
Kekuatan dahsyat korporatokrasi (institusi keuangan internasional, dan
pemerintah yang menyatukan kekuatan uang dalam politik) inilah yang disebut
oleh Michael Hardt dan Negri[2] (2000)
dalam Magnum Opus-nya, menyebut empire (kekaisaran). keduanya
menggambarkan wujud baru kedaulatan atau format baru kekuasaan politik ditengah
globalisasi. Kedaulatan Negara-bangsa (nation state) tetap penting
tetapi mengalami kemerosotan drastis. Lanjutnya kemerosotan ini dalam konteks
terbentuknya kedaulatan dalam wajah baru, yang terdiri dari seperangkat
organisme nasional dan supranasional yang menyatu dibawa logika peraturantuggal
secara global. Rupa baru itulah yang disebutnya Empire.
Paloto[3] dalam
pandangan Yunani awal mengenai dekadensi manusia ditunjukkan pada perubahan
wataknya yang semakin hari semakin rendah, dari kecintaan pada kebenaran (pada
diri filosof), turun kepada kecintaan status (para kasatria), kemudian melorot
pada kecintaan akan harta (para plutokrat), dan terakhir adalah kecintaan pada
segala keinginan pada syahwatinya (para demokrat). Dalam hal ini lanjut Plato
sistem sosial-politik demokrasi dalam pengertian modern sebagai penggerak
bentuk negara fiskal dalam menunjukkan watak manusia materialistik hedonis
tersebut. Zaim Saidi[4]. Sosok
manusia modern seperti itu adalah sosok manusia berwatak terendah,
materialistik dan hedonistik, yang diakomodasikan dengan nyaman dalam
kapitalisme modern.
Runtuhnya basis legitimasi Rezim Orde Baru 12 Mei 1998 yang lalu
mencengangkan cukup banyak pihak, yaitu munculnya kembali fenomena multi partai
yang selama ini telah terkubur dibwah reruntuhan Orde Lama dan Orde Baru.
Ledakan-ledakan partisipasi rakyat luas dengan cepat mengubah rasa frustasi dan
dendam terhadap rezim Soeharto di seluruh bidang. Kebijakan Presiden Habibie
mengubah format politik Indonesia dari sistem partai dominan kesistem multi
partai yang di ikuti oleh regulasi-regulasi baru seperti Undang-undang No 31
tahun 2002 tentang partai politik. Di satu sisi, ia mendorong kembali semangat
politik yang nyaris padam akibat kebijakan monoloyalitas, deideologisasi,
penyeragaman yang di personifikasi oleh Soeharto. Namun, di sisi lain eforia
kebebasan menyalurkan naluri politik masyarakat juga menumbuhkan persoalan baru
yang cukup tidak diantisipasi oleh para politisi-politisi baru (kader partai
yang mendadak jadi elit politik).
Narasi besar dalam konsepsi politik di abad modern yang paling banyak
dibicarakan dan dipraktekkan pada kalangan luas adalah mahluk yang bernama
demokrasi. Konon warisan bangsa Yunani dan Romawi yang hidup pada 500 tahun SM
itu begitu mulai menghipnotis negara-negara Dunia ketiga setelah perang Dunia
ke II berakhir. Seiring dengan perubahan mutakhir di abad modern (abad 21)
sekarang, bangsa indonesia tidak ketinggalan dari sugestikasi mazhab tersebut.
Terlepas dari sejarah awal istila demokrasi diperkenal oleh Plato dan
Aristoteles dengan pandangan sinisnya, namun hari ini telah menjadi sebuah
konsensus bersama sebagai konsepsi politik yang harus ditegakkan dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang difirmankan dalam UUD 1945 sebagai
hukum tertinggi negara ini. Walaupun, pada sisi lain masih ada sebagian
masyarakat kita kurang bahkan dalam pemikiran yang ekstrim tidak sepakat dengan
konsep demokrasi, tetapi ruang demokrasi tidak mengharamkan kebebasan individu
itu. Salah satu yang mempengaruhi resistensi terhadap konsep sekuler tersebut
diakibatkan oleh benturan dengan budaya dan keyakinan yang melekat pada domain
egosetrisme trasedental masyarakat kita dan masih kentalnya budaya feodalisme.
Kar Max menolak konsep demokrasi karena keberadaan negara adalah untuk
mengeksploitasi buruh, baginya masyarakat tampa kelas dan masyarakat tampa
negara merupakan sesuatu yang mutlak, untuk mencipatakan itu dilakukan dengan
revolusi total oleh kaum proletariat. Sungguh itu di anggap sebagai pemikiran
utopis. Jadi, dalam kehidupan bermasyarakat secara alamiah kebutuhan untuk
mengatur kehidupan masyarakat di perlukan institusi yang bernama negara, dan
dalam negara pasti dibutuhakan kekuasaan politik untuk mengaturnya.
Demokrasi liberal yang di komandangkan sebagai sistem yang berpihak pada
rakyat adalah proyek Amerika untuk Menyihir rakyat dari negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia. Sehingga demokrasi untuk rakyat akan
disakralisasikan menjadi mitos dari cerita abad madern. Samuel Huntington
(1995), berdalih bahwa demokrasi adalah menjadi isu global yang telah melanda
hampir seluruh plosok Dunia. Fukumaya bersabda Demokrasi menjadi masalah
kemanusiaan sejagad. Demokrasi adalah pilar pradaban. Munafrizal Manan (2005)
bernyanyi, Dalam pasar politik internasional demokrasi telah menjadi ”barang”
politik paling laris. Diskursus demokrasi telah mengglobal dan menyebar ke
pelosok Dunia dengan kecepatan fantastis.
Aksioma politik ditengah ledakan keras transisi demokrasi bangsa ini
menjadi sulit dibantah bahwa generalisasi stigma Dunia politik oleh sebiagian
banyak masyarakat yang apriori, antipati, disinyalir akibat Akrobatik politik
yang ditampilkan oleh para elite-elite politik selama era transisi diyakini
banyak orang berkisar sebagi motif memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan semata
yang diperankan kelompok kepentingan politik yaitu partai politik. Proses
sirkulasi dan rotasi kekuasaan misalnya, hanya melahirkan penguasa-pengusa
hasil dari pada perselingkuhan kapital melalui cokung-cokungnya dengan
menumpangi kendaraan Pemilu, dan Pilkada sebagai azas legitimasi
konstitusional. Sehingga melahirkan pemimpin-pemimpin karbitan, disulap,
dikemasn dengan bagus dalam waktu yang cukup singgkat dengan media informasi
melalui setting publikasi yang canggih (marketing politic). Sesungguhnya itu adalah rekayasa dan
ilusi.
Nasib demokrasi di pertaruhkan. Ada banyak orang yang berpendapat, untuk
membangun demokrasi yang sehat diperlukan iklim yang seimbang anatara
pemerintah (state), swasta (market), masyarakat (civil
society). Dimana tiga kekuatan ini dalam sebuah komunitas (Negara)
bersinergis antara satu dengan yang lain. Apa bila pemerintah atau Negara
menguasai market dan civil society maka kekuatan Negara cenderung
otoriter, dan bila civil society menguasai State dan market
maka tatanan sosial akan chaos, dan bila kekuatan market
menguasai state dan civil society, maka kekuatan uang menjadi
penentu segalanya. Ketiga domain tersebut diatas juga sebagai pilar dari pada Good
governance. State, market dan civil society adalah sebenarnya
memiliki logika hukum tersendiri dan tidak bisa dicampur adukan atau ingi
disamakan antara satu sama lain, namun ketiga domain tersebut berjalan saling
mengisi atara satu dengan yang lain (sinergisitas). Bila iklim demikian gagal
kita ciptakan, maka kemudian demokrasi akan berjalan tertatih-tatih dan
kemugkinan akan terjadi tragedi demokrasi.
Partai politik sebagai organisasi politik yang inheren dengan
kekuasaan negara. Keberadaan dan posisinya yang begitu strategis pada sebuah
negara yang menganut sistem demokrasi membuat partai politik sulit dilupakan
dalam perpolitikan sebuah negara, dibandingkan dengan organisasi lain yang
tidak memiliki legal rasional untuk terlibat dalam akrobat politik yang sah
secara konstitusional dalam merebut dan mempertahankan kekuasaa. Jadi, partai politik
sulit lepas diri dalam mempengaruhi alur cerita tentang kegagalan dan
keberhasilan sebuah negara.
Namun, sesungguhnya Ketika kekuasaan telah bermetamorfosis menjadi ”malaikat”
yang mampu menyulap, melabrak kerinduan-kerinduan akan sesuatu yang mustahil di
lakukan secara etis, maka pada saat itulah gerombolan cukong-cukong dan bankir
kekuasan bergentayangan (Baca kurupsi partai). Cukong kekuasaan itu kemudian melegitimasi diri dengan
berjubah sebagai kaum intelektual, politisi, kaum demokrat, baik yang tergabung
pada organisasi kemahasiswaan, LSM, ormas, dan lebih-lebih partai politik.
Namun, sesungguhnya mereka itu adalah darakula-drakula berwajah manusia yang
didesain oleh arsitek agung dari kekuatan kapitalisme Barat. Maka sejak itulah
kekuasaan menjadi ”berhala” bagi manusia abad modern dan kini kekuasaan politik
ibarat candu bagi manusia.
Partai politik sebagai organisasi modern yang malang melintang berkiprah
pada samudra kekuasaan politik, baik kekuasaan di pusat maupun di daerah,
menjadi bagian yang sulit untuk di pisahkan dalam mendistrubusikan kader
terbaiknya dalam mengisi struktur kekuasaan politik (negara). Potret suram
partai politik selama perjalanan bangsa Indonesia, tidak terkecuali partai
ber-azaskan agama, demokrasi Liberal, nasionalisme, sosialisme dan lain-lain
sebagai ideologi perjuangannya. Partai politik telah menjadikan diri sebagai alat
untuk memuaskan libido kekuasaan bagi kaum-kaum komparador yang memuja
kesenangan dengan menciptakan rakyat meringkuk tidak berdaya, lemah mudah
diperdaya, lesuh mudah di tindas. Karena kalau rakyat kuat, baik secara
ekonomi, pendidikan, budaya, maka mereka mengalami kesulitan untuk menyalurkan
hasrat-hasrat kerakusan duniawi yang kebablasan. Benarkah mereka itu para
predator-predator negara indonesia?.
Melihat fenomena patai politik kekinian cukup mencengangkan bagi publik, praktek korupsi seolah menjadi lumrah ketika berkuasa. fenomena tersebut terkadang membenarkan tesis Kar Marx yang mengatakan bahwa ”uang adalah pelacur universal”. Ketika
kapitalisme menumbuhkan bahwa gerakan ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada
”persaingan pasar” maka eksploitasi gila-gilaan itu tidak bisa dihindari. Bukan
alam, bukan manusia yang mengendalikan kebutuhan manusia. Pasar-lah
mengendalikan manusia. Lewat korporasi-korporasi raksasa seperti Bank Dunia,
WTO, IMF. Mantra rekonsiliasi, penjajahan, dan penindasan, disandungkan. Eric
Fromm merintih ”kini manusia tidak berkutik dihadapan berhala materialisme,
kediktatoran uang, anomistis, dan perbudakan. Materialisme fundamentalistis
telah menjebak manusia kedalam belenggu alienasi (kesunyian, keterasingan
manusia dari tuhan, sesama manusia, dan dari lingkungan), dan sinisme. Disinilah
kegagalan kapitalisme katanya Anthony Giddens. Karena terlalu yakin bahwa orang
mampu mengendalikan Dunia hanya dengan memandang dunia sebagai hamparan padang
pasar yang luas dengan janji-janji kudus demokratisasi dan keadilan sosial. Lalu,
Siapakah yang bertanggung jawab atas itu?. Milton Friedman bernyanyi,
kapitalisme seharusnya bertanggungjawab karena turut aktif melahirkan hampir
semua pemerintahan represif di Dunia ketiga. Ketika materialisme menjadi
berhala maka prgmatisme berpolitik menjadi nyata” Parkara berburu kekuasaan
atau memperbanyak kekayaan menjadikan manusia bersedia untuk menjadi pelacur
bagi kepentingan nafsu sesaat oleh kekuatan uang dan tahta. Kekuatan uang bisa
menciptakan negara tidak berdaya bahkan menjadi kacung di negeri sendiri, namun
juga sebaliknya. Seperti negara indonesia sejak jaman kolonialismen dan
pendudukan Jepang sampai hari ini menjadi ”kacung dinegeri sendiri”.
Independensi, kemerdekaan, kedaulatan, baik kedaulatan ekonomi, politik, hukum
di robek habis oleh pengaruh utang luar negeri yang diwarisi oleh Soeharto.
Kesalahan atas utang terhadap imperialis Amerika Serikat sebenarnya awal dari
pelemparan ranjau-ranjau dalam perang model baru bagi bangsa Indonesia.
Konsensinya jelas bagi mereka yaitu bertujuan mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan
dari negara yang mudah dikadali seperti negara kita tercintai ini.
Ketika kekuatan uang menjadi ”berhala” bagi setiap manusia yang tidak
berkesadaran kritis, namun hanya kesadaran naif dan kesadaran mistik. Maka uang
juga menjadi berhala bagi partai –partai politik di indonesia pasca runtuhnya
Orde Baru. Dan Ketika semua elite-elite politik dan masyarakat luas menjadikan
kekuasaan sebagai berhala untuk disembah, dan mendapatkan itu, maka pada saat
itulah "kekuasaan menjadi candu bagi manusia". Semua orang ingin menanamkan
pengaruhnya pada orang lain, baik pada level kominitas keluarga maupun pada
organisasi Dunia seperti negara. Berbagaimacam cara mereka lakukan untuk
mendapatkan kekuasaan. Akibat dari mazhab ini sehingga terbentuklah ”mental
jelangkung” yang sering dipertontongkan anggota legislatif dan eksekutif
ketika membuat sebuah regulasi. Jelangkung itu kalau tidak diberi sesajen tidak keluar.
Untuk meloloskan pasal-pasal dari UU harus ada sesajen (uang). Mental sesajen
yang mengidap anggota dewan kita selama sepuluh tahun reformasi berjalan
membuat rakyat begitu apatis terhadap lembaga DPR ketika membahas sebua UU.
Aspirasi rakyat tidak diperhatikan justru siapa yang berkepentingan dan
memiliki uang yang diperhatikan. Pada mental demikian membuat merajalelanya “politik
pengusaha”. Artinya hanya mengakomodir kepentingan para pengusaha. Tentu
hanya menguntungkan kelompok mereka dan merugikan kepentingan nasional
(rakyat). Itulah yang disebut pengusaha politik atau politik pengusaha.
Bagaimana partai politik sebagai organisasi yang selalu bersinggungan
dengan kekuasaan politik. Baik berbicara dalam konteks mencari atau merebut
kekuasaa politik serta menjalankan kekuasaan politik yang diperolehnyanya?.
Menilik fenomena partai politik kekinian atau selama era reformasi berjalan,
sesungguhnya sugestikasi konsepsi politik dewasa ini yang diperankan politisi
partai politik adalah identik dengan merebut kekuasaan dan mempertahankan
kekuasaan, baik secara konstitusional manupun non kostitusional. Etape kiprah
partai politik kontemporer tersebut pada tataran pertarungan gagasan alternatif
dan politik praktisnya tentang konstribusi riil sebgai bentuk tanggung jawab
dari persoalan-persoalan bagsa yang semakin hari semakin kehilangan arah
tujuannya, namun sungguh tragis memperihatinkan keberadaan partai politik yang
telah menjelmakan diri sebagai kekuatan baru di alam demokrasi ini, yaitu dimana
rakyat dijadikan komoditas pasar yang menjanjikan fulusiologis (kapital). Paket
Demokrasi yang diperjuangkan melalui gerbang reformasi 1998 yang melahirkan
liberalisasi politik dan ekonomi memberikan angin segar bagi terciptanya
kedaulatan rakyat, justru bermetamorfosis menjadi demokrazy yang
menghalalkan darah dan keringat rakyat untuk dihisap. Hambar dan menakutkan
manusia kalau itu terjadi dalam bentuk kejahatan kriminal, membunuh dengan
menggorok lehernya, menembak kepalanya dan sejenis. Hanya saja kejahatan partai
politik dan politisi kita terhadap rakyat tidak dalam konteks kejahatan
kriminal. Kejahatan kriminal berakibat pada pelaku dan korban saja. Kejahatan
partai politik dan politisi atau disebut dengan ”kejahatan politik”, lebih
sadis dan angker kadar kerusakannya. Karena semua lini kehidupan akan menjadi
rusak, tidak teratur. Baik sistem polik yang berlaku, ekonomi, budaya sebuah
bangsa-negara ditaruhkan dalam waktu yang lama. Misalnya, manipulasi
partisipasi politik rakyat ketika Pemilu, Pilkada, dengan kekuatan kapital maka
akan melahirkan pemimpin politik yang menerapkan ”politik pengembalian modal”
dan pemimpin karbitan.
Pengaruh logika kapilisme dalam pembagunan partai politik praktis dewasa
ini buka merupakan isapan jempol belaka. Keberadaan partai politik dalam sebuah
Negara yang menganut sistem demokrasi sekalipun, seperti Indonesia. Cara
politik partai dengan mengandalkan kekuatan kapital untuk merebut legitimasi
rakyat untuk berkuasa. Keberadaan partai politik seperti itulah memberikan
peluang yang bersifat arogansi, dominasi dan hegemoni dalam sistem politik.
Itulah yang disebut oleh penulis sebuah “keangkeran demokrasi” yang menjelmakan
diri menjadikan kediktatoran demokrasi. Jadi kesesatan demokrasi itu membuat
iklim demokrasi yang ingin di ciptakan justru kematian demokrasi yang kita
dapatkan. Nah, Bagaimana bentuk kediktatoran demokrasi dalam sistem demokrasi
kita?. Pada buku ini juga penulis mencoba menguraikan kediktatoran demokrasi
pada kehidupan bernegara.
Partai politik sebagai simbol dari kekuatan lembaga supremasi sipil semakin
absur identitasnya. Dewasan ini Partai politik yang selalu mengejar kekuasaan
membuat lembaga ini begitu mudah melupakan cita-cita, ideologi, fungsinya dan
konstituen yang telah melahirkan dan membesarkannya. Kalau kemudia Nafsu dan
ambisi manusia didalam partai politik melabrak atauran hukum dan etika serta budaya.
Maka, Nafsu dan ambisi itu akan menjadi “nafsu dan ambisi para setan” yang
setiap saat menghantui upaya-upaya serius kelompok lain yang mengiginkan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih beradab. Tepat kita katakan untuk
mendiskripsikan partai politik hari ini, “tidak ada yang bisa dicapai tanpa
berbohong dan tampa politik uang”. Kekuasaan hanya bisa diraih dan
dipertahankan dengan cara yang tak lazim. Kekuasaan bukan dari rakyat tapi dari
kebohongan yang terencanan dengan sistematis. Mungkin ini yang dimaksud oleh
Julian Bella adalah penghianatan kaum intelektual. Terlepas dari itu,
setidaknya itulah realitas perpolitikan partai politik di indonesia dewasa ini,
yang dimanifestasi oleh kiprah para keder partai yang duduk di eksekutif dan
legislatif.
Idealisme partai politik yang menghendaki partai politik berperan sebagai
lokomotif dalam perubahan sosial-politik, idelaisme itu akan di bantahkan oleh
prilaku elit partai politik yang lebih menjadikan partai politik sebagai
saranan mencapai kekuasaan semata. Kondisi inilah yang dirasakan publik terkait
dengan sepak terjang partai politik ditengah kemelut yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia saat ini. Namun, kemudian partai politik dibentuk untuk meraih kekuasaan,
tidak dengan cara tampa aturan. Atauran akan menjadi prematur dan ambigu bila
partai politik sebagai pilar demokrasi yang menjunjung tinggi aturan dan
sportifitas, kemudian tidak di indahkan dalam bentuk nyata (buka retorika).
Selain dari pada itu, ada etika politik yang mengikat partai politik secara
internal dan secara eksternal. Secara internal, langkah partai politik terikat
pada ideologi yang menentukan visi dan misi sebuah partai. Sedangkan secara
eksternal, tujuan partai selalu diikatkan dengan konstituen dan masyarakat
lewat program-program yang ditawarkannya pada kampaye pemilu dan pilkada.
Karena itu-lah keselarasan idealisme partai politik dengan aspirasi
konstituennya terefleksikan dalam program partai yang dibuat sebagai tuntunan
tertulis untuk menggapai cita-cita bersama.
Ada beberapa hal, kenapa koflik menjadi bola liar dalam partai-partai
politik yang kemudian menjadi api bara yang tidak bisa di kendalikan antara
lain; Pertama, tabrakan misi elit politik partai yang cukup keras,
sehingga elit politik partai terfragmentasi dalam faksi-faksi yang tidak sehat.
Kedua, elit partai-partai politik cenderung menerapkan politik “berburu
kekuasaan” dengan cara saling mendepak yang lain. Sehingga muncul
faksi-faksi yang saling mengadu kekuatan sesuai dengan cara masing-masing faksi
tersebut. Ketiga, Perbedaan sebagai esensi demokrasi tidak dijadikan
sebagai Rahmatan Lil Alamin atau dijadikan kekuatan yang saling
melengkapi, justru perbedaan di pahami sebagai musuh yang harus dihanguskan. Keempat,
kesadaran yang hakiki tidak dimiliki, kalaupun ada sangat tipis lebih
didominasi oleh ego dan naluri politik yang memiliki pretensi ”saya harus dan
bukan dia/mereka berkuasa” tampa pertimbangan kesiapan diri secara mental,
spritualitas, intelektualitas dan pengalaman. Kelima, masih kentalnya
ideologi mereka sebelum bergabung dalam wadah partai politik yang sama.
Sehingga adaptasi dan berbaur dengan anggota lain menjadi sulit diterapkan. Hal
ini juga bisa dikatakan tidak berjalanya doktrin partai yang bersangkutan.
Keenam, dari kelima poin diatas bisa dikatakan sebagai kegagalan
proses kaderisasi dan pendidikan politik partai politik. Bila, Kaderisasi tidak
berjalan dan pendidikan politik sukar diterapkan dengan baik maka akan menjadi
partai politik yang tidak ubahnya kumpulan individu-individu atau kelompok
manusia tampa cahaya bintang. Caya bintan di sini dimaknai sebagai pencerahan
yang mapan pada kader partai dan siap secara kualitas serta memiliki ahlaq yang
tebal, tidak bisa di perdaya oleh kekuatan yang secara terang-terangan
melenceng dari tujuan berbangsa dan bernegara yang dicita-citakan UUD 45 dan
Pancasila.
Setidaknya itu menurut penulis menjadikan partai politik pada persoalan
internal partai PPP dan PDI pada Era Orde Baru dalam membangun partai yang kuat
yaitu partai yang menjadi pilihan rakyat. Kegagalan itu Karena tidak
berjalannya fungsi dan peran partai politik yang implementatif yaitu bermanfaat
bagi partai politik itu sendiri dan rakyat secara nyata atau partai politik
dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Disamping dengan adanya kebijakan
pemerintah yang tidak mendukung kiprah PDI dan PPP melalui kebijakan Mono
loyalitas dan politik massa mengambang dan Politik penyeragaman
atau pensucian ideologi pada saat itu.
Proses perekrutan kader (anggota) dalam partai politik sesungguhnya harus
diperhatikan secara serius oleh para politisi dan akademisi untuk menemukan
formula yang mendukung terciptanya manusia yang memiliki tanggungjawab secara
universal. Tanggung jawab secara universal adalah memiliki
integritas personal, kapabilitas, akuntabilitas, intelektualitas, jiwa
kepemimpinan. Agar tidak lagi munculnya Para politisi “Tukang Becak?, robot
politik, politisi broker, pemimpin karbitan, dan politisi yang menjadikan
berhala bagi kekuasaan”.
Politik pegabdian-lah menjadi salah satuh pel penawar untuk mencegah
politik pragmatis partai politik beserta kader-kadernya. Politik pengabdian
harus menjadi syarat yang mutlak bagi politisi-politisi yang memilki keinginan
duduk di eksekutif dan legislative, serta lembaga-lembaga politik lainya.
Siapakah yang melakukan distribusi kader yang memilki jiwa pengabdian itu?.
Dalam sistem politik di indonesia adalah partai politik. Dan apakah partai bisa
melakukan itu?. Bisa, asalkan partai politik secara organisasi memaknai
keberadaannya sebagai organisasi politik yang mengabdi pada kepentingan rakyat.
Bukan segerombolan para politisi yang memiliki kepentingan terselubung.
[1] D.H Lawrence. Dalam Zaim Saidi. Ilusi Demokrasi. Kritik
dan Otokritik Islam. Menyongsong Kembalinya Tata Kehidupan Menurut Amal
Madinah. Republika. Jakarta selatan. 2007.
Hal 15.
[2] Lihat Arianto Sangaji
dalam opininya yang berjudul “Kekaisaran” pada harian Kompas, edisi jumat 18
Juli 2008.
[3] Zaim Saidi. Ilusi
Demokrasi. Kritik dan Otokritik Islam. Menyongsong Kembalinya Tata Kehidupan
Menurut Amal Madinah. Republika.
Jakarta selatan. 2007. hal 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar