai hari ini menjadi ”kacung dinegeri sendiri”. Independensi, kemerdekaan, kedaulatan, baik kedaulatan ekonomi, politik, hukum di robek habis oleh pengaruh utang luar negeri yang diwarisi oleh Soeharto. Kesalahan atas utang terhadap imperialis Amerika Serikat sebenarnya awal dari pelemparan ranjau-ranjau dalam perang model baru bagi bangsa Indonesia. Konsensinya jelas bagi mereka yaitu bertujuan mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan dari negara yang mudah dikadali seperti negara kita tercintai ini.
Ketika kekuatan uang menjadi ”berhala” bagi setiap manusia yang tidak berkesadaran kritis, namun hanya kesadaran naif dan kesadaran mistik. Maka uang juga menjadi berhala bagi partai –partai politik di indonesia pasca runtuhnya Orde Baru. Dan Ketika semua elite-elite politik dan masyarakat luas menjadikan kekuasaan sebagai berhala untuk disembah, dan mendapatkan itu, maka pada saat itulah "kekuasaan menjadi candu bagi manusia". Semua orang ingin menanamkan pengaruhnya pada orang lain, baik pada level kominitas keluarga maupun pada organisasi Dunia seperti negara. Berbagaimacam cara mereka lakukan untuk mendapatkan kekuasaan. Akibat dari mazhab ini sehingga terbentuklah ”mental jelangkung” yang sering dipertontongkan anggota legislatif dan eksekutif ketika membuat sebuah regulasi. Jelangkung itu kalau tidak diberi sesajen tidak keluar. Untuk meloloskan pasal-pasal dari UU harus ada sesajen (uang). Mental sesajen yang mengidap anggota dewan kita selama sepuluh tahun reformasi berjalan membuat rakyat begitu apatis terhadap lembaga DPR ketika membahas sebua UU. Aspirasi rakyat tidak diperhatikan justru siapa yang berkepentingan dan memiliki uang yang diperhatikan. Pada mental demikian membuat merajalelanya “politik pengusaha”. Artinya hanya mengakomodir kepentingan para pengusaha. Tentu hanya menguntungkan kelompok mereka dan merugikan kepentingan nasional (rakyat). Itulah yang disebut pengusaha politik atau politik pengusaha.
Bagaimana partai politik sebagai organisasi yang selalu bersinggungan dengan kekuasaan politik. Baik berbicara dalam konteks mencari atau merebut kekuasaa politik serta menjalankan kekuasaan politik yang diperolehnyanya?. Menilik fenomena partai politik kekinian atau selama era reformasi berjalan, sesungguhnya sugestikasi konsepsi politik dewasa ini yang diperankan politisi partai politik adalah identik dengan merebut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan, baik secara konstitusional manupun non kostitusional. Etape kiprah partai politik kontemporer tersebut pada tataran pertarungan gagasan alternatif dan politik praktisnya tentang konstribusi riil sebgai bentuk tanggung jawab dari persoalan-persoalan bagsa yang semakin hari semakin kehilangan arah tujuannya, namun sungguh tragis memperihatinkan keberadaan partai politik yang telah menjelmakan diri sebagai kekuatan baru di alam demokrasi ini, yaitu dimana rakyat dijadikan komoditas pasar yang menjanjikan fulusiologis (kapital). Paket Demokrasi yang diperjuangkan melalui gerbang reformasi 1998 yang melahirkan liberalisasi politik dan ekonomi memberikan angin segar bagi terciptanya kedaulatan rakyat, justru bermetamorfosis menjadi demokrazy yang menghalalkan darah dan keringat rakyat untuk dihisap. Hambar dan menakutkan manusia kalau itu terjadi dalam bentuk kejahatan kriminal, membunuh dengan menggorok lehernya, menembak kepalanya dan sejenis. Hanya saja kejahatan partai politik dan politisi kita terhadap rakyat tidak dalam konteks kejahatan kriminal. Kejahatan kriminal berakibat pada pelaku dan korban saja. Kejahatan partai politik dan politisi atau disebut dengan ”kejahatan politik”, lebih sadis dan angker kadar kerusakannya. Karena semua lini kehidupan akan menjadi rusak, tidak teratur. Baik sistem polik yang berlaku, ekonomi, budaya sebuah bangsa-negara ditaruhkan dalam waktu yang lama. Misalnya, manipulasi partisipasi politik rakyat ketika Pemilu, Pilkada, dengan kekuatan kapital maka akan melahirkan pemimpin politik yang menerapkan ”politik pengembalian modal” dan pemimpin karbitan.
Pengaruh logika kapilisme dalam pembagunan partai politik praktis dewasa ini buka merupakan isapan jempol belaka. Keberadaan partai politik dalam sebuah Negara yang menganut sistem demokrasi sekalipun, seperti Indonesia. Cara politik partai dengan mengandalkan kekuatan kapital untuk merebut legitimasi rakyat untuk berkuasa. Keberadaan partai politik seperti itulah memberikan peluang yang bersifat arogansi, dominasi dan hegemoni dalam sistem politik. Itulah yang disebut oleh penulis sebuah “keangkeran demokrasi” yang menjelmakan diri menjadikan kediktatoran demokrasi. Jadi kesesatan demokrasi itu membuat iklim demokrasi yang ingin di ciptakan justru kematian demokrasi yang kita dapatkan. Nah, Bagaimana bentuk kediktatoran demokrasi dalam sistem demokrasi kita?. Pada buku ini juga penulis mencoba menguraikan kediktatoran demokrasi pada kehidupan bernegara.
Partai politik sebagai simbol dari kekuatan lembaga supremasi sipil semakin absur identitasnya. Dewasan ini Partai politik yang selalu mengejar kekuasaan membuat lembaga ini begitu mudah melupakan cita-cita, ideologi, fungsinya dan konstituen yang telah melahirkan dan membesarkannya. Kalau kemudia Nafsu dan ambisi manusia didalam partai politik melabrak atauran hukum dan etika serta budaya. Maka, Nafsu dan ambisi itu akan menjadi “nafsu dan ambisi para setan” yang setiap saat menghantui upaya-upaya serius kelompok lain yang mengiginkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih beradab. Tepat kita katakan untuk mendiskripsikan partai politik hari ini, “tidak ada yang bisa dicapai tanpa berbohong dan tampa politik uang”. Kekuasaan hanya bisa diraih dan dipertahankan dengan cara yang tak lazim. Kekuasaan bukan dari rakyat tapi dari kebohongan yang terencanan dengan sistematis. Mungkin ini yang dimaksud oleh Julian Bella adalah penghianatan kaum intelektual. Terlepas dari itu, setidaknya itulah realitas perpolitikan partai politik di indonesia dewasa ini, yang dimanifestasi oleh kiprah para keder partai yang duduk di eksekutif dan legislatif.
Idealisme partai politik yang menghendaki partai politik berperan sebagai lokomotif dalam perubahan sosial-politik, idelaisme itu akan di bantahkan oleh prilaku elit partai politik yang lebih menjadikan partai politik sebagai saranan mencapai kekuasaan semata. Kondisi inilah yang dirasakan publik terkait dengan sepak terjang partai politik ditengah kemelut yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Namun, kemudian partai politik dibentuk untuk meraih kekuasaan, tidak dengan cara tampa aturan. Atauran akan menjadi prematur dan ambigu bila partai politik sebagai pilar demokrasi yang menjunjung tinggi aturan dan sportifitas, kemudian tidak di indahkan dalam bentuk nyata (buka retorika). Selain dari pada itu, ada etika politik yang mengikat partai politik secara internal dan secara eksternal. Secara internal, langkah partai politik terikat pada ideologi yang menentukan visi dan misi sebuah partai. Sedangkan secara eksternal, tujuan partai selalu diikatkan dengan konstituen dan masyarakat lewat program-program yang ditawarkannya pada kampaye pemilu dan pilkada. Karena itu-lah keselarasan idealisme partai politik dengan aspirasi konstituennya terefleksikan dalam program partai yang dibuat sebagai tuntunan tertulis untuk menggapai cita-cita bersama.
Ada beberapa hal, kenapa koflik menjadi bola liar dalam partai-partai politik yang kemudian menjadi api bara yang tidak bisa di kendalikan antara lain; Pertama, tabrakan misi elit politik partai yang cukup keras, sehingga elit politik partai terfragmentasi dalam faksi-faksi yang tidak sehat. Kedua, elit partai-partai politik cenderung menerapkan politik “berburu kekuasaan” dengan cara saling mendepak yang lain. Sehingga muncul faksi-faksi yang saling mengadu kekuatan sesuai dengan cara masing-masing faksi tersebut. Ketiga, Perbedaan sebagai esensi demokrasi tidak dijadikan sebagai Rahmatan Lil Alamin atau dijadikan kekuatan yang saling melengkapi, justru perbedaan di pahami sebagai musuh yang harus dihanguskan. Keempat, kesadaran yang hakiki tidak dimiliki, kalaupun ada sangat tipis lebih didominasi oleh ego dan naluri politik yang memiliki pretensi ”saya harus dan bukan dia/mereka berkuasa” tampa pertimbangan kesiapan diri secara mental, spritualitas, intelektualitas dan pengalaman. Kelima, masih kentalnya ideologi mereka sebelum bergabung dalam wadah partai politik yang sama. Sehingga adaptasi dan berbaur dengan anggota lain menjadi sulit diterapkan. Hal ini juga bisa dikatakan tidak berjalanya doktrin partai yang bersangkutan.
Keenam, dari kelima poin diatas bisa dikatakan sebagai kegagalan proses kaderisasi dan pendidikan politik partai politik. Bila, Kaderisasi tidak berjalan dan pendidikan politik sukar diterapkan dengan baik maka akan menjadi partai politik yang tidak ubahnya kumpulan individu-individu atau kelompok manusia tampa cahaya bintang. Caya bintan di sini dimaknai sebagai pencerahan yang mapan pada kader partai dan siap secara kualitas serta memiliki ahlaq yang tebal, tidak bisa di perdaya oleh kekuatan yang secara terang-terangan melenceng dari tujuan berbangsa dan bernegara yang dicita-citakan UUD 45 dan Pancasila.
Setidaknya itu menurut penulis menjadikan partai politik pada persoalan internal partai PPP dan PDI pada Era Orde Baru dalam membangun partai yang kuat yaitu partai yang menjadi pilihan rakyat. Kegagalan itu Karena tidak berjalannya fungsi dan peran partai politik yang implementatif yaitu bermanfaat bagi partai politik itu sendiri dan rakyat secara nyata atau partai politik dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Disamping dengan adanya kebijakan pemerintah yang tidak mendukung kiprah PDI dan PPP melalui kebijakan Mono loyalitas dan politik massa mengambang dan Politik penyeragaman atau pensucian ideologi pada saat itu.
Proses perekrutan kader (anggota) dalam partai politik sesungguhnya harus diperhatikan secara serius oleh para politisi dan akademisi untuk menemukan formula yang mendukung terciptanya manusia yang memiliki tanggungjawab secara universal. Tanggung jawab secara universal adalah memiliki integritas personal, kapabilitas, akuntabilitas, intelektualitas, jiwa kepemimpinan. Agar tidak lagi munculnya Para politisi “Tukang Becak?, robot politik, politisi broker, pemimpin karbitan, dan politisi yang menjadikan berhala bagi kekuasaan”.
Politik pegabdian-lah menjadi salah satuh pel penawar untuk mencegah politik pragmatis partai politik beserta kader-kadernya. Politik pengabdian harus menjadi syarat yang mutlak bagi politisi-politisi yang memilki keinginan duduk di eksekutif dan legislative, serta lembaga-lembaga politik lainya. Siapakah yang melakukan distribusi kader yang memilki jiwa pengabdian itu?. Dalam sistem politik di indonesia adalah partai politik. Dan apakah partai bisa melakukan itu?. Bisa, asalkan partai politik secara organisasi memaknai keberadaannya sebagai organisasi politik yang mengabdi pada kepentingan rakyat. Bukan segerombolan para politisi yang memiliki kepentingan terselubung.




[1] D.H Lawrence. Dalam Zaim Saidi. Ilusi Demokrasi. Kritik dan Otokritik Islam. Menyongsong Kembalinya Tata Kehidupan Menurut Amal Madinah. Republika. Jakarta selatan. 2007.  Hal 15.
[2] Lihat Arianto Sangaji dalam opininya yang berjudul “Kekaisaran” pada harian Kompas, edisi jumat 18 Juli 2008. 
[3] Zaim Saidi. Ilusi Demokrasi. Kritik dan Otokritik Islam. Menyongsong Kembalinya Tata Kehidupan Menurut Amal Madinah. Republika. Jakarta selatan. 2007. hal 16
[4] Lihat Zain Saidi. Hal 16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar