tag:blogger.com,1999:blog-3350715614112620222024-03-19T03:26:40.510-07:00A L A M P O L I T I KSaifullah Ibnuhttp://www.blogger.com/profile/11480039276060922446noreply@blogger.comBlogger10125tag:blogger.com,1999:blog-335071561411262022.post-89092714792115509332012-02-23T01:04:00.002-08:002012-02-23T01:04:38.596-08:00MEMIKIRKAN ULANG MASYARAKAT SIPIL KE ARAH KONSOLIDASI DEMOKRASI<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Runtuhnya
basis legitimasi Rezim Orde Baru 12 Mei 1998 yang lalu mencengangkan cukup
banyak pihak, yaitu munculnya kembali fenomena multi partai yang selama ini
telah terkubur dibwah reruntuhan Orde Lama dan Orde Baru. Ledakan-ledakan
partisipasi rakyat luas dengan cepat mengubah rasa frustasi dan dendam terhadap
rezim Soeharto di seluruh bidang. Kebijakan Presiden Habibie mengubah format
politik Indonesia dari sistem partai dominan kesistem multi partai yang di
ikuti oleh regulasi-regulasi baru seperti Undang-undang No 31 tahun 2002
tentang partai politik. Di satu sisi, ia mendorong kembali semangat politik
yang nyaris padam akibat kebijakan monoloyalitas, deideologisasi, penyeragaman
yang di personifikasi oleh Soeharto. Namun, di sisi lain eforia kebebasan
menyalurkan naluri politik masyarakat juga menumbuhkan persoalan baru yang
cukup tidak diantisipasi oleh banyak kalangan, dalam hal ini memberdayakan masyarakat
sipil yang menjadi kekuatan dalam menciptakan kehidupan ber-Negara dan
bermasyarakat yang demokratis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Samuel Huntington
(1995), berdalih bahwa demokrasi adalah menjadi isu global yang telah melanda
hampir seluruh plosok Dunia. Fukumaya bersabda Demokrasi menjadi masalah
kemanusiaan sejagad. Demokrasi adalah pilar pradaban. Munafrizal Manan (2005)
bernyanyi, Dalam pasar politik internasional demokrasi telah menjadi ”barang”
politik paling laris. Diskursus demokrasi telah mengglobal dan menyebar ke
pelosok Dunia dengan kecepatan fantastis. Bagaimana Larry Diamond memikirkan
tentang demokrasi yang terkonsolidasi dalam kehidupan sebuah Negara dengan
kekuatan masyarakat madani (civil society)?.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Pada
kenyataan, bagaimanapun, runtuhnya rezim atoriterian terkenal secara
besasar-besaran mengerahkan oposisi demokrasi belum normal. Peralihan demokrasi
semakin luas, namun bahkan dalam hal mengawal dan mengontrol peralihan dan
mufakat, keinginan untuk berdemokrasi, terutama dukungan dari desakan secara
khas berasal dari “kebangkitan masyarakat sipil,”.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Mobilisasi
secara luas masyarakat sipil adalah sumber penting untuk mendesak perubahan
demokrasi. Rakyat menekankan tantanagan mereka pada otokrasi tidak hanya
sekedar perorangan, tetapi seperti
gerakan kelompok dari gereja ortodoks, asosiasi professional, kelompok
perempuan, perserikatan pedagang, organisasi hak asasi, persatuan produsen,
asosiasi kewarganegaraan, dan lain-lain.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Sekarang untuk
memahami perkembangan atau perubahan demokrasi di dunia, sesuatu yang harus di
pelajari adalah masyarakat madani. Namun pembahasan demikian sering dianggap berpotensi
dan berbahaya pada pandangan sesat. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Masyarakat Sipil Atau
Bukan?<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Masyarakat
sipil di berdayakan di dunia dengan hidup bermasyarakat terorganisir secara
sukarela, semangat mandiri, staus otonomi diri, yang dibatasi oleh atauran hukum.
ini adalah berbeda dari “masyarakat” yang melibatkan warga secara bersama pada pada
suatu lapisan hkusus untuk mengekspresikan daya kritis mereka, semangat, ide, gunakan
status, dan bertanggung jawab ada pada pejabat. Dengan demikian lepas dari
hidup individu dan keluarga.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Satus
masyarakat madani dengan demikian tidak hanya dibatasi oleh kekuatan status
kecuali otoritas sah bahwa ketika otoritas adalah berlandaskan kepastian hukum.
ketika staus diri tidak patuh pada hukum dan meremehkan otonomi perorangan dan
golongan, masyarakat sipil mungkin masih ada (sekalipun hanya pada bentuk
sementara atau bercampur) ini unsur utama
yang mengoprasikan oleh beberapa ketentuan yang antralain, jauhkan diri dari
kekerasan, dan hormat pluralisme. Ini adalah kondisi dimensi “hukum” yang tidak
dapat di perkecil lagi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Masyarakat
sipil meliputi satu dari organisasi informal, formal. Yang menggolongkan antara
lain adalah:<o:p></o:p></span></div>
<ol start="1" style="margin-top: 0cm;" type="1">
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 36.0pt; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Ekonomi
(Jaringan asosiasi produkti dan komersil)<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 36.0pt; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Budaya
(religius, kesukuan, komunal, asosiasi yang mempertahankan nilai kolektif,
nilai kepercayaa, dan simbol. <o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 36.0pt; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">bidang
pendidikan dan informasi, (hasil yang dipersembahkan dan disebarkan—apakah
untuk menguntungkan atau tidak dari pengetahuan public, ide dan
keterangan).<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 36.0pt; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">ketertarikan
yang mendasar. (didesain untuk menjauhkan atau mempertahankan fungsional
yang umum atau daya tarik dari keterangan anggota mereka, apakah pekerja,
veteran, pensiunan, professional.<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 36.0pt; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">pengembangan.
(kombinasi sumberdaya individu untuk meningkatkan organisasi,
infrastruktur, institusi, dan hidup yang berkualitas dari komunitas).<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 36.0pt; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">berorientasi
emisi. ( gerakan untuk perlindungan lingkungan, hak perempuan, atau
perlindungan konsumen). <o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 36.0pt; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">kewarganegaraan.
(mencari pertunjukan yang memihak pada peningkatan system politik dan
perbuatan ini lebih pada hak untuk mengawal hidup berdemokrasi, pendidikan
pemilih dan mobilisasi, upaya antikorupsi, dan seterusnya).<o:p></o:p></span></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Berdasarkan
kajian di atas masyarakat madani pada dasarnya adalah sebuah komunitas sosial
dimana keadilan dan kesetaraan menjadi fundamennya. Muara dari pada itu adalah
pada demokratisasi, yang dibentuk sebagai akibat adanya partisipasi nyata
anggota kelompok masyarakat. Sementara hukum diposisikan sebagai satu-satunya
alat pengendalian dan pengawasan perilaku masyarakat. Dari definisi itu maka
karakteristik masyarakat madani, adalah ditemukannya fenomena, (a)
demokratisasi, (b) partisipasi sosial, dan (c) supremasi hukum dalam
masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 18.0pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Fungsi Demokrasi Dari
Masyarakat Sipil<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Yang pertama
dasar dari fungsi demokrasi dari masyarakat sipil “status landasan pembatasan
dari kekuatan, status karena masyarakat sipil untuk mengontrol. Dan maka
institusi Negara demokrasi akan efektif bila ada kontrol itu. Fungsi tersebut
memmiliki duan dimensi untuk memonitor dan mengendalikan dari kekuatan Negara
demokrasi, status otoriterian untuk berdemokrasi. Mengerahkan masyarakat sipil
adalah untuk mencegah penyalahgunaan dan mengikis hak kekuasaan rejim yang tidak
demokratis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Jadi,
masyarakat sipil adalah satu instrument penting mengandung kekuatan dengan
pemerintah demokratis, mereka mencegah potensi peyalahgunaan dan pelanggaran hukum.
bahwasanya, satu masyarakat hukum bersemangat bagi memperkuat dan memelihara
demokrasi di bandingkan dengan masalah lain.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Sehubungan
dengan demokratisasi, menurut Neera Candoke (1995:5-5) Social Society berkaitan
dengan <i>public critical rational discource</i> yang secara ekplisit
mempersyaratkan tumbuhnya demokrasi. Dalam kerangka itu hanya negara yang
demokratis yang menjamin masyarakat madani. Pelaku politik dalam suatu negara
(state) cenderung menyumbat masyarakat sipil, mekanisme demokrasi lah yang
memiliki kekuatan untuk mengkoreksi kecenderungan itu. Sementara itu untuk
tumbuhnya demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran
berpribadi, kesetaraan, dan kemandirian. Syarat-syarat tersebut dalam
konstatasi relatif memiliki linearitas dengan kesediaan untuk menerima dan
memberi secara berimbang. Maka dalam konteks itu, mekanisme demokrasi antar
komponen bangsa, terutama pelaku praktis politik, merupakan bagian yang
terpenting dalam menuju masyarakat yang dicita-citakan tersebut. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Partisipasi
sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal yang baik untuk
terciptanya masyarakat madani. Partisipasi sosial yang bersih dapat terjadi
bilamana tersedia iklim yang memungkinkan otonomi individu terjaga. Antitesa
dari sebuah masyarakat madani adalah tirani yang memasung secara kultural
maupun struktural kehidupan bangsa. Dan menempatkan cara-cara manipulatif dan
represif sebagai instrumentasi sosialnya. Sehingga masyarakat pada umumnya
tidak memiliki daya yang berarti untuk memulai sebuah perubahan, dan tidak ada
tempat yang cukup luang untuk mengekpresikan partisipasinya dalam proses
perubahan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Tirani seperti
inilah, berdasarkan catatan sejarah, menjadi simbol-simbol yang dihadapi secara
permanen gerakan masyarakat sipil. Mereka senantiasa berusaha keras
mempertahankan status quo tanpa memperdulikan rasa keadilan yang berkembang
dalam masyarakat. Pada masa Orde Baru cara-cara mobilisasi sosial lebih banyak
dipakai ketimbang partisipasi sosial, sehingga partisipasi masyarakat menjadi
bagian yang hilang di hampir seluruh proses pembangunan yang terjadi. Namun
kemudian terbukti pemasungan partisipasi secara akumulatif berakibat fatal
terhadap keseimbangan sosial politik, masyarakat yang kian cerdas menjadi sulit
ditekan, dan berakhir dengan protes-protes sosial serta pada gilirannya
menurunnya kepercayaan masyarakat kepada sistem yang berlaku. Dengan demikian
jelaslah bahwa partisipasi merupakan karakteristik yang harus ada dalam
masyarakat madani. Demokrasi tanpa adanya partisipasi akan menyebabkan
berlangsungnya demokrasi pura-pura atau <i>pseudo democratic</i> sebagaimana
demokrasi yang dijalankan rezim Orde Baru. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";"> Selai dari pada itu penghargaan terhadap
supremasi hukum merupakan jaminan terciptanya keadilan. Al-Qur’an menegaskan
bahwa menegakan keadilan adalah perbuatan yang paling mendekati taqwa (Q.s. Al
Maidah:5-8). Dengan demikian keadilan harus diposisikan secara netral, dalam
artian, tidak ada yang harus dikecualikan untuk memperoleh kebenaran di atas
hukum. Ini bisa terjadi bilamana terdapat komitmen yang kuat diantara komponen
bangsa untuk iklas mengikatkan diri dengan sistem dan mekanisme yang disepakati
bersama. Demokrasi tanpa didukung oleh penghargaan terhadap tegaknya hukum akan
mengarah pada dominasi mayoritas yang pada gilirannya menghilangkan rasa
keadilan bagi kelompok lain yang lebih minoritas. Demikian pula partisipasi
tanpa diimbangi dengan menegakkan hukum akan membentuk masyarakat tanpa kendali
(laissez faire). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Dengan
demikian semakin jelas bahwa masyarakat madani merupakan bentuk sinergitas dari
pengakuan hak-hak untuk mengembangkan demokrasi yang didasari oleh kesiapan dan
pengakuan pada partisipasi rakyat, dimana dalam implentasi kehidupan peran
hukum stategis sebagai alat pengendalian dan pengawasan dalam masyarakat. Namun
timbul pertanyaan sejauh mana kesiapan bangsa Indonesia memasuki masyarakat
seperti itu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Masyarakat Sipil Fitur
Dari Satu Demokrasi<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Tidak semua
masyarakat sipil dan organisasi masyarakat sipil punya potensi yang sama untuk
melaksanakan fungsi demokrasi seperti yang di kutip diatas. Kemampuan mereka
untuk melakukan tergantung kepada beberapa fitur dari struktur dan
karakterinternal mereka.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Satu,
Keprihatinan dari masyarakat sipil dari cara menggolongkan. Kemungkinan untuk
mengembangkan demokrasi meningkatkan pengaruh nyata, status keterarikan
golongan keras atau mencari penggolongan untuk menaklukan atau membohongi kompetitor,
atau tolak kepastian hukum dan wewenang dari Negara demokrasi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Kedua, fitur
penting dari masyarakat sipil adalah institusionalisasi organisasi. Seperti
partai politik dll, dimana daya kekuatan diorganisr pada satu struktur, akan
dimudahkan jaringan kerjasama. Ketiga, karakter demokkrasi dari masyrakat sipil
itu sendiri derajat kemana ia memasyarakatkan partisipasi kedalam bentuk
demokratis atau tidak demokratis dari perilaku internal. Kalau menggolongkan
organisasi masyarakat sipil adalah untuk berfungsi sebagai “sekolah bebas untuk
demokrasi”, mereka harus berfungsi secara demokratis dari pemilihan pembuatan
keputusan internal mereka.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Keempat.
Masyarakat sipil, dalam masyarakat plural tidak akan menjadi pemecah, demokrasi
akan untung. Beberapa derajat dari pluralisme menurut masyarakat sipil.
pluralisme menolong menggolongkan masyarakat sipil terus hidup, dan di anjurkan
mereka untuk bekerjasama dan merundingkan satu sama lain.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Akhirnya
masyarakat sipil adalah kuat melayani demokrasi yang terbaik. Mengusahaan
kesempatan perorangan untuk berpartisipasi pada asosiasi jaringan informal.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Konsolidasi Demokrasi<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Pada
kenyataan, satu pemerataan lebih kuat dan lebih luas tampak terjamin. Faktor
yang mendesak pada konsolidasi demokrasi tidak masyarakat sipil kecuali
institusi politik. konsolidasi adalah dengan nama demokrasi menjadi sangat luas
dan sah antara waraga/rakyat yang tidak mau pecah. Ini melibatkan tingkah laku
dan membuat kelembagaan politik demokrasi. normalisasi ini memerlukan akses
warga, <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Institusi
kenegaraan yang kuat diperlukan untuk memenuhi reformasi ekonomi pada kondisi
demokrasi. eksekutif yang kuat baik struktur dan pendukungnya. Badan pembuat
undang-undang mungkin efektif, tapi kadang-kadang menghalangi reformasi, akan
tetapi mereka disusun dengan kuat, pada akhirnya mereka akan melakukan lebih
untuk mendamaikan demokrasi dan reformasi ekonomi dengan menyediakan satu dasar
dukungan kenegaraan dan beberapa yang berarti yang menengahi bantahan dari masyarakat.akhirnya,
otonomi, professional, dan tentang sistem pengadilan terorganisir dengan baik
adalah sangat dibutuhkan untuk mengamankan kepastian hukum.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Penyampai
protes tentang penegakan hukum akan terta, mendidik mereka tidak menhapus nilai
kepentingannya. Masyarakat sipil dapat dan harus mainkan satu peran yang
berpengaruh nyata untuk memperkuat demokrasi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Diamond hendak
mengatakan bahwa Demokrasi terkonsolidasi adalah Masyarakat madani membutuhkan
institusi sosial, non-pemerintahan, yang independen yang menjadi kekuatan
penyeimbang dari negara. Posisi itu dapat ditempati organisasi masyarakat,
maupun organisasi sosial politik bukan pemenang pemilu, maupun
kekuatan-kekuatan terorganisir lainnya yang ada di masyarakat. Akan tetapi
institusi tersebut selama orde baru relatif dikerdilkan dalam arti lebih sering
berposisi sebagai corong kepentingan kekuasaan ketimbang menjadi kekuatan
swadaya masyarakat. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Hegemoni
kekuasaan demikian kuat sehingga kekuatan ril yang ada di masyarakat demikian
terpuruk. Padahal merekalah yang sebenarnya yang diharapkan menjadi lokomotif
untuk mewujudkan masyarakat madani (demokrasi yang terkonsolidasi). Ada memang
beberapa LSM yang secara konsisten memainkan peranan otonomnya akan tetapi
jumlahnya belum signifikan dengan jumlah rakyat Indonesia yang selain berjumlah
besar juga terfragmentasi secara struktural maupun kultural. Fragmentasi sosial
dan ekonomi seperti itu sangat sulit mewujudkan masyarakat dengan visi
kemandirian yang sama. Padahal untuk duduk sama rendah berdiri sama tinggi
membutuhkan kesamaan visi dan kesadaran independensi yang tinggi. Dengan
demikian boleh jadi masyarakat peradaban yang kita cita-citakan masih
membutuhkan proses yang panjang dan konsisten.<o:p></o:p></span></div>Saifullah Ibnuhttp://www.blogger.com/profile/11480039276060922446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-335071561411262022.post-33233073633624681812012-02-23T00:55:00.001-08:002012-02-23T02:29:19.647-08:00Pemikiran Max Weber, Tentang Class, Status, and Party<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Agency FB', sans-serif;"><b><br /></b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l0 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<b><span lang="EN-US">A.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';">
</span></span></b><b><span lang="EN-US">PENDAHULUAN<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="EN-US">Maximilian Weber lahir pada tanggal 21 April 1864 dan
wafat tanggal 14 Juni 1920, adalah seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog
dari Jerman yang dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi dan
administrasi negara modern. </span><span lang="SV">Karya
utamanya berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan
pemerintahan, meski ia sering pula menulis di bidang ekonomi. Karyanya yang
paling populer adalah esai yang berjudul Etika Protestan dan Semangat
Kapitalisme, yang mengawali penelitiannya tentang sosiologi agama. Weber
berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang
berbeda antara budaya Barat dan Timur. Dalam karyanya yang terkenal lainnya,
Politik sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga
yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah
definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat modern.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Berbicara tentang pemikiran
para filosof yang hidup sebelum dan pada zaman Max Weber serta sampai abad 19,
kita ibarat orang yang menggali artefak-artefak masa lampau yang tersimpan
kekuatan magis sehingga memberikan motivasi, inspirasi, dalam rangka melihat dan
menata struktur masa depan yang lebih baik. Pemikiran Max Weber tentang kelas,
staus, dan partai adalah merupakan tiga dimensi yang membaca fakta sosial,
dalam rangka melihat kecenderungan masyarakat untuk melakukan perubahan dan
kekuatan atau pengaruh. Pemikirannya dianggap luas dan komprehensif dalam
melihat struktur masyarakat, Itu lah yang membedakannya dengan Karl Max yang
hidup pada zaman sebulnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Pembahasan Weber akan kelas,
status, dan partai dengan demikian memastikan hal-hal ini sebagai tiga dimensi
dari tingkatan, sedangkan tiap dimensi ini terpisah satu sama lain, serta menempatkan
bahwa pada suatu tingkat empiris, tiap dimensi itu bisa saling mempengaruhi
secara sebab akibat<a href="file:///D:/IPHOELL/KULIAH%20TUGAS/SOSIAL%20KLASIK.rtf#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">[1]</span></span></span></a><i>.<o:p></o:p></i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Sesungguhnya, rangkaian dari
tiga dimensi pemikiran Weber adalah mencoba memberikan pemahaman terhadap kita,
bahwa kekuatan atau kelompok sosial tidak hanya sesempit seperti pemahaman atau
pemikiran Karl Marx tentang pengaruh polah hubungan produksi (ekonomi) yang
antagonistik yang membentuk kelas penindas (kapitalis) dan kelas proletar
(buruh), namun lebih luas dari pemahaman tersebut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Dalam konteks waktu ini, orang
seringkali membandingkan pemikiran Weber dengan Marx. Soiologi Weberian
dipandang sebagai salah satu alternatif pemikiran tentang kelas yang sebelumnya
didominasi oleh arus pemikiran Marxian. Walaupun mempunyai concern yang sama
terhadap fenomena kelas dan struktur dalam masyarakat namun Weber dan Marx
menghasilkan dua aras pemikiran yang berbeda. Bila Marx lebih dikenali dengan
karakter utama reduksionis dan deterministik dalam pemikirannya, Weber justru
memperlihatkan kompleksitas dan pluralisme dalam memandang fenomena sosial di
masyarakat. Namun, secara garis besar, dalam keseluruhan tulisannya dapat dikatakan
bahwa Max Weber sangat dipengaruhi oleh Marx dalam karya-karyanya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Weber mengembangkan analisis
sosial yang jauh lebih luas dari Marx yang selalu berawal dan berakhir dalam
dimensi ekonomi. Perhatian Weber terhadap faktor-faktor pembentuk struktur
masyarakat diluar ekonomi meliputi nilai, religi, ide dan budaya yang
dianggapnya mempunyai peran yang sejajar dengan faktor ekonomi. Inilah titik
tolak yang menjadi pembeda antara Marx dan Weber dimana Marx menganggap ekonomi
adalah dasar utama bagi pembentukan struktur dalam masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Perbedaan diantara dua pemikir
besar ini sangat mungkin disebabkan oleh dua hal. Pertama adalah konteks sosial
yang dihadapi keduanya sangat berbeda, Weber hidup setelah Marx ketika
kapitalisme telah jauh berkembang dan menunjukkan eksisitensi bentuk dan pola
produksi yang telah berubah dengan bentuk awal yang di eksaminasi oleh Marx.
Sedangkan yang kedua, bila Marx menjadikan Inggris, khususnya, dan Eropa Barat
pada umumnya, sebagai pijakan pengamatan realitas sosial, Weber justru
mengalami fase penting perkembangan intelektualnya di Amerika yang struktur dan
kostruksi masyarakatnya jauh berbeda dengan Inggris. Oleh karena itu penting
untuk mengkaji kembali pokok pikiran Max Weber tentang status, kelas, dan
partai.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l0 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<b><span lang="EN-US">B.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';">
</span></span></b><b><span lang="EN-US">POKOK MASALAH<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Sebagaimana uraian singkat
diatas, bahwa pemikiran Max Weber tentang pengaruh perkembangan dan perubahan
struktur masyarakat yang dinamis, biasa kita tilik dari pemikirannya tentang
status, kelas dan partai.</span><span lang="SV"> </span><span lang="EN-US">Ole
karena itu, dalam poko pembahasan ini adalah <i>“Bagaimana pemikiran Weber
tentang class, staus, dan party sebagai sumber kekuasaan?”</i>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV">C. PEMBAHASAN.<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Karyanya Weber yang paling
populer adalah esai yang berjudul Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme,
yang mengawali penelitiannya tentang sosiologi agama. Weber berpendapat bahwa
agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara
budaya Barat dan Timur. Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik sebagai
Panggilan, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki
monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang
menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat modern.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Karakter utama analisa Weber
tentang struktur dalam masyarakat adalah usaha untuk melakukan kompromi antara
dua mainstream pemikiran yang berlawanan. Dua mainstream itu adalah positivism,
yang bersikeras untuk menggunakan rigiditas ilmu alam, seperti fisika dan
kimia, untuk melakukan eksaminasi terhadap masyarakat, dan di sisi lain, mereka
yang menolak untuk menyamakan fenomena sosial dalam masyarakat dengan fenomena
alam. Weber meletakkan sosiologi tepat ditengah-tengah kedua disiplin yang
saling berkontestasi tersebut. Di antara kekuatan generalisasi ilmu alam dan
subyektifitas ilmu sejarah yang mengedepankan keunikan single event sebagai
fokus kajian. Hal ini membuat sosiologi mampu membentuk sebuah teori reguler,
yang tidak mampu disediakan oleh sejarah, namun teori tersebut bukanlah sebuah
koridor penjelas yang rigid seperti yang ada pada ilmu alam. Alasan kuat untuk
mengambil posisi ini adalah perbedaan mendasar <i>subject matter</i> antara
manusia dan alam. Dua atom mungkin akan berinteraksi dengan cara yang sama
sepanjang masa dengan prasyarat-prasyarat kondisi yang ceteris paribus, namun
individu atau kelompok manusia akan berinteraksi dengan pola yang berubah-ubah
sesuai dengan kondisi dan konteks sosial yang ada.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Konsep penting pertama Weber
dalam membangun posisi epistemologi disiplin sosiologinya adalah probabilitas.
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa X mungkin akan menghasilkan Y, pada
beberapa, sebagian besar, atau bahkan jarang momentum. Berdasarkan ini kita
dapat menyimpulkan, bahkan memprediksikan kemungkinan X akan menghasilkan Y.
Satu hal yang tidak bisa kita lakukan dalm ilmu sosial adalah memastikan bahwa
X akan menghasilkan Y.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Konsep kedua adalah <i>causal
pluralism</i>. Konsep ini menerangkan mengapa seringkali fenomena sosial
berubah tidak sesuai dengan prediksi kita. Dalam anggapan Weber, seringkali
sesorang mengesampingkan banyak faktor dalam usaha untuk menjelaskan sebuah
fenomena. Padahal seringkali faktor-faktor tersebut justru menjadi penentu
kenapa deviasi bisa terjadi. Maka penting untuk memperhitungkan berbagai faktor
penyebab dari fenomena sosial yang terjadi. Penjelasan terhadap suatu fenomena
sosial tidak dapat bertolak hanya dari satu faktor penyebab saja melainkan
harus diawali dari deskripsi dari bermacam-macam faktor yang kemudian dapat
dianalissi lebih lanjut mana yang menjadi faktor dominan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Oleh sebab itu pembahasan pemikiran
Weber akan kelas, status, dan partai dengan demikian memastikan hal-hal ini
sebagai tiga dimensi dari tingkatan, sedangkan tiap dimensi ini terpisah satu
sama lain, serta menempatkan bahwa pada suatu tingkat empiris, tiap dimensi itu
bisa saling mempengaruhi secara sebab akibat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="EN-US">Pemikiran Max Weber tentang <i>Class</i>, <i>Status</i>, dan <i>Party</i>.<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="EN-US">1. Tentang kelas<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<i><span lang="EN-US">Economy and society</span></i><span lang="EN-US">
memuat dua bagian, yaitu mengenai kelompok kelas dan status.....Weber tidak
menyelesaikan suatu penuturan analisis yang mendetail tentang gagasan kelas
serta kaitannya dengan dasar-dasar lain dari tingkatan dalam masyarakat. </span><span lang="SV">Konsepsi kelas dari Weber bertolak dari
analisisnya yang menyamaratakan tindakan ekonomi di suatu pasar. Tindakan
ekonomi didefinisikan sebagai prilaku yang berusaha, dengan cara-cara damai,
untuk memperoleh penguasaan atas keperluan-keperluan yang diingini.
Keperluan-keperluan itu meliputi, baik benda maupun jasa. Pola hubungan ekonomi
yang membebaskan diri dari pertalian-pertalian khusus dan dari
kewajiban-kewajiban struktur komunitas lokal, dan menjadikan ditentukan secara
berubah-ubah oleh kesempatan-kesempatan materil yang dipunyai seseorang untuk
untuk menggunaan benda benda tidak bergerak, barang atau jasa-jasa, yang bisa
ditukarkan di pasar yang bersaingan. Dari sinilah ”perjuangan kelas” dimulai,
demikian kata weber<a href="file:///D:/IPHOELL/KULIAH%20TUGAS/SOSIAL%20KLASIK.rtf#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">[2]</span></span></span></a>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Dengan kata lain, Mereka yang
mengambil bagian dalam pasar yang sama atau ”situasi kelas” di pengaruhi
keadaan-keadaan darurat ekonomi yang sama, secara sebab akibat mempengaruhi
ukuran material dari eksistensinya dan dari pengalaman hidup pribadi yang bisa
mereka nikmati Suatu ’kelas’ adalah suatu timbunan pribadi-pribadi, yang
sekaligus berada bersama-sama dalam kelas situasi yang sama. Dalam kaitan ini,
Mereka yang tidak mempunyai benda apa-apa dan mereka yang hanya bisa menawarkan
jasa di pasar, di bagi sesuai dengan jenis-jenis jasa yang mereka tawarkan
adalah sama saja seperti para pemilik benda yang bisa di beda-bedakan menurut
apa saja yang mereka miliki dan bagaimana mereka menggunakannya untuk
maksud-maksud ekonomi<a href="file:///D:/IPHOELL/KULIAH%20TUGAS/SOSIAL%20KLASIK.rtf#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">[3]</span></span></span></a>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Weber juga mengikuti Marx
dalam membedakan antara mereka yang mempunyai barang, kelas rentenir dan kelas
wiraswasta, yang disebut oleh Weber ’kelas-kelas pemilik’ dan kelas-kelas niaga<a href="file:///D:/IPHOELL/KULIAH%20TUGAS/SOSIAL%20KLASIK.rtf#_ftn4" name="_ftnref4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">[4]</span></span></span></a>.
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 63.0pt; mso-list: l1 level1 lfo3; tab-stops: list 63.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<span lang="SV">1.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';"> </span></span><span lang="SV">Kelas pemilik adalah mereka yang memiliki
benda dan menerima sewaan oleh karena pemiliknya atas tanah, tambang dan
seterusnya. Kaum rentenir adalah kelas pemilik yang secara positif
berkeuntungan. Kelas pemilik yang berkeuntungan negatif meliputi mereka semua
yang tidak mempunyai barang/keterampilan untuk di tawarkan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 63.0pt; mso-list: l1 level1 lfo3; tab-stops: list 63.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<span lang="SV">2.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';"> </span></span><span lang="SV">kelas-kelas niaga adalah mereka yang
berkeuntungan positif yang bisa merupakan <i>entrepreneur</i> yang menawarkan
benda-benda untuk di jual di pasar ataupun yang berpartisipasi dalam pembiayaan
kegiatan itu, misalnya para bankir. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Disamping itu, Weber melihat
ada kelas-kelas lain yang disebutnya ’kelas sosial’. Weber menuturkan komposisi
kelas sosial dari kapitalisme yaitu terdiri dari:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 54.0pt; mso-list: l2 level4 lfo1; text-align: justify; text-indent: -9.0pt;">
<span lang="SV">1.</span><span lang="SV">Kelas pekerja tangan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 54.0pt; mso-list: l2 level4 lfo1; text-align: justify; text-indent: -9.0pt;">
<span lang="SV">2.</span><span lang="SV">Kaum borjuis kecil.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 72.0pt; mso-list: l2 level4 lfo1; text-align: justify; text-indent: -27.0pt;">
<span lang="SV">3.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';">
</span></span><span lang="SV">Pegawai
kantoran yang tidak mempunyai kekayaan, para ahli teknik dan kaum cendekiawan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 72.0pt; mso-list: l2 level4 lfo1; text-align: justify; text-indent: -27.0pt;">
<span lang="SV">4.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';">
</span></span><span lang="SV">kelompok-kelompok
entrepreneur dan kaum pemilik tanah yang cenderung untuk mendapatkan kemudahan
dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan pendidikan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="EN-US">Kelas-Kelas dalam Kapitalisme<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Tema tentang <i>social
inequality</i> dalam pemikiran Weber terdapat dalam konsepnya tentang kelas,
yang juga menjadi konsep sentral dalam bahasan Marx. Persamaan mendasar antara
Weber dan Marx adalah titik tolak dari konsep kelas mereka adalah ekonomi.
Perbedaannya adalah, bila Marx lebih banyak menekankan hubungan antar kelas
dalam konteks moda produksi, terutama relasi dominatif dan eksploitatif yang
menjadi pola utama hubungan sedangkan distribusi ekonomi cenderung diabaikan,
Weber, justru menekankan pada sisi tersebut dalam membangun konsepsinya tentang
kelas. Pada dasarnya Weber juga membahas tentang pertentangan kelas dan
dominasi didalamnya, namun, sekali lagi, concern utama Weber adalah dalam hal
bagaimana distribusi kekayaan menjadikan seseorang dalam masyarakat lebih kaya
dari yang lain.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Analogi untuk memahami kelas
dalam masyarakat pada pemikiran Weber adalah Pasar. Kategorisasi masyarakat
secara ekonomis terbentuk dalam model pasar, yang merupakan sistem pertukaran
kompetitif yang memungkinkan individu untuk saling bertukar untuk memenuhi
kebutuhannya dan mengejar kepentingannya. Nilai-nilai yang terkandung dalam
konsep ini adalah apa yang disebut Weber sebagai “kegunaan”, yang menyangkut
juga nilai material seperti properti dan kepemilikan dan kemampuan kerja
manusia seperti ketrampilan individual dan tenaga kerja. Jadi kelas, dalam
konsepsi Weber adalah agregasi pemaknaan bersama masyarakat terhadap “situasi”
di dalam pasar yang sama-sama menyediakan kepentingan ekonomi dan kesempatan
untuk mencapai kepentingan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Dari penjelasan di atas kita
tahu bahwa Weber memulai bahasannya tentang struktur ekonomi dalam masyarakat
pada titik yang sama dengan Marx yaitu tentang mereka yang memiliki properti
dan mereka yang hanya memiliki tenaga kerja untuk dipertukarkan dalam pasar.
Namun Weber menempuh jalan yang berbeda dengan Marx dengan menunjukkan
kompleksitas tentang jenis properti yang menajdi modal individual serta
keteranpilan macam apa yang ditawarkan. Perbedaan ini akan menciptakan berbagai
macam kelas dalam kelas sederhana yang dimaksud oleh Marx. Kelas pemodal masih
terbagi berdasarkan berbagai macam modal yang dimiliki serta kelas pekerja
sendiri yang masih terbagai oleh berbagai macam keterampilan yang dimiliki oleh
pekerja tersebut. Definisi ini membawa kita pada kerumitan tersendiri karena
setiap definisi akan menciptakan berbagai kelas dalam masyarakat jadi setiap
individu dalam sistem ekonomi kapitalisme modern yang sangat kompleks dapat
mewakili kelas yang berbeda-beda sehingga konsep kelas tersebut dengan
sendirinya tidak berguna.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Pada level operasional dari
konsep ini sebenarnya Weber juga tidak berlaku serumit di atas. Konsep kelas
Weber, lagi-lagi, berada ditengah-tengah antara konsep kelas bipolar Marx yang
sangat sederhana dengan dengan konsep puralismenya yang sangat tegas. Pada
akhirnya konsep ini juga tidak dapat dijelaskan secara gamblang karena
inkonsistensi tulisan Weber yang tidak sepenuhnya selesai dalam <i>Economy and
Society</i>. Kelas dalam konsepsi Weber tidak hanya berdasarkan pada perbedaan
kepemilikan dalam ekonomi melainkan juga berhubungan dengan konsep terpisah
tentang kelas sosial. Bila secara ekonomi kelas merujuk pada kesamaan situasi
ekonomi dan kepentingan ekonomi dalam satu kelompok masyarakat, tetapi dalam
konsepsi kelas sosial hal itu tidak secara otomatis terjadi. Kelas (secara
ekonomi) tidak selalu secara langsung membentuk suatu grup atau kelompok
sosial. Individu dalam kelas-kelas ekonomi tidak memiliki kesadaran akan
persamaan situasi atau kepentingan seperti yang dimiliki suatu kelompok atau
komunitas. Jadi kelas sosial adalah kelas ekonomi yang telah memiliki rasa
persatuan dan kesadaran bersama sebagai suatu organisasi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV">Kesadaran kelas<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Menurut pandangan Weber,
munculnya Kesadaran kelas mudah sekali berkembang dalam keadaan-keadaa sebagai
berikut<a href="file:///D:/IPHOELL/KULIAH%20TUGAS/SOSIAL%20KLASIK.rtf#_ftn5" name="_ftnref5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">[5]</span></span></span></a>:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 54.0pt; mso-list: l0 level2 lfo2; text-align: justify; text-indent: -27.0pt;">
<span lang="SV">1.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';">
</span></span><span lang="SV">Musuh
kelas adalah suatu kelompok dalam persaingan ekonomi yang langsung dapat di
lihat; contoh, kelas buruh dengan sangat mudah di organisasi untuk melawan
pemegang saham akan tetapi hampir semua si pemilik pabrik dan eksekutif bisnis
yang harus menampung perlawanan kaum buruh dalam konflik upah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 54.0pt; mso-list: l0 level2 lfo2; text-align: justify; text-indent: -27.0pt;">
<span lang="SV">2.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';">
</span></span><span lang="SV">Sejumlah
besar orang-orang yang ada dalam suatu situasi kelas yang sama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 54.0pt; mso-list: l0 level2 lfo2; text-align: justify; text-indent: -27.0pt;">
<span lang="SV">3.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';">
</span></span><span lang="SV"> komunikasi dan pertemuan mudah dikordinisir.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 54.0pt; mso-list: l0 level2 lfo2; text-align: justify; text-indent: -27.0pt;">
<span lang="SV">4.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';">
</span></span><span lang="SV">Kelas
yang menjadi pokok soal, diberikan kepemimpinan, seperti saja dari kaum cendekiawan
yang menyajikan sasaran-sasaran jelas dan komprehensif bagi kegiatan mereka.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV">2. Tentang Status <o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Komplikasi atas dasar status,
bagi Weber, bukan merupakan suatu ”komplikasi” dari hirarki-hirarki kelas
semata-mata. Sebaliknya kelompok-kelompok status bisa bertindak untuk
mempengaruhi secara langsung kegiatan pasar dan sambil lalu bisa mengenakan
pengaruhnya pada pola hubungan kelas. Dengan bagaimana pengaruh ini terjadi
ialah dengan pembatasan lingkungan-lingkungan ekonomi, yang diperbolehkan untuk
dikuasai oleh pasar<a href="file:///D:/IPHOELL/KULIAH%20TUGAS/SOSIAL%20KLASIK.rtf#_ftn6" name="_ftnref6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">[6]</span></span></span></a>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Kelompok status adalah
sekelompok orang, yang mempunyai situasi status yang sama. Kelompok-kelompok
status, tidak seperti kelas-kelas, hampir selamanya menyadari posisi bersama
mereka. Dalam hubungan dengan kelas-kelas, kelompok status paling dekat kepada
kelas ”sosial” dan paling tidak mirip kepada kelas ”niaga”.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV">3. Tentang Partai<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<a href="file:///D:/IPHOELL/KULIAH%20TUGAS/SOSIAL%20KLASIK.rtf#_ftn7" name="_ftnref7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">[7]</span></span></span></span></a><span lang="SV">Baik keanggotaan Kelompok kelompok kelas
maupun kelompok status, bisa saja merupakan landasan bagi kekuasaan sosial,
akan tetapi pembentukan partai politik merupakan pengaruh lanjut dan secara
analisis atas pembagian kekuasaan. Suatu ’partai’ yang mempunyai kaitan dengan
sesuatu asosiasi sukarela apa pun mempunyai maksud memperoleh penguasaan
pengarahan sesuatu organisasi agar bisa melaksanakan kebijakan-kebijakan
tertentu di dalam organisasi tersebut. Makna dari definisi ini, adalah bahwa
partai-partai bisa berada dalam bentuk organisasi apa saja sepanjang ada
pembentukan kelompok-kelompok yang di kerahkan secara bebas, jadi bisa dari
mulai perkumpulan olah raga sampai ke negara.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Landasan untuk mendirikan
partai-partai, bahkan partai-partai modern, beraneka ragam. Suatu situasi kelas
atau situasi bersama, bisa saja menjadi dasar satu-satunya bagi penerimaan
suatu anggota partai politik, akan tetapi hal ini jarang terjadi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Pemikiran Max Weber tentang
class, status, dan party menyimpulakan, bahhwa, baik kelompok kelas dan
kelompok status bisa menjadi landasan bagi kekuatan sosial. Akan tetapi
pembentukan partai-partai politik merupakan pengaruh lanjut dan secara analisis
bebas atas pembagian kekuasaan. Suatu ”partai” yang mempunyai kaitan dengan
sesuatu asosiasi sukarela apapun mempunyai maksud memperoleh penguasaan pengarahan
sesuatu organisasi agar bisa melaksanakan kebijakan-kebijakan tertentu dalam
organisasi tersebut. Makna dari definisi ini, adalah bahwa partai-partai bisa
berada dalam bentuk apa saja sepanjang ada pembentukan kelompok-kelompok yang
dikerahkan secara bebas. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
Dizaman modern sekarang, istilah
partai tidak asing lagi. Karena dipengaruhi oleh peran media cetak dan media
elektronik serta pamflet-pamflet yang ditempel dipagar rumah, baliho dan
spanduk berjejeran di jalan raya yang mudah diakses oleh masyarakat. Kata
“partai” dulu dalam zaman keemasan para aristokrasi di gunakan untuk
menggambarkan faksi-faksi dalam republik masa lalu, pasukan-pasukan yang
terbentuk pada masa Renaisance Italia, kelab-kelab tempat berkumpul anggota
dewan-dewan revolusi, komite-komite yang mempersiapkan pemilihan umum dalam
monarki konstitusional, dan organisasi-organisasi sosial yang membentuk opini
publik dalam negara-negara demokrasi modern. Menurut Maurice Duverger<a href="file:///D:/IPHOELL/KULIAH%20TUGAS/SOSIAL%20KLASIK.rtf#_ftn8" name="_ftnref8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">[8]</span></span></span></a>,
penggunaaan nama yang sama itu dapat dibenarkan karena memiliki hubungan yang
mendasarinya, semua lembaga ini berperan memenangkan kekuasaan politik dan
menerapkan-nya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Landasan untuk mendirikan
partai, bahkan partai-partai modern, beraneka ragam. Suatu situasi kelas atau
situasi bersama, bisa saja menjadi satu-satunya bagi penerimaan anggota suatu
partai politik, tetapi hal ini jarang terjadi, didalam tiap kasus khusus, partai-partai
bisa mewakili kepentingan yang di tentukan oleh situasi kelas atau situasi
status.....akan tetapi partai-partai itu tidak perlu merupakan partai kelas
murni ataupun partai status murni; dalam kenyataan, partai-partai lebih mungkin
menjadi jenis-jenis campuran, bahkan kadang-kadang diluar pembagian seperti
itu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="FI">Hebert Feith dan Lance Castle</span><a href="file:///D:/IPHOELL/KULIAH%20TUGAS/SOSIAL%20KLASIK.rtf#_ftn9" name="_ftnref9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">[9]</span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> </span><span lang="FI">menggunakan pemikiran Weber dalam menganalisis masyarakat politik Indonesia
pasca kemerdekaan, yaitu dari tahun 1945 sampai pada tahun 1965. menurut pakar
politik Indonesianis ini bahwa dalam masyarakat Indonesia terdapat lima aliran
politik, yaitu Islam, Nasionalisme Radikal, Komunisme, Sosialisme Demokrat, dan
Tradisionalisme Jawa. Aliran-aliran politik itu kemudian berwujud dalam bentuk
partai politik. Masyumi dan NU sebagai perwujudan aliran politik Islam, PNI
sebagai perwujudan Nasionalisme Radikal, PKI sebagai perwujudan Komunisme, dan
PSI sebagai perwujudan Sosialisme Demokrat. Sementara aliran Tradisonalisme Jawa
meskipun tidak dalam wujud partai politik yang besar, ia mempengaruhi partai
politik seperti NU, PKI, dan PNI. Akibat banyaknya aliran politik </span><span lang="SV">tersebut</span><span lang="FI">.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
Dalam melihat tentang kemungkinan
terjadinya pembentukan partai politik diluar kesamaan status dan kelas weber.
Josep Lapalombara dan Myron Weiner melihat
terbentuknya sebuah partai<a href="file:///D:/IPHOELL/KULIAH%20TUGAS/SOSIAL%20KLASIK.rtf#_ftn10" name="_ftnref10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">[10]</span></span></span></a>. <i>Pertama</i>,
teori kelembagaan yang melihat ada hubungan antara parlemen awal dan timbulnya
partai politik. <i>Kedua</i>, teori situasi historis yang melihat timbulnya
partai politik sebagai upaya suatu sistem politik untuk mengatasi krisis yang
ditimbulkan dengan perubahan masyarakat secara luas. <i>Ketiga,</i> teori
pembangunan yang melihat partai politik sebagai produk modernisasi sosial
ekonomi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<i>Teori pertama</i> mengatakan partai politik dibentuk oleh kalangan
legislatif dan eksekutif ini disebabkan karena kebutuhan para anggota parlemen
(yang ditentukan berdasarkan pengangkatan) untuk mengadakan kontak dengan
masyarakat dan membina dukungan dari masyarakat. Setelah partai politik
terbentuk dan menjalankan fungsi, kemudian muncul partai politik lain yang
dibentuk oleh kalangan masyarakat. Partai politik terakhir ini biasanya
dibentuk oleh pemimpin masyarakat yang sadar politik berdasarkan penilaian
bahwa partai politik yang dibentuk pemerintah tidak mampu menanmpung dan
memperjuangkan kepentingan mereka (rakyat). Hal terakhir ini sering kita temui
dalam sejarah bangsa negara di Dunia.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<i>Teori kedua</i> menjelaskan krisis situasi historis terjadi
manakalah suatu sistem politik mengalami masa transisi karena perubahan
masyarakat dari bentuk tradisional yang berstruktur sederhana menjadi
masyarakat modern yang berstruktur kompleks. Pada situasi ini terjadi berbagai
perubahan, seperti pertambahan penduduk karena perbaiki fasilitas kesehatan,
perluasan pendidikan, mobilitas okupasi, perubahan pola pertanian dan industri,
partisipasi media, urbanisasi, ekonomi berorientasi pasar, peningkatan aspirasi
dan harapan-harapn baru, dan munculnya gerakan populis. Perubaha-perubahan itu
menimbulkan tiga macam krisis, yakni legitimasi, integrasi, dan
partisipasi. Artinya, perubahan-perubahan mengakibatkan masyarakat
mempertanyakan prinsip-prinsip yang mendasari legititimasi kewenangan pihak
yang memerintah; menimbulkan masalah dalam identitas yang menyatukan masyarakat
sebagai suatu bangsa; dan mengakibatkan timbulnya tuntutan yang semakin besar
dalam proses politik. Untuk mengatasi tiga permasalah ini lah partai politik
dibentuk. Partai politik yang berakar kuat dalam masyarakat diharapkan dapat
mengendalikan pemerintahan sehingga terbentuk semacam pola hubungan kewenangan
yang berlegitimasi antara pemerintah dan masyarakat. Partai politik yang
terbuka bagi setiap anggota masyarakat dan beranggotakan pelbagai etnis, agama,
daerah, dan pelapisan sosial ekonomi diharapkan dapat berperan sebagai
pengintegrasi bangsa. Selanjutnya partai politik ikut serta dalam pemilihan
umum sebagai sarana konstitusional mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan
diharapkan dapat pula berperan sebagai saluran partisipasi masyarakat.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<i>Teori ketiga</i> melihat modernisasi sosial ekonomi, seperti
pembangunan teknologi kominkasi berupa media massa dan transportasi, perluasan
dan peningkatan pendidikan, industrialisasi, urbanisasi, perluasan kekuasaan
negara seperti birokratisasi, pembentukan berbagai kelompok kepentingan dan
organisasi profesi, dan penigkatan kemampuan individu yang mempengaruhi
lingkungan, melahirkan suatu kebutuhan akan suatu organisasi plitik yang mampu
memadukan dan memperjuangkan berbgai aspirasi tersebut. Jadi, partai politik
merupakan produk logis dari modernisasi sosial ekonimi. Teori ketiga memiliki
kesamaan dengan teori kedua, bahwa partai politik berkaitan dengan perubahan
yang ditimbulkan modernisasi. Perbendaan kedua teori ini terletak dalam proses
pembentukannya. Teori kedua mengatakan perubahan menimbulkan tiga krisis,
sedangkan teori ketigan mengatan perubahan-perubahan itulah yang melahirkan
kebutuhan adanya partai politik.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV">Kelas, Status dan Partai sebagai Sumber
Kekuasaan<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Pembentukan kelas-kelas yang
berbeda dalam struktur dalam masyarakat, menurut Weber, harus didasarkan pada
pluralitas sumber-sumbernya. Analisa pada fenomena ketidaksetaraan kelas harus
dipadukan dengan dua ide yang sebenarnya berbeda </span>secara<span lang="SV"> konseptual dengan
kela stetapi turut berperan dalam pembentukan perbedaan kelas dalam realitas
sosial. Konsep-konsep tersebut adalah status dan partai.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Telah diuraikan diatas bahwa
kelas adalah kategori yang bersifat individual berdasarkan kemampuan baik dalam
hal ketrampilan maupun modal dalam sistem ekonomi (pasar). Status yang terdapat
secara inheren dalam masyarakat, sangat berbeda dengan kelas. Masyarakat bagi
Weber bukan hanya sekumpulan individu yang hidup bersama namun juga memiliki
perasaan subyektif tentang keanggotaan bersama dan kesadaran kelompok yang
terdefinisikan dengan baik. Status dalam masyarkat merupakan ciri khas gaya
hidup atau cara mengatur kehidupan yang membedakannya dengan kelompok lain.
Bila kelas keanggotaannya diakui lewat kekuatan ekonomi, status didapatkan dari
sumber-sumber non-ekonomi seperti kehormatan sosial atau prestise yang
didistribusikan dengan model-model tertentu. Jadi ada dua sistem representasi
kekuasaan yang berlaku secara bersamaan dalam masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
Namun<span lang="SV"> adakalanya dua sistem ini saling berhubungan,
dalam artian individu yang menduduki kelas atas (secara ekonomi) juga memiliki
status sosial yang tinggi pula. Dan bila status ini diakui dan dinyatakan dalam
bentuk interaksi nyata antar anggota masyarakat maka telah terdapat kesadaran
akan posisi dan perasaan in group yang kuat dari masing-masing anggotanya
sehingga munculkan kelas sosial. Peranan sistem status dalam membentuk kelas
sosial ini tampak nyata bila dalam perilaku keseharian seseorang akan memilih
bergaul dengan orang lain yang mempunyai latar belakang yang sama baik secara
sosial maupun ekonomi, jadi ada kesadaran kelas yang menyatukan mereka lebih
dekat bila dibandingkan dengan orang lain dari kelas maupun status yang
berbeda.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Dengan analisa struktur masyarakat
yang lebih plural ini </span>Weber<span lang="SV"> ingin menunjukkan bahwa ada sumber-sumber
kekuasaan lain selain ekonomi dalam struktur masyarakat. Jadi ada kemungkinan
bagi individu untuk mengusahakan mobilitas vertikal dalam struktur sosial
melalui jalan lain selain ekonomi. Hal ini juga menjelaskan sumber-sumber
kemampuan aktor seperti Paus atau Karrdinal dalam mempengaruhi tindakan Raja
atau para Bangsawan lain yangg notabene menduduki kelas tertinggi dalam
ekonomi. Sumber kekuatan aktor seperti ini bukan dari sistem pasar ekonomis
seperti yang tampak nyata dalam masyarakat namun berasal dari pemaknaan
subyektif masyarakat yang menempatkan agama sebagai bagian penting dalam
kehidupan masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Kosep ketiga yang termasuk
dalam bahasan distribusi kekuasaan dalam masyarakat perspektif Weberian adalah
Partai. Partai dalam konsepsi Weber adalah asosiasi volunter pada sebuah sistem
organisasi kolektif dalam mengejar kepentingan bersama. Partai yang diasumsikan
oleh Weber lebih mengarah pada organisasi kepentingan atau profesi yang
berfungsi sebagai kelompok penekan bukan partai politik seperti yang umumnya
kita kenal. contohnya seperti Asosiasi Konsumen, Perkumpulan Dokter dan
lain-lain.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Seperti juga pada keanggotaan
kelas sosial dan kelompok status, dalam partai ini juga terdapat kesadaran
kolektif dan solidaritas karena pada dasarnya pada kondisi tertentu kelompok
status dan kelas sosial itu sendiri bisa dikatakan sebagai partai. Perbedaannya
hanya pada bentuk formal organisasi dan administratif yang merepresentasi kelompok
tersebut. Jadi, tidak semua kelas sosial atau kelompok status adalah partai
begitupun sebaliknya. Overlapping konseptual ini menegaskan pluralitas dan
konpleksitas struktur sosial Weberian. Partai, seperti juga kelas dan kelompok
status, juga merupakan kekuatan sosial yang turut berperan dalam membentuk
struktur sosial.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV">Kuasa, Dominasi dan Wewenang<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Power merupakan salah satu
konsep sentral dalam sosiologi Weberian terutama dalam hubungannya denga kajian
social inequality. Dalam pandangan Weber, ketidaksetaraan dalam masyarakat
merupakan buah dari perbedaan pencapaian individual dalam konteks pergulatan
sosial (persaingan dan pertentangan antar kepentingan). Pergulatan ini adalah
esensi makna dari politik menurut Weber. Power adalah faktor yang penentu hasil
pergulatan sosial sekaligus yang menjaga kondisi ketidak-setaraan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Power dalam definisi Weber
adalah “kemungkinan individu, aktor dalam hubungan sosialnya berada dalam satu
posisi yang mampu menyatakan kepentingannya tanpa mendapatkan tentangan”. Definisi
ini membawa beberapa konsekuensi pada sifat kekuasaan itu sendiri yang
sporadis, dan dapat berubah sewaktu-waktu. Sedangkan dominasi, dalam perspektif
Weber, adalah bentuk khusus dari power. Dominasi adalah kondisi aktual power
dalam konteks hubungan sosial ketika individu atau kelompok menerima posisi
tertentu dalam kerangka struktural tertentu sebagai penerima perintah dari
kelompok dominan. Dominasi menunjukkan adanya pola reguler yang dibangun untuk
menunjukkan ketidaksetaraan berdasarkan power. Perbedaan antara power dan
dominasi ini memungkinkan kita menganalisa praktik power sebagai suatu tindakan
berkelanjutan dalam kerangka ketidaksetaraan sosial sebagai fenomena yang
terstruktur. Jadi dominasi menjadikan power lebih bersifat tetap dan berkelanjutan
dalam tataran praksis daripada pada level definisi seperti pada awalnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Secara operasional, konsep
dominasi ini dapat dihubungkan dengan kategorisasi struktur masyarkat yang
telah disusun oleh Weber sebelumnya yaitu kelas sosial, kelompok status, dan
partai. Ketiga kategori dalam struktur masyarakat ini merupakan prinsip-prinsip
dasar dalam praksis kekuasaan dalam realitas sosial. Dengan kata lain, anggota
dari kelas sosial, kelompok status dan partai yang dominan dalan masyarakat
akan dapat menyatakan kepentingannya secara reguler dalam satu struktur
masyarakt tertentu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Konsep selanjutnya akan
membahas alasan individu atau masyarakat yang berada pada level bawah mau
menerima posisi mereka yang tersubordinasi. Dalam pemikiran Weber, salah satu
alasannya adalah adanya legitimasi yang menajadikan kelas-kelas atas mempunyai
keabsahan untuk melakukan dominasi. Ada tiga macam legitimasi yang diajukan
oleh Weber untuk menjelaskan fenomena dominasi dalam masyarakat berdasarkan
sumber-sumbernya. Pertama adalah legitimasi yang didapatkan dari kualitas
individual seorang pemimpin yang acapkali disebut sebagai legimasi karismatik.
Kualitas inimeliputi kepemimpinan, wibawa, popularitas. Kedua adalah legitimasi
yang didapatkan dari hukum atau peraturan yang telah ditetapkan, yang disebut
legal legitimacy. Ketiga adalah legitimasi yang didapatkan dari hak-hak
tradisional untuk memimpin oleh individu atau kelompok tertentu yang dianggap
lebih tinggi kedudukannya oleh masyarakat, disebut traditional authority.
Selain legitimasi, ada banyak faktor lain yang dapat menjadi alasan penerimaan
atau kepatuhan individu dan masyarakat terhadap dominasi. Faktor tersebut
antara lain kebiasaan yang tidak pernah dipikirkan lebih jauh, konvensi, dan
lain-lain. Subjek yang tersubordinasi dan menjadi objek dominasi hampir tidak
memilki kesempatan untuk berubah karena adanya kepentingan individual tertentu,
ketakutan terhadap penggunaan kekuatan fisik dan lain-lain.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Uraian di atas menunjukkan
berbagai variasi faktor-faktor dominasi dan legitimasi yang masih konsisten
dengan pluralitas Weber. Elaborasi berbagai konsep legitimasi ini juga
menunjukkan bukti pandangan awal Weber tentang kompleksitas dalam proses
pembentukan realitas sosial sehingga perlu diperhitungkan dalam menganalisa
fenomena sosial. Kompleksitas ini berguna dalam pengmbangan konsep power
sebagai konsep yang bersifat pivotal untuk memahami ketidaksetaraan yang
terjadi baik dalam level kelompok sosial yang dibedakan berdasarkan ras,
gender, etnisitas dan usia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV">D. KESIMPULAN<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Bagi Weber terkait dengan
adanya posisi ekonomi sebagai dasar kelas sebagaimana menurt Karl Marx tidak
keberatan, hanya saja ia menambahkan dua elemen lain yaitu kelompok status dan
kekuasaan politik (party). Ketiga dimensi ini bisa tumpang tindih dengan salah
satu atau keduanya dalam banyak keadaan dan situasi. Namun, dalam hal lain
berbeda dan bisa berdiri sendiri. Karena menurut Weber, struktur kekuasaan
tidak harus setara dengan struktur otoritas. Otoritas adalah kemungkinan
seseorang akan di taati atas dasar suatu kepercayaan akan legitimasi haknya
untuk mempengaruhi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV">Pembentukan kelas-kelas yang
berbeda dalam struktur masyarakat, menurut Weber, harus didasarkan pada
pluralitas sumber-sumbernya. Analisa pada fenomena ketidaksetaraan kelas harus
dipadukan dengan dua ide yang sebenarnya berbeda secara konseptual dengan kelas
tetapi turut berperan dalam pembentukan perbedaan kelas dalam realitas sosial.
Konsep-konsep tersebut adalah status dan partai.</span><br />
<b style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="EN-US"><br /></span></b><br />
<b style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="EN-US"><br /></span></b><br />
<b style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="EN-US"><br /></span></b><br />
<b style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="EN-US"><br /></span></b><br />
<b style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="EN-US"><br /></span></b><br />
<b style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="EN-US"><br /></span></b><br />
<b style="line-height: 150%; text-align: center;"><span lang="EN-US">DAFTAR BACAAN</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="line-height: 150%; text-indent: -27pt;">Anthony Giddens. Capitalism and
Modern sosial theory analysis of wrinting of Marx, durkheim and Max Weber. </span><span lang="SV" style="line-height: 150%; text-indent: -27pt;">Cabridge University Press; London.
Diterjemah oleh Soeheba Kamadibrata, 1986, ”Kapitalisme dan Teori Sosial
Modern. Suatu analisis karya tulis Marx, Durkheim dan Max weber”. UI Press
jakarta.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 27.0pt; text-align: justify; text-indent: -27.0pt;">
<span lang="SV">Doyle Paul
Jhonson, 1986. T<i>eori Sosial Klasik Dan Modern</i>. Penerjemah Robert, M.Z.
lawang, PT Gramedia, jakarta<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 27.0pt; text-align: justify; text-indent: -27.0pt;">
<span lang="SV">Riswanda
Imawa. <i>Membedah Politik Orde Baru</i>. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Cetakan
1 Februari 1997.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="SV">Ramlan Surbakti. <i>Memahami
Ilmu Politik</i>. Jakarta. PT Gramedia Widiasarana. 1999.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 27.0pt; text-align: justify; text-indent: -27.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 27.0pt; text-align: justify; text-indent: -27.0pt;">
<span lang="SV">Lili
Romli. <i>Islam yes, partai islam yes. Sejarah perkembangan partai-partai Islam
di Indonesia</i>. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 2006.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div>
<br />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///D:/IPHOELL/KULIAH%20TUGAS/SOSIAL%20KLASIK.rtf#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;">[1]</span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> Anthony Giddens. <i>Capitalism and Modern sosial theory analysis of
wrinting of Marx, durkheim and Max Weber.</i> </span><span lang="SV">Cabridge University Press; London. Diterjemah oleh
Soeheba Kamadibrata, 1986, ”<i>Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Suatu
analisis karya tulis Marx, Durkheim dan Max weber</i>”. UI Press jakarta, hlm 200 </span><span lang="EN-US"><o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn2">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///D:/IPHOELL/KULIAH%20TUGAS/SOSIAL%20KLASIK.rtf#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;">[2]</span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> Anthony Giddens. <i>Ibid</i> hlm 201<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn3">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///D:/IPHOELL/KULIAH%20TUGAS/SOSIAL%20KLASIK.rtf#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;">[3]</span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> <i>Ibid</i>. hlm 202<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn4">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///D:/IPHOELL/KULIAH%20TUGAS/SOSIAL%20KLASIK.rtf#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;">[4]</span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> <i>Ibid</i> hlm 202<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn5">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///D:/IPHOELL/KULIAH%20TUGAS/SOSIAL%20KLASIK.rtf#_ftnref5" name="_ftn5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;">[5]</span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> <i>Ibid</i>. hlm 203-204<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn6">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///D:/IPHOELL/KULIAH%20TUGAS/SOSIAL%20KLASIK.rtf#_ftnref6" name="_ftn6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;">[6]</span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> <i>Ibid</i>. hlm 205<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn7">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///D:/IPHOELL/KULIAH%20TUGAS/SOSIAL%20KLASIK.rtf#_ftnref7" name="_ftn7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;">[7]</span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> </span><i><span lang="SV">Ibid</span></i><span lang="SV">. hlm 209</span><span lang="EN-US"><o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn8">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///D:/IPHOELL/KULIAH%20TUGAS/SOSIAL%20KLASIK.rtf#_ftnref8" name="_ftn8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: Tahoma, sans-serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 10pt;">[8]</span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> </span><span lang="SV" style="font-size: 9pt;">Maurice Duverger dalam Riswanda Imawa. <i>Membedah
Politik Orde Baru. </i>Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Cetakan 1 Februari 1997.</span><span lang="EN-US"><o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn9">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 9.35pt; text-align: justify; text-indent: -9.35pt;">
<a href="file:///D:/IPHOELL/KULIAH%20TUGAS/SOSIAL%20KLASIK.rtf#_ftnref9" name="_ftn9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 9pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 9pt;">[9]</span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-size: 9pt;"> Hebert Feith dan Lance
Castle dalam Lili Romli. </span><i><span lang="EN-US" style="font-size: 9pt;">Islam
Yes, Partai Islam Yes</span></i><span lang="EN-US" style="font-size: 9pt;">. </span><span lang="FI" style="font-size: 9pt;">Sejarah <i>perkembangan
partai-partai islam di Indonesia</i>. Yogyakarta, diterbitkan atas kerjasama
pustaka pelajar. </span><span lang="SV" style="font-size: 9pt;">2006, Hal 107-108 </span><span lang="EN-US"><o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn10">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 9.35pt; tab-stops: 177.65pt; text-align: justify; text-indent: -9.35pt;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<a href="file:///D:/IPHOELL/KULIAH%20TUGAS/SOSIAL%20KLASIK.rtf#_ftnref10" name="_ftn10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 9pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 9pt;">[10]</span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-size: 9pt;"> Josep Lapalombara dan Myron Weiner. </span><span lang="EN-US" style="font-size: 9pt;">1966. “<i>The Origin And Development Of Polical Parties</i>”
dalam bukunya yang mereka sunting. <i>Polical Parties And Political Development</i>.
Princeton: Princeton University Press. Hal 7-12. dalam Ramlan Surbakti. </span><i><span lang="SV" style="font-size: 9pt;">Memahami Ilmu Politik</span></i><span lang="SV" style="font-size: 9pt;">. Jakarta. PT Gramedia
Widiasarana. 1999. Hal 113 </span><span lang="EN-US"><o:p></o:p></span></div>
</div>
</div>Saifullah Ibnuhttp://www.blogger.com/profile/11480039276060922446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-335071561411262022.post-66617903248882650522012-02-23T00:52:00.000-08:002012-02-23T00:52:06.850-08:00PEMIKIRAN POLITIK MUHAMMAD HATTA TENTANG “DEMOKRASI EKONOMI”<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span style="line-height: 18px;"><b><br /></b></span></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span style="line-height: 18px;"><b><br /></b></span></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 4.5pt; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: 22.5pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<!--[if !supportLists]--><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">A.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></b><!--[endif]--><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">DESKRIPSI PEMIKIRAN
MOHAMMAD HATTA<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; margin-left: 4.5pt; tab-stops: 22.5pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Bung
Hatta adalah salah satu <i>the founding father</i> dan tokoh proklator republik
indonesia bersama soekarno. Dalam sejarah percaturan politik dan pemikiran
politik diindonesia pada masa kolonialisme dan pendudukan jepang sserta pada
era kemerdekaan mereka menjadi aikon bangsa indonesia dalam merancang indonesia
yang merdeka dan beraulat, berkesejahteraan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Sekilas menelusuri kehidupan pribadin Hatta (1902-1980),
keluarganya, serta pendidikan dan perjuangan politiknya sangat penting karena
sangat berpengaruh dalam bentuk cara berpikir. Hatta ketika kecil di Minagkabau
terjaadi gejolak dan peperangan akibat prilaku kolonial belanda banyak berbuat
tidak adil dan semena-mena pada rakyat.sehingga berakhir pada peperangan antara
nagari kamang bukittiggi dengan pmerintah kolonial belanda pada 1908. Hatta disekolahkan oleh oran
tuanya di Sekolah Rakyat, hanya tiga tahun ia pindah kesekolah belanda,yakni
Europese Lagere School (ELS). kemudian dia kuliah di belanda di Handels Hoogere
School, dengan mengambil jurusan ekonomi perdaganga. Perjuangan Hatta pada
pergulatan politik yang mempengaruhi pembentukkan kepribadiannya adalah ikut
terlibat dalam kegiatab Jon Sumatrane Bon (JSB), serta pergaulannya dengan
orang terkemuka dijakarta. Antara lain H Agus Slamim, Abdoel Moeis. Dibelanda
Hatta pernah memimpin Perhimpunan Indonesia (PI), melalui organisasi ini dia
menegaskan perlunya sikap Nonkooperatif untuk mengusir imperialisme Belanda
demi tercapainya indonesia merdeka. Melalui semboyang “indonesia merdeka
sekarang juga!” Hatta menghadiri forum internasional atau kongres anti inperialisme.
Pada kongres anti imperialisme di Brussel pada 1927 dia berkenalan dengan tokoh
dari belahan negara lain seperti tokoh pergerakn India Pandit Jawarha
Nehru. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Atas hasil pergulatannya dengan dunia luar dan dalam
negri Bug Hatta menjadi tokoh yang menakutkan bagi Belannda dengan ketajaman
berpikirnya. Memang menyelami pemikiran politik Hatta tentang politik
keindonesia ibarat menyelam samudra luas. Begitu luas pemmaham yang beliau
sumbagkan tentang konsep Negara yang ideal bagi tegaknya indosesia yang
beradab, mandiri, dan sejahterah. Ada beberapa hal penting pemikiran politik
Bung Hatta yang tersohor tentang “Demokrasi Ekonomi” yang mendampingi
“demokrasi politik” antara lain:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Menurut Hatta kerakyatan dalam sistem ekonomi
mengetengahkan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat, khusunya hajat hidup
orang banyak,yang bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena
itu tidak berlaku sisem “ortodoksi ekonomi” sebagaimana pula demokrasi politick
menolak “otokrasi politik”. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Dalam demokrasi ekonomi yang diajukan Bung Hatta berlaku
“parisipasi ekonomi”, dan “emansipasi ekonomi”. Denokrasi itulah yang
dimaksudnnya yang bermakna pada paham kerakyatan, bahwa rakyat adalah
berdaulat.Bagaimana menegakkan dan menciptakan suatu masyarakat yang baik dan
sejahterah. Untuk mencapai itu menurut Hatta, <i>Pertama</i>, harus ada jiwa
dan semangat tolong menolong antara anggota dan warga masyarakat. <i>Kedua</i>,
negara (politik) harus bersifat aktif dan tidak hanya menyerahkan sepenuhnya
persoalan ekonomi kepada mekanisme pasar swasta dan koperasi. Bagi Bung Hatta
kondisi seperti itu bisa menciptakan efisiensi yang tinggi sehingga mampu
mengantarkan masyarakat pada tingkat kesejahteraan yang diharapkan. Atas
pemikiran itu Hatta di juluki sebaga bapak kedaulatan, bapak koperasi (ekonomi)
bangsa ini. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Atas pemikiran-politik tentang kedaulatan rakyat tersebut
Bung Hatta mengalami tudingan oleh kawan-kawan seperjuangannya dan para
analisis tentang pokok ajaran pikirannya tentang demokrasi politik dan
demokrasi ekonomi dikemudian hari. Misalnya dalam konteks pemikiran islam
perannya dalam menghapus tujuh (7) kata Piagam jakkarta menjelang proklamasi
kemerdekaan, telah menyebabkan dirinya tidak sebagai kelompk islam. Misalnya Ki
Bagus Hadikusumo, Abdul Khar Muzakkar, M. Natsir, Syafruddin Prawira Negara dan
lain-lain. Mengatakan sebagai “kelompok nasionalis” seperti Soekarno, dan
Sjahrir.Hatta juga dicap sebagai kelompok “Nasionalis Sekuler” sebagai
antitesis dari nasionalis islam. Demiian yang dikatakan TH. Sumartana dan MC
Ricklefs. Lain dari pada itu, Endang Saifunddi Anshari mengatakan Hatta adalah
“nasionalis muslim sekuler.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 4.5pt; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: 22.5pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<!--[if !supportLists]--><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">B.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></b><!--[endif]--><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">ANALISIS PEMIKIRAN
MOHAMMAD HATTA<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 4.5pt; tab-stops: 22.5pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; tab-stops: 22.5pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Benarkah Hatta
meningtroduksi pemikiran Barat (sekuler)?. seperti yang dialamatkan oleh
diatas. Menurut Nurcholish Madjid Hatta mengiginkan semua kegiatan kenegaraan
harus berlangsung dibawah sinar ketuhanan yang maha esa, dengan begitu kegiatan
kenegaraan kita memiliki dasar metafisik sehingga menghasilkan komitmen yang
total, yang tumbuh dari kesadaran bahwa semua perbuatan dan tingkah laku
manusia adalah bermakna dan akan dipertanggungjawabkan di hadapan tuhan.
Nasioanalis sekuler adalah “salah kaprah”. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; tab-stops: 22.5pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Lepas dari dikotomi
antara nasionalis islam dan nasionalis sekuler. Pada pokoknya Pemikirin
“Demokrasi Ekonomi” Hatta hemat saya ada beberapa hal yang beliau harapkan
adalah membangun masyarakat yang sejahterah (kedaulatan kerakyatan),. Negara
yang kuat secara ekonomi, dan berakhir pada kedaulatan kerakyatan. Namun
sesungguhnya ada beberapa kelemahan pemikiran tersebut. Semangat tolong
menolong antara anggota dan warga masyarakat. Serta<i> </i>negara (politik)
harus bersifat aktif dan tidak hanya menyerahkan sepenuhnya persoalan ekonomi
kepada mekanisme pasar swasta dan koperasi. Semangat nasionalisme rakyat dan
elit Negara yang menyatu, dan berkeadilan tidak dipikirkan. Padahal menurut
penulis terciptanya semangat kebersamaan (gotong royong) dan adanya otoritas
Negara dalam mengatur dan mengawal pengelolaan sumber ekonomi masyarakat
berawal dari itu. Itulah kelemahan “Demokrasi Ekonomi” Bung Hatta sekiranya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; tab-stops: 22.5pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; tab-stops: 22.5pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; tab-stops: 22.5pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; tab-stops: 22.5pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; tab-stops: 22.5pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; tab-stops: 22.5pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; tab-stops: 22.5pt; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Buku Bacaan:<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; tab-stops: 22.5pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">ANWAR ABAS. BUNG
HATTA DAN EKONOMI ISLAM. <i>Pergulatan Menangkap Makna Keadilan Dan
Kesejahteraan.</i>DITERBITKAN LP3M STIE Ahmad Dahlan Jakarta. </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">2008.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>Saifullah Ibnuhttp://www.blogger.com/profile/11480039276060922446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-335071561411262022.post-42003333907253330682012-02-23T00:50:00.001-08:002012-02-23T00:50:25.408-08:00F A S I S M E- CRITICAL REVIEW<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 27.0pt;">
<b style="line-height: 150%; text-indent: 27pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";"> </span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 27.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">A.
Ringkasan <o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Sebagaimana kita ketahui dari studi penelusuran teoritis, bahwa Istilah
fasisme dikembangkan dari istilah latin ”fasces” yang merupakan simbol
kekuasaan pada jaman Romawi kuno. Di Italia dikenal pula istilah ”fascio”
dengan arti dan konotasi yang sama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Fasisme muncul dan dikenal luas di italia setelah perang duania I sebagai
gerakan politik dan sempat menguasai negara itu dari tahun 1922 sampai1943.
tetapi sebelum itu, telah dikenal istilah ”fasci” yang sering kali diartikan
sebagai kelompok politik yang memperjuangkan tujuan-tujuan tertentu. Fasisme
sebagai gerakan politik lebih esklusif sifatnya setelah dikaitkan dengan
gerakan-gerakan yang diorganisasi oleh Benito Mussolini pada tahun 1919.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Rene Albrecht- Carie berpendapat bahwa Mussolini dan Nazisme Hilter sangat
dipengaruhi oleh pemikiran Fichte dan Hegel. Dalam hubungan ini bisa dikatakan
bahwa Fasisme tidak lain merupakan perkembangan radikal dari teori negara
Hegel. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Disamping berusaha untuk mewujudkan cita-cita Hegel. Fasisme juga cenderung
menganut moralisme idela yang selalu didengungkan Hegel dan diperjuangkan pula
oleh Fichte, Green, Carlyle atau pun Mazzini. Sesuai dengan ajaran tersebut,
orang seyogyanya lebih menuntut kebijakan daripada sekedar memenuhi kesenangan
pribadi, ia harus lebih mementingkan tugas dan kewajiban dari pada hanya
menuntut haknya semata-mata, dan pengorbanan diri atas nama masyarakat harus
dilaksanakan atas dasar kepentingan diri sendiri (self interest).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Fasisme adalah peberontakan kedua setelah pemberontakan komunisme pada abad
ke 20 terhadap cara hidup barat yang liberal. Fasisme adalah pengaturan
pemerintahan dan masyarakat secara totaliter oleh satu kediktatoran partai
tunggal yang sangat nasionalis, rasialis, militeris, dan imperialis. Negara
yang pertama menjadi fasis italia (1922), disusul oleh Jerman (1933), dan
Spanyol (1939). Di Asia, Jepang (1930-an) dengan mengembangkan sedikit demi
sedikit lembaga-lembaga totaliter dari warisan pribuminya sendiri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Apabila komunisme adalah satu bentuk sistem totaliter yang secara khas ada
hubungannya dengan bangsa-bangsa yang melarat dan terbelakang, seperti, (Rusia
di Eropa, dan Tiongkok di Asia). Maka, Fasisme adalah bentuk sistem totaliter
yang secara khas pula tumbuh di kalangan bagsa-bangsa yang lebih berada dan
secara teknologis lebih maju, (Jerman, di Eropa, Jepang di Asia). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Apabila komunisme sebagian besar adalah hasil dari masyarakat-masyarakat
pra-idemokrasi dan pra-indistri, maka Fasisme adalah paham yang lahir setelah
demokrasi dan industri. Pertama adanya demokrasi, Fasisme tidak mungkin lahir
di negara-negara yang belum mempunyai pengalaman demokrasi sama sekali. Syarat kedua
yang perlu bagi pertumbuhan fasisme adalah tingkat perkembangan industri yang
cukup maju. Sedikitnya ada dua titik pokok antara fasisme dan indutrialisasi
yang relatif maju. Pertama, teror dan propaganda fasis banyak memerlukan
organisasi dan ”knowhow” teknologi. Kedua, sebagai sistem <i>mobilisasi
permanen untuk perang</i>, fasisme tidak dapat berharap akan berhasil tampa
punya cukup banyak persediaan kecakapan dan sumber-sumber industri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Jadi secara singkat perbedaan Komunisme dan Fasisme adalah sebagai berikut.
Komunisme adalah cara totaliter untuk mengindustrialisasi suatu masyarakat yang
terbelakang, sedangkan Fasisme adalah cara totaliter untuk menyelesaikan
konflik-konflik dalam satu masyarakat yang telah lebih maju industrinya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Fasisme
Merupakan Ideologi<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Fasisme, sebagaimana dikemukan oleh Mussolini sendiri, merupakan satu ideologi
yang menerima ajaran-ajaran oportunisme Machiavelli, Absolutisme Politik Hegel,
ajaran kekuasaan Sorel, dan model-model pragmatisme William James. Selain itu
juga ditegaskan bahwa Fasisme bukalah ideologi yang bersifat digmatisme dan
kaku, akan tetapi dipandang sebagai ideologi yang luwes dimana ajaran-ajarannya
diterima sebagai sebagai sesuatu kenyataan darurat sesuai dengan suasana yang
ada dalam masyarakat dan negara. Hakekat Fasisme adalah kepercayaan dan instink,
dan bukan akal atau ajaran.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Fasisme menolok gerakan Pasifisme, Menolak Demokrasi, Liberalisme. Fasisme
lebih cenderung mendekati nasionalisme dan imperealisme, serta lebih tertarik kepada
tradisi pada jaman Romawi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Unsur-Unsur
Doktrin Politik Fasis<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Meskipun dikalangan kaum fasis tidak terdapat manifesto fasis dengan
otoritas yang tidak diperdebatkan, tidak terlalu sukar untuk menerangkan
unsur-unsur utama dari pandangan fasis:<o:p></o:p></span></div>
<ol start="1" style="margin-top: 0cm;" type="a">
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 36.0pt; text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Ketidak percayaan akan pertimbangan akal;<o:p></o:p></span></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Tradisi rasional Barat yang berasal dari yunani. Fasisme menolak Yunani
sebagai tempat asal peradaban Barat dan secara terus terang anti rasinalitas.
Tidak percaya akan pentingnya akal dalam unsur-unsur kemanusiaan. Cenderung
meletakan titik berat pada unsur-unsur yang tidak rasional, sentimentil, dan
tidak bisa di kontrol pada manusia. Secara psikologis, fasisme lebih fanatik
dari pada mempunyai pertimbangan, lebig dogmatis dari pada berpikir terbuka.
Oleh karena itu setiap rezim Fasisme mempunyai ”taboo”-nya, seperti soal suku
bangsa, kerajaan, pemimpin. Sifat sesuatu daru ”taboo” adalah harus diterima
atas dasar kepercayaan dan tidak dapat dipersoalkan secara kritis. Selama rezim
fasis berkuasa di Italia (1922-1945), gambar Mussolini diperlihatkan di setiap
ruangangan kelas dengan tulisan ”Mussolini adalah senantiasa benar”.<o:p></o:p></span></div>
<ol start="2" style="margin-top: 0cm;" type="a">
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 36.0pt; text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Penyangkalan terhadap persamaan manusia pada
dasarnya;<o:p></o:p></span></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Pada dasarnya adalah sikap yang sama-sama di miliki oleh gerakan-gerakan
dan negara-negara fasis (juga Komunis). Memang benar bahwa masyarakat
demokratis tidak selalu mempraktekkan cita-cita persamaan manusia, tetapi
meraka akan di ganggu oleh hati nurani sendiri apabila gagal berbuat demikian.
Paling tidak menerima persamaan sebagai tujuan jangka panjang politik
pemerintah. Sebaliknya, masyarakat fasis bukan saja tidak menerima kenyataan
tidak samanya manusia, tetapi bertindak lebih lanjut dan menegakkan ketidak
samaan sebagai cita-cita, konsep (gagasan) persamaan di antara manusia bertitik
pangkal pada tiga asal usul peradaban Barat. Fasisme menolak konsep
Yahudi-Kristen-Stois menegenai persamaan sebagai satu konsep yang lunak dan
sama sekali tidak benar. Mereka mengemukakannya sebagai tantangan Konsep
ketidak samaan yang paling mudah diterangkan dalam bentuk kontras antara
superioritas dan inferioritas. Jadi, dalam kode kaum fasis, kaum laiki-laki
lebih tinggi derajatnya dari perempuan, demikian juga serdadu-serdadu lebih
tinggi kedudukannya dari orang-orang sipil, anggota partai dan yang bukan
anggota partai, bangsa sendiri dari bagsa lain, yang kuat dari yang lemah, yang
menang dalam perang dan yang kalah. Ukuran yang utama tentang persamaan dalam
tradisi Barat adalah pikiran dan jiwa manusia,sementara penegasan Fasis tentang
ketidak samaan didasarkan atas kekuatan.<o:p></o:p></span></div>
<ol start="3" style="margin-top: 0cm;" type="a">
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 36.0pt; text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Kode tingkah laku berdasarkan dusta dan kekerasan;<o:p></o:p></span></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Fasis meletakkan titik berat pada cara kekerasan dan dusta dalam segala
hubungan manusia, dalam lingkungan, dan di antara bangsa-bangsa. Dalam sudut
pandang demokratis, politik adalah satu peralatan untuk menyelesaikan
konflik-konflik sosial yang penting secara damai. sebagai lawanya, pandangan
fasis menyatakan bahwa politik diberi sifat oleh hubungan kawan-musuh. Politik
bermula dan berkesudahan. Menurut cara berpikir fasis, dengan kemungkinan
adanya seorang musuh dan penghapusan secara total. Antitesis demokratis bagi
kawan ialah lawan. Dan dikalangan bagsa-bangsa demokratis, lawan hari ini di
anggap sebagai pemerintahan yang potensial di hari besok.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Kauam fasisme hanya mengenal musuh, bukan lawan. Karena musuh-musuhnya hanya
merupakan penjelamaan kejahatan, penghancuran secara total adalah satu-satunya
penyelesaian. Doktrin ini berlaku bagi musuh di dalam dan luar negeri. <o:p></o:p></span></div>
<ol start="4" style="margin-top: 0cm;" type="a">
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 36.0pt; text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Pemerintahan oleh golongan terpilih;<o:p></o:p></span></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Adalah satu prinsip yang digunakan oleh kaum fasi dimana-mana sebagai
tantangan terhadap ”kegagalan Demokratis” bahwa rakyat sanggup untuk memerintah
diri sendiri. Ide fasisme mengenai pemerintahan oleh golongan terpilih yang
menunjuk diri sendiri. Dibawah pemerintahan rezim fasis, pemerintah bebas dari
persetujuan rakyat. Prinsip kepemimpinan fasis menunjukan betapa ekstrimnya
konsep pemerinyahan oleh elite. Ia mencerminkan sepenuhnya sifat yang tidak
rasional dari politik fasis. Pemimpin di anggap tidak mungkin bersalah, dan
dianggap mempunyai kesanggupan-kesanggupan gaib, dan penerima ilham.<o:p></o:p></span></div>
<ol start="5" style="margin-top: 0cm;" type="a">
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 36.0pt; text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Sistem totaliter;<o:p></o:p></span></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Fasisme adalah totaliter, ia menggunakan otoritas dan kekerasan dalam
segala macam hubungan sosial, baik politik maupun tidak. Famisime bersifat anti
feminisme, kaum perempuan harus tinggal dengan urusan mereka, kata kaum Nazi,
yang harus mereka urus adalah tiga K, yaitu <i>Kinder </i>(anak-anak), <i>Kuche</i>
(dapur), dan <i>Kirche</i> (gereja). Karena perempuan tidak sangup memanggul
senjata, mereka dengan sendirinya menjadi warga negara kelas dua menurut pandangan
fasis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Dalam bentuk ekstrim kaum fasisme modern seperti Nazisme di jerman,
memperlihatkan kebenciannya terhadap kaum perempuan dengan jalan memper
olok-olok lembaga perkawinan sebagai suatu hal yang hanya dibuat-buat oleh kaum
Yahudi dan Kristen. Wanita Jerman dianjurkan untuk menghasilkan anak-anak untuk
tanah air di luar perkawinan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Negara fasis juga menolak memperkerjakan kaum perempuan terlalu banyak di
sekolah-sekolah. Menurut kaum fasis, sekolah-sekolah adalah tempat untuk
mengajarkan disiplin dan kepatuhan. Terutama untuk mempersiapkan anak-anak
laki-laki untuk dinas kemiliteran dan anak-anak perempuan untuk kegiatan rumah
tangga. <o:p></o:p></span></div>
<ol start="6" style="margin-top: 0cm;" type="a">
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 36.0pt; text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Rasialisme dan imperialisme;<o:p></o:p></span></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Adalah dua dasar pokok bagi kaum fasis untuk menjalankan prinsip ketidak
samaan dan kekerasan dalam rangka hubungan denga masyarakat bangsa-bangsa.
Dalam lingkungan bangsa, kaum elite adalah yang paling unggul dari yang lain.
Merekan dapat memaksakan keinginannya terhadap kelompok lain dengan cara
kekerasan.<o:p></o:p></span></div>
<ol start="7" style="margin-top: 0cm;" type="a">
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 36.0pt; text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Oposisi terhadap undang-undang dan aturan-aturan
internasional;<o:p></o:p></span></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Adalah akibat yang logis dari kepercayaan fasis tentang ketidak samaan,
kekerasan, rasialisme, imperialisme, dan peperangan. Negara-negara fasis
Menolak untuk bergabung dengan perserikatan-perserikatan bangsa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Negara,
Hukum dan Ekonomi Fasis<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Negara dalam pengertian fasis berbeda dengan pengertian ideologi politik
lainnya. Dalam pemahaman Fasis, bahwa negara berdiri diatas semua individu dan
mempunyai nilai yang lebih tinggi dibanding individu. Kebebasan individu
dibatasi untuk memberikan perhatian sepenuhnya kepada negara. Negara adalah
diatas segala-galanya. Negara mempunyai peranan sangat penting dalam bentuk
individu-individu yang tercakup didalamnya, untuk itu negara harus melakukan
pengawasan mutlak kepada setiap aspek kehidupan individu, yang meliputi
pendidikan, kehidupan ekonomi, dan memaksakan tercapainya keselarasan antara
kerja dan modal. Dari sisi inilah bahwa fasisme menolak Sosialisme-Marxis
maupun Kpaitalisme. Dibawah Fasisme hak milik perseorangan dipertahankan
sepanjang pemakaiannya di letakkan dibaawah kekuasaan negara. Pertentangan
kelas tidak dibenarkan dan berbagai bentuk pemogokan di basmi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Negara berbadan hukum mempraktekkan prinsip-prinsip fasis dalam menjalankan
organisasi dan pengawasan terhadap ekonomi. Ekonomi fasis terdiri atas
asosiasi-asosiasi modal dan buruh yang di kontrol. Tujuan dari negara yang
berbadan hukum terutama adalah kekuasaan negara dan bukan kesejahteraan
individu. Tujuan akhir dari organisasi ekonomi yang berbadan hukum adalah
mempersiapkan suatu peperangan ekonomi yang permanen. Karena imperialisme
agresif adalah tujuan akhir dari politik luar negeri fasis. Mussolini
mengatakan bahwa negara berbadan hukum adalah satu partai, pemerintahan
totaliter.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><u><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Daftar bacaan<o:p></o:p></span></u></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Cheppy Haris Cahyono (penyunting)
1988. </span><span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Ideoligi Politik. Pt. Hanindika Graha Widiaya. Yogyakarta.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Wiliam
Ebenstein, 2006. Isme-Isme Yang Menggoncangkan Dunia. Narasis, yogyakarta. <o:p></o:p></span></div>Saifullah Ibnuhttp://www.blogger.com/profile/11480039276060922446noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-335071561411262022.post-18743639884024612602012-02-23T00:44:00.000-08:002012-02-23T00:44:10.719-08:00Hubungan Birokrasi Dan Politik di Indonesia Masa Orde Lama Dan Orde Baru<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: Arial, sans-serif;"><span style="font-size: 20px;"><b><br /></b></span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<b><span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">LATAR BELAKANG MASALAH<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Sudah lama birokrasi menjadi perhatian para ilmuwan sosial karena melihat
peranan yang begitu penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Umumnya fungsi birokrasi diasumsikan sebagai pelayan masyarakat atau pelayan
publik. Dilihat dari asal katanya, birokrasi merupakan gabungan dari dua kata yaitu
<i>bureau</i> yang berarti <i>office table</i> (meja kantor) yang bertujuan
sebagai alat kerja manusia atau dapat juga diartikan sebagai hukum yang menjadi
dasar aturan-aturan dan <i>cracy</i> yang bermakna <i>power</i> (kekuasaan)
dalam bentuk <i>authority</i> (kewenangan atau otoritas) dan legitimation
(pengakuan). Secara ringkas birokrasi bisa diartikan sebagai orang yang diberi
wewenang untuk menjalankan kekuasaan. (A. Salim, 2002 : 97). Dengan kata lain
birokrasi dapat dipahami sebagai suatu kekuasaan yang dijalankan oleh para pejabat.
(Albrow, 2005 : 19). Atau pendapat Albrow dengan mengutip definisi Mill
birokrasi sebagai suatu pekerjaan untuk menjalankan pemerintahan oleh
orang-orang yang memerintah secara profesional. (Albrow, 2005 : 11). Atau
seperti dikutip Setiono dari Yahya Muhaimin, birokrasi ialah “keseluruhan
aparat pemerintah, sipil maupun militer yang melakukan tugas membantu
pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu”. (Setiono, 2002 : 22).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Sebenarnya birokrasi bukan hanya ditemui di dalam tugas-tugas pemerintahan
tetapi terdapat diberbagai kantor swasta atau organisasi sosial. Namun karena
alasan ekonomis dan strategis atau karena butuh modal yang sangat besar dan
intensif sehingga tak terlalu menarik buat pihak swasta. Sekarang kata
birokrasi tersebut cenderung ditujukan kepada serangkaian urusan yang dilakukan
oleh instansi-instansi pemerintah.
(Wibowo, et.al., 2005 : 98). Secara garis besar tujuan birokrasi terbagi
dua yaitu birokrasi publik dan privat. Birokrasi publik dikaitkan dengan
pemerintah, sedangkan birokrasi privat dengan swasta.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Pada birokrasi publik tujuannya sangat banyak dan beragam bahkan terkadang
kabur dan tak nyata karena polarisasi aspek politis dan ekonomis. Tanggung
jawab bersifat vertikal pada lembaga yang berwenang. Orang-orang yang bekerja
pada pelayanan publik dipilih lewat kriteria tertentu, berdasarkan keahlian,
kualifikasi khusus dan loyal secara politis. Sebaliknya dalam sektor privat ada
kebebasan untuk memilih pekerjaan guna meraih tujuan yang akan dipertanggung
jawabkan kepada komisaris atau pemegang saham. Orang-orang yang bekerja
berdasarkan prinsip kepantasan dan kualifaksi keahlian berdasarkan manajemen
modern yang berupaya menghasilkan keuntungan maksimal. (Putra & Arif, 2001
: 12). Sebagai instrumen negara modern, birokrasi seharusnya memiliki ciri-ciri
antara lain bersifat rasional, netral, objektif, efektif, efisien. (Castles,
et.al. , 1983 : 5).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Memang pada dasarnya birokrasi diharapkan mampu menjalankan suatu pekerjaan
secara maksimal karena birokrasi telah diisi oleh para profesional. Gagasan
tentang maksimalisasi tugas pemerintahan sudah ada sejak masa lalu. Banyak ahli
percaya bahwa konsep yang mirip dengan birokrasi telah dipakai di masa lampau
seperti pada pemerintahan Romawi, Mesir kuno, atau Cina kuno dimana ketika itu
para pejabat kerajaan diseleksi dengan sistem ujian, senioritas dan keahlian.
(Setiono, 2002 : 22). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Menurut Blau & Meyer, preferensi birokratisasi telah mengalami
perubahan mendasar dan signifikan sejak seratus tahun terakhir. Birokrasi menjelma
menjadi lembaga yang dominan dan menjadi simbol lahirnya zaman modern. Untuk
memahami kondisi masa kini harus dikaitkan dengan lembaga yang bernama
birokrasi. Ukuran bangsa-bangsa modern sangat besar dan lahirnya banyak
organisasi merupakan salah satu alasan proliferasi birokrasi. Pada masa lalu
ukuran negara sangat kecil, bahkan negara besar saat itu hanya memiliki
administrasi yang longgar dan sedikit sekali organisasi formal kecuali lembaga
pemerintahan. Sedangkan pada negara-negara modern memiliki jutaan warga negara,
militer yang kuat, berbagai perusahaan raksasa, serikat pekerja yang kuat dan
organisasi nirlaba atau asing. Karena skala persoalan semakin besar membuat
organisasi cenderung kepada birokratisasi. (Blau & Meyer, 2000 : 12-13).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Birokrasi mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat
modern. Misalnya lembaga tenaga kerja pemerintah atau non pemerintah yang
dipakai untuk memperoleh pekerjaan, serikat pekerja sebagai pelindung pekerja,
pasar-pasar swalayan atau toko-toko kecil untuk berbelanja, rumah sakit untuk
berobat, sekolah untuk mencari pengetahuan, partai politik yang menjadi medium
kepentingan politik rakyat dan lain-lain cenderung diatur secara birokratis.
(Blau & Meyer, 2000 : 12-13).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Namun kalau melihat kepada prakteknya, birokrasi cenderung berkonotasi
negatif karena banyak orang yang berurusan dengannya mengalami perlakuan yang
mengecewakan. Misalnya suatu urusan harus melewati banyak pejabat tanpa
memperoleh informasi yang diinginkan, atau kalau mengisi formulir yang panjang
berkali-kali dan dikembalikan begitu saja hanya karena lupa menambahkan
informasi yang sangat sepele, ataupun jika lamaran-lamaran kerja ditolak karena
alasan teknis. Maka pada saat itulah kita berpikir tentang birokrasi. Akhirnya
dalam bahasa sehari-hari birokrasi mengandung pengertian tak efisien, tak
efektif, bertele-tele atau berbelit-belit dan banyak sebutan lain. Padahal arti
birokrasi yang sesungguhnya bukan seperti itu. Memang birokrasi merupakan suatu
lembaga yang kuat dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas
potensial terhadap hal-hal yang baik maupun yang buruk. (Blau & Meyer, 2000
: 3-5).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Untuk mengetahui kenyataan birokrasi tersebut dapat ditinjau ke berbagai
negara di dunia, dan ternyata ditemukan lebih dari satu model birokrasi yang
tumbuh dan berkembang. Misalnya di negara maju seperti Amerika Serikat,
loyalitas birokrat hanyalah kepada konstitusi dan konvensi. Mereka digambarkan
mampu berprestasi sebagai pelayan masyarakat. Sehingga yang muncul birokrasi yang
rasional. Sebaliknya kalau mengacu kepada negara berkembang seperti Indonesia
dan Thailand digolongkan sebagai birokrasi patrimonial yang menekankan
loyalitas birokrat kepada kekuasaan, baik politik maupun ekonomi. Para birokrat
di Indonesia itu lebih mampu membuat bos senang dengan laporan-laporan bagus
yang berbeda dengan realitas, membuat anggaran besar bagi pembangunan namun
uangnya habis ditilap, lebih pandai meminta kepada masyarakat daripada melayani
masyarakat. (Forum Keadilan No. 45, 2002 : 11).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Contoh lain, di Jepang yang mulai melakukan modernisasi dan pembangunan
sejak akhir abad ke-19, telah mendirikan dan menjadikan Universitas Tokyo
sebagai pusat latihan bagi para pejabat pemerintah dan para pemimpin untuk
mempercepat suatu transformasi negara modern dan kuat. Para lulusan perguruan
tinggi menduduki jabatan-jabatan pada lembaga-lembaga pembuat keputusan
pemerintah dan mengarahkan berbagai kegiatan modernisasi bangsa. Mereka pun
akhirnya menjadi elit yang berkuasa. Dan sesuai dengan tradisi Asia Timur
seperti pada masa imperium Cina dahulu, para pejabat pemerintah memperoleh
kedudukannya lewat ujian-ujian dinas sipil yang juga merupakan kelompok yang
paling dihormati karena mereka memiliki perpaduan unsur pendidikan tinggi dan
pelayanan yang tak mementingkan diri sendiri tetapi berbakti kepada raja dan
rakyat. Seseorang yang berkarier di jabatan birokrasi merupakan suatu
kehormatan dan menjadi dambaan banyak orang. (Budi Winarno, 2008 : 88).
Sehingga bisa dikatakan birokrasi menjadi suatu agen modernisasi dan
pembangunan bagi negara bangsa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Sampel yang lain lagi seperti di Singapura, sudah sejak 1959 dilakukan
reformasi birokrasi ketika peralihan kekuasaan kepada pemerintahan Lee Kuan
Yew. Birokrasi didasarkan atas pemerintahan yang bersih, menganut sistem
meritokrasi dan pragmatisme. Pemerintah berhasil menerapkan kebijakan untuk
mentranformasikan <i>Singapore Civil Servis</i> (SCS), badan yang menjalankan
birokrasi pemerintahan. Korupsi dan inefektifitas selama periode kolonial telah
direformasi dan memerlukan waktu bertahun-tahun. Minimalisasi korupsi terjadi
dengan memberikan intensif bagi para pegawai, adanya Undang-Undang Anti Korupsi
atau <i>Prevention of Corruption Act</i> (POCA). Dan secara bertahap
memperbaiki gaji dan kesejahteraan para pegawai. Sampai tahun 1994, gaji
menteri dan pegawai pemerintah yang senior hampir menyamai pemimpin puncak di
sektor swasta (seperti akuntan, bankir, insinyur, ahli hukum), pimpinan
perusahaan lokal maupun asing. Dari data 1995 penghasilan bulanan pimpinan
administrasi di Singapura atau setingkat Dirjen (Direktur Jenderal) di
Indonesia sekitar S$ 48.400 atau US$ 34.571 (lebih dari 34 juta rupiah). Pada
posisi yang sama di Amerika Serikat hanya sekitar US$ 7.224, di Australia
sekitar A$ 18.278.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Memang kalau menengok ke negara maju birokrasi pemerintah sudah
profesional, memiliki hierarki kewenangan, pembagian kerja, aturan kerja yang
jelas, sistem upah yang berdasarkan peraturan. Aparat birokrasi hanya loyal
kepada konstitusi dan konvensi, tak memihak pemerintah jika timbul krisis
legitimasi dari parlemen atau rakyat. Birokrasi hanya patuh pada pemerintah
yang mendapat kepercayaan politik dari masyarakat juga tak mudah diintimidasi
oleh desakan politik dari kelompok kepentingan. (Forum Keadilan No. 45, 2002 :
23).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Kalau melihat ilustrasi ringkas tentang kondisi birokrasi di beberapa
negara memang sangat berbeda. Untuk dunia ketiga seperti Indonesia kalau
diperhatikan secara umum maka kesan yang timbul terhadap fakta birokrasi adalah
prosedur kerja yang berbelit-belit, mekanisme kerja yang tak efisien dan tak
efektif, proses pelayanan yang lamban, sumber penyalahgunaan kedudukan dan
wewenang. (Castles, et.al. , 1983 : 5).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Mengutip pendapat Castles, birokrasi di Indonesia lebih mirip dengan
birokrasi patrimonial yaitu suatu hubungan antara patron dan klien atau
hubungan antara priyayi dan wong cilik pada masa kerajaan Jawa kuno. Sehingga
pola kekuasaannya bersifat personalistik dan model kepemimpinannya berwatak
paternalistik atau hubungan antara aparat dan rakyat juga bersifat paternalistik
beserta dengan segala implikasinya. Birokrasi di Indonesia memiliki kekuasaan
yang sangat besar, dan sulit dikontrol karena tak ada kekuatan ekstra
birokrasi. Sehingga kalau ada penyalahgunaan atau penyelewengan kekuasaan juga
sulit dikendalikan. Birokrasi di Indonesia memiliki sejarah panjang yang bisa
ditelusuri kesinambungannya mulai dari kerajaan Jawa kuno, masa kolonial
Belanda, revolusi dan Demokrasi Parlementer (1945-1958), Demokrasi Terpimpin
(1958-1966), Demokrasi Pancasila (1966-1998), dan masa reformasi
(1998-sekarang). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Keadaan demikian merupakan suatu kenyataan yang sudah terbentuk pada
kondisi-kondisi objektif. Birokrasi yang muncul berakar pada kebudayaan politik
dengan latar belakang sejarah sebagai permulaannya yang kemudian membentuk
sebuah pola perilaku birokrasi sampai sekarang. (Castles, et.al. , 1983 : 7-8).
Itulah gambaran birokrasi yang dapat kita lihat di Indonesia yang masih jauh
dari harapan sebagai publik servis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">POKOK
PERMASALAHAN<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">A.
Batasan Masalah<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Berdasarkan uraian tersebut diatas, banyak hal yang menarik perhatian
melihat kondisi birokrasi di Indonesia pada beberapa periode sejarah yang telah
berlangsung, dimana keberadaan elite birokrasi menjadi sesuatu yang menarik
untuk dikaji hubungannya dengan politik. Namun pada kesempatan ini terutama
yang coba hendak diketahui lebih jauh adalah tentang bagaimana hubungan antara
birokrasi dan politik di Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">B.
Rumusan masalah<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Rumusan yang coba kita kaji dalam studi perbandingan hubungan birokrasi
dengan politik, sesuai dengan masalah yang diuraikan diatas adalah Bagaimana
hubungan birokrasi dan politik di Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">KERANGKA
TEORI<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none;">
<span style="font-family: Arial, sans-serif;"> Untuk
mengawali pembahasan terlebih dahulu dimulai dari konsep-konsep yang umum
tentang birokrasi. Birokrasi modern pertama kali dikemukakan Max Weber, seorang
sosiolog ternama asal Jerman, yang dikenal melalui ideal type (tipe ideal)
birokrasi modern. Konsep birokrasi inilah yang sering diadopsi dalam berbagai
rujukan birokrasi negara kita, walaupun dalam penerapan tidak sepenuhnya bisa
dilakukan. Tipe ideal itu melekat dalam struktur organisasi rasional dengan
prinsip “rasionalitas”, yang bercirikan pembagian kerja, pelimpahan wewenang,
impersonalitas, kualifikasi teknis, dan, efisiensi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none;">
<span style="font-family: Arial, sans-serif;"> Pada
dasarnya, tipe ideal birokrasi yang diusung oleh Weber bertujuan ingin
menghasilkan efisiensi dalam pengaturan negara. Tetapi konsep Weber sudah tidak
lagi sepenuhnya tepat disesuaikan dengan keadaan saat ini, apalagi dikaitkan
dengan konteks Indonesia. Secara filosofis dalam paradigma Weber, birokrasi
merupakan organisasi yang rasional dengan mengedepankan efisiensi. Pengertian
efisiensi digunakan secara netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrasi
dan organisasi. Dalam pandangan ini, birokrasi dimaknai sebagai institusi
formal yang memerankan fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, dan
pemberdayaan masyarakat. Jadi, birokrasi dalam pengertian Weberian adalah
fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional terhadap serangkaian tujuan
yang ditetapkan pemerintahan. Birokrasi Weber berparadigma netral dan bebas
nilai. Tidak ada unsur subyektivitas yang masuk dalam pelaksanaan birokrasi
karena sifatnya impersonalitas: melepaskan baju individu dengan ragam
kepentingan yang ada di dalamnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;"> Weber
melihat birokrasi sebagai invensi sosial yang muncul sebagai konsekuensi
berkembangnya sistem sosial dan sistem politik yang kompleks. Pemikiran tentang
birokrasi dikembangkan dalam kaitannya dengan teorinya tentang dominasi.
Dominasi menurut Weber, merupakan salah satu bentuk hubungan kekuasaan dalam
mana si penguasa sadar akan haknya untuk memerintah, sedang yang diperintah
sadar bahwa adalah menjadi kewajibannya untuk menaati segala perintah
atasannya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;"> Organisasi
birokrasi yang mendekati bentuk ideal hanya ditemukan pada organisasi
kapitalisme modern. Bila dilihat sejarah pada abad pertengahan, jauh sebelum
munculnya kapitalisme modern, telah terdapat contoh-contoh birokrasi yang telah
berkembang di Mesir purba, Cina, Roma dan Gereja Katolik. Birokrasi birokrasi
ini pada dasarnya adalah birokrasi patrimonial, dan kebanyakan didasarkan
atas bayaran terhadap para pejabatnya
dalam bentuk barang. Ini menunjukkan bahwa bentuk suatu ekonomi uang, tidak
merupakan syarat mutlak timbulnya organisasi birokrasi, walaupun akhirnya
ekonomi uang tersebut mempunyai arti
yang sangat penting dalam melancarkan tumbuhnya
birokrasi rasional modern (Anthony Giddens, 1986: hlm 194-195).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">Mengikuti
argumentasi Hegel, Miftah Thoha menyebutkan bahwa administrasi negara
(birokrasi) sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara negara
(pemerintah) dan masyarakatnya. Adapun masyarakat terdiri dari para kelompok
profesional, usahawan, dan sebagainya yang mewakili kelompok partikular
(khusus). Diantara keduanya (negara dan masyarakat) itu birokrasi pemerintah
merupakan medium yang bisa dipakai untuk mengaitkan kepentingan partikular
dengan kepentingan umum. (Thoha, 2003 : 22-23).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">Menurut
Thoha mengambil penjelasan David Beetham yang berdasarkan pendapat Weber bahwa
terdapat tiga unsur penting di dalam konsep birokrasi. Pertama, birokrasi
dipandang sebagai instrumen teknis (<i>technical instrument</i>). Kedua,
birokrasi dilihat sebagai kekuatan independen di dalam masyarakat sepanjang
dilekatkan pada penerapan sebagai instrumen teknis. Ketiga, pengembangan dari
sikap ini para birokrat tak mampu memisahkan perilaku mereka dari
kepentingannya sebagai kelompok partikular. Sehingga bisa keluar dari fungsi
seharusnya sebab anggotanya cenderung datang dari kelas sosial yang partikular
juga. Elemen yang kedua dan ketiga itu sebenarnya mengandung pengertian bahwa
kehidupan birokrasi hampir tak mungkin dipisahkan dari politik. (Thoha, 2003 :
19-20). Dari kutipan ini dapat dikatakan bahwa birokrasi selain bertugas
sebagai instrumen yang menjalankan perintah ternyata juga birokrasi merupakan
suatu kekuatan yang akan selalu bersinggungan dengan politik yang bisa dilihat
dari perilaku para birokrat sebagai kelompok partikular yang juga mempunyai
kepentingan sendiri diluar tugas utamanya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">Ahli
lain seperti Michels menyebut adanya “hukum besi oligarki” pada setiap
organisasi sebagaimana dikemukakan oleh Alfian. Pertama, siapa yang mengucapkan
organisasi pasti mengucapkan oligarki. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">Kedua,
manusia berada dalam suatu dilema yang tak mungkin terpecahkan, lembaga-lembaga
besar seperti negara, organisasi buruh, partai politik, institusi keagamaan dan
sebagainya, akhirnya memberikan kekuasaan efektif kepada sejumlah kecil orang
yang berada di puncak organisasi itu. </span><span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Ketiga, organisasi-organisasi besar
memberi kekuasaan tak terbatas (cenderung monopoli) kepada pengurusnya. Keempat,
organisasi yang pada mulanya didirikan untuk mencapai suatu tujuan, akhirnya
menjadi tujuan itu sendiri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Kelima, ada beberapa faktor yang membuat golongan kecil (oligarki) yang
berkuasa selalu unggul berhadapan dengan mayoritas massa yaitu mereka lebih
ulung dalam pengetahuan mengenai organisasi antara lain karena memonopoli
informasi, mereka mengontrol alat komunikasi resmi dari organisasi, ahli dalam
bermain politik, karena massa sendiri inkompeten, karena massa merasa
membutuhkan elite atau pemimpin. (Alfian, 1990 : 174).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Sedangkan kalau mengikuti pendapat Karl Marx, Thoha melihat bahwa birokrasi
merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan untuk
melaksanakan dominasinya atas kelas-kelas sosial lain. Atau dapat disebut
birokrasi pasti memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut.
(Thoha, 2003 : 23). Misalnya di Amerika Serikat pada masa Presiden Andrew
Jakcson telah dipengaruhi oleh sistem patronase dimana dominasi partai politik
sangat kuat dalam birokrasi, terutama dalam rekruitmen dan promosi jabatan di
birokrasi. (Putra & Arif, 2001 : 48-49). Hal ini ternyata terjadi juga di
Indonesia seperti pada masa Demokrasi Parlementer dimana partai-partai politik
yang menguasai birokrasi di berbagai departemen.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Kondisi suatu birokrasi merupakan refleksi dari budaya birokrasi yang berkembang
di suatu negara. Budaya birokrasi bisa diartikan sebagai seperangkat nilai yang
memiliki simbol, orientasi nilai, keyakinan, pengetahuan dan pengalaman
kehidupan yang diaktualisasikan dalam sikap, nilai, keyakinan dan perbuatan
yang dilakukan oleh setiap anggota dari organisasi yang bernama briokrasi.
Setiap briokrasi selalu bersinggungan dengan aspek budaya masyarakat setempat.
Dinamika yang terjadi di dalam birokrasi selalu berkorelasi dengan lingkungan
eksternal. Karakter dan model birokrasi
yang berkembang di Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu bentuk interaksi
yang terjalin dengan lingkungan politik, budaya, sosial juga ekonomi.
(Dwiyanto, et.al., 2006 : 91).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;"> Istilah
Birokrasi hampir selalu dikaitkan dengan sesuatu yang rumit, panjang dan tidak
efisien. Buruknya birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang
dihadapi Asia. Satu lembaga penelitian (<i>Political and Economic Risk
Consultancy </i>(PERC) meneliti soal birokrasi di Indonesia dan hasilnya birokrasi Indonesia dinilai termasuk
terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti dibandingkan keadaan di tahun
1999. Pada tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari
skor 1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10
untuk terburuk. Skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan
pengalaman dan persepsi <i>expatriats </i>yang menjadi responden bahwa antara
lain menurut mereka masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang
memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan orang terdekat
(Syafuan Rozi, 2000). Bila dibandingkan
dengan beberapa negara Asia lainnya, Thailand dan Korea Selatan mengalami
perbaikan pada tahun 2000, meskipun mereka juga masih berada di peringkat bawah rata-rata yaitu masing-masing
6,5 dan 7,5 (2000) dari tahun sebelumnya yang 8,14 dan 8,7. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;"> Kinerja birokrasi selalu dijadikan alasan penyebab
terjadinya keterpurukan bangsa karena masih adanya persoalan-persoalan seperti
birokrasi yang lamban, tidak efisien, tidak efektif, tidak tanggap, dan
ditengarai banyak diwarnai dengan praktik korupsi, serta menjadi salah satu
penyebab praktik penyalahgunaan kewenangan. Buruknya kinerja birokrasi sebagai
perpanjangan tangan penerapan kebijakan publik pemerintah justru menjadi faktor
penghambat efektivitas dan efisiensi bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah di
lapangan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">Mengacu
pada uraian yang diutarakan oleh Karl D. Jakcson & Lucian W. Pye, bahwa
yang terlihat pada sistem politik yang dikembangkan di Indonesia setelah
merdeka dan terutama terbaca jelas pada masa Orde Baru lebih berlandaskan pada
budaya politik Jawa. </span><span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Hal ini juga berhubungan dengan banyaknya elite politik
nasional berasal dari suku Jawa yang memperlihatkan kecenderungan ke arah
tersebut. Perilaku elite birokrasi dalam memberikan arah dan kebijakan nasional
lebih dekat mengacu kepada budaya Jawa yaitu budaya patrimonial (hubungan
antara patron dan klien). (Dwiyanto, et.al., 2006 : 89).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Namun ada juga yang mengatakan bahwa model birokrasi di Indonesia bersifat
paternalistik yaitu hubungan bapak dan anak buah (bapakisme). Hubungan
paternalisme (<i>bapakisme</i>) lebih halus di bandingkan dengan dengan
hubungan patron klien. Seperti yang disadur Dwiyanto dkk dari Mulder mengatakan
hubungan bawahan dan atasan seperti hubungan antara anak dan bapaknya dalam
konsep Jawa. Anak harus menghormati bapaknya yang tergambar dalam perasaan
sungkan, berbicara halus (kromo) atau sopan dengan bapaknya. Hubungan antara
orangtua dan anak bersifat superior dan inferior. Anak melayani orangtua untuk
menarik perhatian dan orangtua harus memberikan perhatian atau sesuatu yang
lain. Sistem kehidupan keluarga di Jawa masih berpegang pada hukum adat, tata
krama pergaulan dan preferensi sosial seperti umur, pangkat, jabatan, atau
hal-hal yang dianggap sebagai ukuran status seseorang. (Dwiyanto, et.al., 2006
: 95).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">PEMBASAN<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Hubungan
Birokrasi Dengan Politik Pada Zaman Orde Lama<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Untuk mengetahui kondisi Orde Lama, disini dipakai konsep yang diambil
Mahfud MD dari penjelasan Yahya Muhaimin, bahwa dalam model <i>bapakisme</i>
(hubungan bapak-anak), “bapak” (patron) dilihat sebagai tumpuan dan sumber pemenuhan
kebutuhan material bahkan spritual serta pelepasan kebutuhan emosional
“anak-bapak” (<i>client</i>) dan sebaliknya para anak buah dijadikan sebagai
tulang punggung yang setia dari bapak, membantu terselenggaranya
upacara-upacara keluarga, memasuki atau keluar dari organisasi politik yang
dikehendaki oleh bapak, bahkan tak jarang bersedia berkorban jiwa untuk
mempertaruhkan kepentingan bapak yang harus dihormati, ditaati, dan pantang
ditentang. Sebagaimana karier politik seseorang begitu juga halnya dengan pekerjaan
dan jabatan-jabatan birokrasi bersandar kepada kecerdikannya memelihara dan
memanfaatkan hubungan pribadi dan hubungan politik lebih banyak ditentukan oleh
persetujuan dan penunjukan dari pemegang jabatan di tingkat atas. Keadaan
birokrasi di Indonesia masa kini dipengaruhi oleh peninggalan masa lampau
berupa konsep politik kelompok etnis Jawa tradisional yang aristokratis. Pada
masa Mataram kuno mengenal kelompok punggawa (priyayi) atau pejabat yang diberi
hak atas tanah, menarik pajak atau sejenisnya dari rakyat tanpa batasan maupun
peraturan yang pasti lalu diberikan kepada raja setelah diambil sekedarnya oleh
para punggawa (<i>abdi dalem</i>) tersebut. Pada sistem ini tak ada kekuatan
penyeimbang di luar birokrasi yang mampu melakukan kontrol terhadap aparat
birokrasi. Sehingga membuat birokrasi suka bertindak sewenang-wenang dan tak
merasa bertanggung jawab kepada rakyat, dan di pihak rakyat menjadi pasif, tak
aktif berpartisipasi dalam kehidupan politik dan ekonomi. (Mahfud MD., 1993 :
112).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Menurut Isa Anshori, semenjak kemerdekaan birokrasi diperlakukan sebagai
kelas istimewa, hal ini dimaklumi bahwa pada saat itu birokrasi merupakan
sarana yang mempersatukan bangsa. Berlanjut pada era demokrasi parlementer,
birokrasi menjadi incaran dari berbagai kekuatan politik yang ada. Misalnya
partai-partai politik mulai melirik untuk menguasai birokrasi pemerintah,
bahkan antara tahun 1950-1959 birokrasi pemerintahan berada dibawah
kepemimpinan partai politik yang menjadi mayoritas di dalam parlemen. Parlemen menjadi
kuat, tetapi sebaliknya lembaga eksekutif semakin lemah. Namun, rakyat tetap
saja tak beruntung karena birokrasi menjadi lahan KKN partai politik. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Kehidupan politik yang demokratik pada masa pasca kemerdekaan yang di
warnai oleh sistem pemerintahan parlementer membawa implikasi yang besar
terhadap birokrasi Indonesia. Yang menjadi kepala pemerintah adalah Perdana
Menteri yang merekrut para menteri dari partai-partai politik tertentu sesuai
dengan bentuk koalisi pemerintahan yang terjadi pada waktu itu. Maka, yang
terjadi kemudain adalah para menteri yang direkrut tersebut menjadikan
departemen yang dipimpinnya sebagai sumber mobilisasi dukungan bagi partai
politiknya. PNI menguasai departemen dalam negeri dan departemen penerangan,
Masyumi dan NU menguasai departemen agama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Menurut Afan Gaffar (</span><span lang="SV">2006:
232)</span><span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;"> Birokrasi pasca kemerdekaan mengalami proses politisasi, sekaligus
fragmentasi. Sekalipun jumlahnya tidak terlampau besar, aparat pemerintah
bukanlah sebuah organisasi yang menyatu karena sudah terkapling-kapling kedalam
partai-partai politik yang bersaing dengan intensif guna memperoleh dukungan.
Hal itu berjalan terus sampai masa pemerintahan demokrasi terpimpin. Arah gerak
birokrasi masih mengalami polarisasi yang sangat tajam dengan mengikuti arus polarisasi
politk masyarakat. Sekalipun pengaruh partai politik sedikit-demi sedikit
mengalami penagruh terbatas, karena dibubarkan oleh Soekarno. Kecuali PKI dan
Angkatan Darat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Hubungan
Birokrasi Dengan Politik Pada Zaman Orde Baru<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Meminjam pendapat Karl D. Jakson, melihat Orde Baru sebagai <i>Bureaucratic
polity</i> atau Negara Birokratik. Dalam negara seperti ini, biasanya
sekelompok kecil elite menguasai sepenuhnya penggambilan keputusan politik
negara. Sementara masyarakat hanya dilibatkan dalam proses implementasi
kebijakan. Dwight King menyebutnya Orde Baru sebagai <i>Bereaucratic
Authoriterian with limited purality</i>. Artinya birokrat baik Sipil maupun
Militer memang sangat dominan, bahkan cenderung otoriter, tetapi warna
pluralisme tetap ada, sekalipun terbatas. Yaitu, dengan mengorganisasikan
kepentingan secara korporatis, seperti kepentingan buruh, petani, guru dan lain
sebagainya, yang disusun secara vertikal, tidak horizontal yang dikenal dalam
demokrasi. Harold Crouch menyebutnya <i>state-qua state</i>. Ruth McVey
mengatakan <i>Beamtenstaat</i> atau Negara pejabat. Sedangkan William Liddle
mengajukan tiga jajaran utama, dengan membuat piramida kekuasaan di Indonesia
yaitu, presiden dengan semua atributnya, angkatan bersenjata, dan birokrasi.
Kekuasaan presiden menempati puncak piramida yang ada dalam struktur kekuasaan
secara keseluruhan. Sekalipun menurut konstitusi presiden mempunyai kedudukan
yang sama dengan lembaga tinggi negara lainnya, seperti DPR, MA, BPK, dan DPA.
Tetapi presiden merupakan <i>primus inter pares</i>, yang utama dari yang
setara. Presiden mengontrol rekruitmen politik dalam negara, termasuk untuk
jabatan lembaga tinggi negara, seperti anggota legislatif dan yudikatif.
Jajaran kedua adalah Angkatan Bersenjata. Pada kehidupan politik Orde Baru,
angkatan bersenjata mempunyai peranan politik yang sangat penting, terutama
Angkatan Darat sebagai stabilisator dan dinamisator politik. ABRI bergerak
dibidang politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan, termasuk bidang olah raga dan
kesenian. ABRI memainkan peranan politiknya secara langsung melalui organisasi
sosial dan politik yang ada, misalnya pada Golkar. Jajaran ketiga adalah
Birokrasi. Bahwa pengaruh birokrasi dalam sistem politik Orde Baru sangat
tinggi. Karena Masyarakat sulit untuk menghindar dari berurusan dengan
Birokrasi. Misalnya mengurus surat izin usaha, kesulitan dan kerumitan bila
tidak dilampirkan dengan sesajen. Rakyat di anggap bodoh dan tidak perlu tahun
ini itu (Afan Gaffar, 2006: 36,37,38,39)</span><span lang="SV"> </span><span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Lanjut Afan Gaffar, Indonesia pada masa Orde Baru telah terjadi proses
depolitisasi yang sangat efektif terhadap institusi yang ada. Depolitisasi
dilakukan dengan cara: pertama, dengan mewujudkan konsep <i>”massa mengambang”</i>
atau <i>”floating mass”.</i> Kontrol politik terhadap partai politik non-pemerintah
akan semakin gampang dilakukan. Depolitisisasi massa dijalankan untuk mencapai
Dua tujuan utama. Pertama, agar pemerintah Orde Baru dengan mudah membentuk
format politik yang sesuai dengan kehendaknya. Kedua, sebagai dasar bagi
terwujudnya stabilitas politik yang sangat di perlukan dalam rangka
menyukseskan pembangunan ekonomi nasional. Kedua, mewujudkan prinsip
monoloyalitas terhadap semua pegawai negeri atau yang bekerja dalam lingkunagan
instansi pemerintahan. Ketiga, emaskulasi partai-partai politik yang ada. Hal
tersebut dilakukan dengan dua macam cara, yaitu dengan melakukan <i>”regrouping”</i> atau penyederhanaan sistem kepartaian dan
mengontrol rekruitmen pimpinan utama partai tersebut, sehingga partai-partai
tersebut mempunyai pimpinan yang akomodatif dengan pemerintah. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Analisis
Perbandingan<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Hubungan
birokrasi dengan politik pada masa Orde Lama <o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Hubungan Birokrasi dengan politik pada </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">masa</span><span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;"> Orde
Lama, mengalami fase yang berbeda, terkait dengan pengaruh hubungan atau
afiliasi dengan kekuatan politik tertentu. Pada saat pemerintah atau kabinet
yang berkuasa pada masa ini merupakan koalisi dari beberapa partai politik.
Sedangkan partai politik yang tidak berkuasa menjadi oposisi akibatnya umur
kabinet yang berkuasa tak bertahan lama. Hal ini terjadi disebabkan adanya
perbenturan kepentingan antar partai karena ideology yang tak bisa diajak untuk
berkompromi. Lebih jelasnya akan diuraikan melalui periode-periode yang
berlaku.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Periode
1945-1950<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Pada periode pertama antara tahun 1945-1950, dikenal dengan zaman demokrasi
Parlementer dan Presidensial. spirit perjuangan masih lebih mencolok kepada
penyelenggaraan pemerintahan. Bahkan tak jarang hal ini terlihat di dalam
kekuatan moyoritas menekan kepentingannya sendiri untuk menghargai aspirasi
minoritas demi persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini disadari, bahwa bagsa
indonesia baru mengalami kemerdekaan. Jadi semnagat integritas nasional menjadi
perhatian semua elemen pemerintah, dan ideologi-ideologi politik. Bulum terlalu
mencolok konfigurasi kepentingan dari berbagai ideologi politik yang berjung
melepaskan Indonesia dari cengkeraman kolonialisme. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Walaupun ada semangat primordial tetapi tidak mengemuka karena tenggelam
oleh semangat nasional. Satu-satunya yang menjadi ancaman Negara adalah PKI
(Partai Komunis Indonesia) yang sempat memberontak dalam rangka menguasai
pemerintahan dan negara. Di awal kemerdekaan ada semacam <i>consensus</i> bahwa
lembaga pemerintahan merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan
bangsa. Anggapan ini cukup logis sebab hanya birokrasi yang mampu menjangkau
rakyat sampai ke desa-desa. (Thoha, 2003 : 135-136).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Pada saat ini aparat pemerintah banyak direkrut dari berbagai etnis yang
dianggap mewakili hampir semua suku bangsa. Dan boleh dikatakan orang-orang
yang duduk di pemerintahan hanya mempertimbangkan asal-usul orangnya tanpa
melihat kepada keahliannya. Misalnya di dalam setiap departemen harus ada etnis
Jawa, etnis Batak, etnis Padang, etnis Sunda dan berbagai etnis lain yang
kemudian dianggap dapat mewakili gambaran integrasi semua suku bangsa. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Tetapi dalam perjalanan waktu di dalam birokrasi semakin terlihat semakin
menguatnya gejala primordial. Lembaga birokrasi ini menjadi incaran
kekuatan-kekuatan politik. Partai-partai politik mulai mengincar peluang untuk
mendominasi atau menguasai lembaga birokrasi pemerintah. Jadi, keberadaan
birokrasi dalam percanturan politik pada periode ini adalah awal dari
keterlibatan Birokrasi dalam ranah politik atau telah mulai dilirik oleh
kelompok kepentingan untuk berafiliasi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Perode
1950-1959<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Pada masa periode kedua ini, fenomena semakin jelasnya partai politik untuk
mengincar birokrasi pemerintah semakin hari semakin terasa. Pada tahun 1950
berlaku juga UUDS yang isinya tentang sistem demokrasi parlementer, yang
berarti pemerintah bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan rakyat (DPR).
Dengan maklumat wakil presiden pada 3 November 1945 menghadirkan sistem banyak
partai yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan banyak
partai politik sesuai dengan aspirasinya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Pada masa ini dilaksanakan juga pemilihan umum pertama yang demokratis
yaitu Pemilu tahun 1955. Ketika itu partai yang memenangkan pemilu memiliki
niat untuk menguasai beberapa departemen. Bahkan tak jarang kabinet bubar
karena pembagian kementerian di departemen tak sesuai dengan keinginan partai
politik yang bersangkutan. (Thoha, 2003 : 136).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Misalnya secara umum Departemen Dalam Negeri seakan menjadi jatah Partai
Nasional Indonesia (PNI). Sementara NU (Nakhdatul Ulama) sudah mendominasi
Departemen Agama. (Forum Keadilan, No. 45 : 15). Mosi tak percaya menjadi awal
dari keruntuhan kabinet yang memerintah. Disini terlihat lembaga perwakilan
rakyat (legislative) memiliki kedudukan yang kuat sebaliknya lembaga pemerintah
(eksekutif) menjadi lemah. Di pihak lain aparat pemerintah yang diharapkan
netral juga sudah ahli berpolitik dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada.
(Thoha, 2003 : 136-137). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Aparat pemerintah sepertinya hanya patuh kepada kepentingan partai tempat
dia menyalurkan aspirasi politik ketimbang serius memberikan pelayanan kepada
rakyat. Saat partai yang berkuasa berganti maka aparat birokrasi pun banyak
yang berganti karena lebih memilih mengikuti keinginan dari partainya. Pada
pokoknya, keterlibatan Birokrasi dalam politik sudah melakukan peran ganda,
pada satu sisi Birokrasi atau elite birokrasi menjalankan tugasnya sudah di
pengaruhi oleh partai politik yang memerintah. Pada masa ini dalam sejarah
politik Indonesia dikenal dengan zaman demokrasi Parlementer atau Liberal.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Periode
1960-1965<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Pengaruh elite birokrasi terhadap ranah politik secara langsung, pada periode
ini tidak seperti yang terjadi pada periode sebelumnya. Karena sistem
pemerintahan mengalami perubahan. Dimana perubahan tersebut dirasakan secara
langsung oleh seluruh struktur pemerintahan, termasuk institusi birokrasi dalam
melakukan perannya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Pada periode ini dikenal dengan demokrasi terpimpin atau akhirnya demokrasi
parlementer liberal. Kekuasaan terpusat pada diri Presiden Soekarno.
Partai-partai politik di disederhanakan dalam bungkus Nasakom, dengan
dibubarkan parlemen hasil pemilu tahu 1955 sebagai konsekuensi dari dekrit
presiden 5 juli. Peran presiden sangat kuat dalam membentuk dan memimpin
pemerintahan. Dimana presiden sebagai kepala pemerintahan memimpin kabinet dan
tidak bertanggung jawab terhadap DPR. Menteri sebagai pembantu presiden dan
bertanggung jawab terhadap Presiden. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Pada periode ini, lembaga pemerintah semakin di incar oleh oleh partai
politik. Tiga kekuatan partai politik yang dibungkus dalam Nasakom berusaha
membagi kavling pengaruhnya di berbagai departemen pemerintah. Atau lebih
tetapnya lembaga pemerintah sudah mulai terperangkap jaring yang di pasang oleh
kekuatan politik Nasakom. Jadi sesungguhnya birokrasi menjadi kekuatan politik
yang bermain secara langsung dengan tersebar pada tiga ideologi politik
Nasakom.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Sebagai ringkasannya disini akan dibuat suatu tabel yang menggambarkan
hubungan birokrasi dan politik pada masa Orde Lama tersebut.<o:p></o:p></span></div>
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoTableGrid" style="border-bottom-style: none; border-collapse: collapse; border-color: initial; border-image: initial; border-left-style: none; border-right-style: none; border-top-style: none; border-width: initial; margin-left: -30.6pt; width: 608px;">
<tbody>
<tr>
<td style="border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 60.0pt;" width="80">
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Masa<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 162.0pt;" width="216">
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Ciri Khas Birokrasi<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 126.0pt;" width="168">
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Orientasi Keberpihakan<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td colspan="2" style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 108.0pt;" width="144">
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Keterangan<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr>
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 60.0pt;" width="80">
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Orde Lama<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<br /></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 162.0pt;" valign="top" width="216">
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Belum atau tak terjadi kekompakan birokrasi sebab
politisasi birokrasi yang berwujud pengkavlingan departemen-departemen oleh
parta-partai politik. Misal, Depdagri dikavling oleh PNI, Depag oleh Partai
NU.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Politisasi terhadap birokrasi begitu dalam sehingga
promosi jabatan di berbagai departemen pada semua lingkungan ditentukan
terutama oleh loyalitas kepartaian anggota.<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td colspan="2" style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 132.0pt;" valign="top" width="176">
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Aktornya adalah pegawai negeri yang lebih berpihak
kepada partai induknya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Tampak gejala politisasi birokrasi oleh partai politik
yang kuat, posisi-posisi birokrasi banyak diisi oleh orang-orang yang
ditunjuk partai politik. Birokrasi cenderung pro partai, kader dan
pendukungnya.<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 102.0pt;" valign="top" width="136">
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Profesonalisme dan kinerja birokrasi orde lama tak
berjalan baik sebab semua organnya sendiri sudah menjadi partai politik.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Setiap departemen dikuasai partai politik tertentu yang
memiliki orientasi berbeda-beda.<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<!--[if !supportMisalignedColumns]-->
<tr height="0">
<td style="border: none;" width="80"></td>
<td style="border: none;" width="216"></td>
<td style="border: none;" width="168"></td>
<td style="border: none;" width="8"></td>
<td style="border: none;" width="136"></td>
</tr>
<!--[endif]-->
</tbody></table>
<div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: right; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Diadaptasi dari Forum
Keadilan, N0. 45, Februari 2002 : 17<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span style="font-family: Arial, sans-serif;">Hubungan Birokrasi dengan politik pada masa
Orde Baru <o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">Setelah
Orde Baru di kukuhkan dalam sidang MPRS yang berlangsung pada bulan Juni-Juli
1966. Pada zaman Orde Baru ini lah dikenal sebutan demokrasi pancasila.
sesungguhnya pancasila sangat kramat dan angker, siapapun baik secara induvidu
maupun secara organisasi (kelompok) diawasi dengan ketat oleh kekuatan negara
yang diwakili oleh ABRI dibawah pimpinan Presiden Soeharto. Jimly Asshiddiqie ,
Sejak awal Orede baru pemerintah menekankan stabilitas nasional dengan program
politiknya. Demi terwujudnya stabilitas nasional pemerintah, terlebih dahulu
membangun konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, pertama,
berwujud kebulatan tekat pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan UUD 1945
dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini juga disebut
konsensus utama. Kedua, komsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus
utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama.
Secara umum, elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan
konsensus-konsensus nasional antara lain pemerintah, TNI, dan beberapa
organisasi massa. Konsensus itu kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No
XX/1966. sejak itulah konsensus nasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat
bagi seluruh rakayat Indonesi. Beberapa hasil konsensus antara lain
penyederhanaan partai politik dan keikut sertaan TNI/POLRI dalam keanggotaan
DPR/MPR.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">Dalam
hubungan Birokrasi dengan ranah politik kekuasan pada masa Orde Baru Secara
umum, wajah birokrasi masa Orde Baru dapat diidentifikasi dalam dua tipe: yaitu
sentralitas dan bersifat patrimonial. Birokrasi di jadikan sebagai alat yang
efektif untuk mengadapi pemerintahan daerah. Namun demikian, wajah birokrasi
yang sentralistik dan patrimonial, baik pada organisasi Pamong Praja ataupun
badan usaha milik Negara, bukalah monopoli Orde Baru, melainkan warisan
kelembagaan dari rejim sebelumnya. Kondisi ini disebabkan diantaranya oleh
proses rekrutmen kedalam jabatan pemerintahan dan realitas birokrasi sebagai
ajang konflik politik yang melahirkan patronase, sehingga menciptakan iklim
dimana manipulasi politik oleh pejabat pemerintah menjadi lumrah dan perlu
(Mohtar Mas’oed, 1989).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">Seperti
dicatat Mahfud dari Muhaimin, sistem politik Orde Baru pada awalnya berusaha
mengembalikan birokrasi yang semrawut, tak bertanggung jawab ke arah birokrasi
yang efisien, jujur, akuntabilitas dan menghargai hukum. Namun menurut
Soedjatmoko, keinginan untuk membentuk pemerintahan modern, efisien dan kuat
telah memunculkan pemerintahan yang disebut <i>Modernizing Bureaucratic State</i>
(MBS), yang memperlihatkan semakin meluasnya peranan birokrasi di dalam negara.
</span><span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Ada kecenderungan otoritarianisme dan sentralisasi dalam MBS sebagai ciri
kebudayaan politik negara patrimonial, dan ada persamaan yang jelas antara
makna “<i>modern officialdome</i>” dalam MBS dengan konsepsi kemasyarakatan
yang sangat hierarkis yang berada di dasar negara patrimonial pada masa lampau.
(Mahfud MD., 1993 : 112-113).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Pada tahun 1966 sampai 1998 lembaga pemerintah lebih memihak pada kekuatan
yang dominan. Semenjak kekuasaan Soeharto yang didukung oleh tiga kekuatan
penting antara lain Golkar, ABRI, dan Birokrasi sepremasi sipil yang
menempatkan kedaulatan rakayat tidak bernilai apa-apa. Hubungan birokrasi
pemerintah dengan kekuasaan politik justru telah membuat birokrasi sebagai
kepanjangan tangan kekuasaan yang lalu berubah menjadi mesin politik dalam
menghimpun dukungan politik pada masyarakat sama\pai pada tingkat desa,
sekalipun dengan cara yang penuh manipulatif dan bengis. Hal demikian didukung
oleh kebijakan monoloyalitas.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Berikut ini sebagai ringkasannya dapat dibuat suatu tabel yang
menggambarkan hubungan birokrasi dan politik di Indonesia pada masa Orde Baru
tersebut.<o:p></o:p></span></div>
<table align="left" border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoTableGrid" style="border-bottom-style: none; border-collapse: collapse; border-color: initial; border-image: initial; border-left-style: none; border-right-style: none; border-top-style: none; border-width: initial; margin-left: 6.75pt; margin-right: 6.75pt; width: 576px;">
<tbody>
<tr>
<td style="border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 66.0pt;" width="88">
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-element-anchor-horizontal: margin; mso-element-anchor-vertical: paragraph; mso-element-frame-hspace: 9.0pt; mso-element-left: -6.6pt; mso-element-top: -80.9pt; mso-element-wrap: around; mso-element: frame; mso-height-rule: exactly; text-align: center;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Masa<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 144.7pt;" width="193">
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-element-anchor-horizontal: margin; mso-element-anchor-vertical: paragraph; mso-element-frame-hspace: 9.0pt; mso-element-left: -6.6pt; mso-element-top: -80.9pt; mso-element-wrap: around; mso-element: frame; mso-height-rule: exactly; text-align: center;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Ciri Khas Birokrasi<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 102.05pt;" width="136">
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-element-anchor-horizontal: margin; mso-element-anchor-vertical: paragraph; mso-element-frame-hspace: 9.0pt; mso-element-left: -6.6pt; mso-element-top: -80.9pt; mso-element-wrap: around; mso-element: frame; mso-height-rule: exactly; text-align: center;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Orientasi Keberpihakan<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 119.25pt;" width="159">
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-element-anchor-horizontal: margin; mso-element-anchor-vertical: paragraph; mso-element-frame-hspace: 9.0pt; mso-element-left: -6.6pt; mso-element-top: -80.9pt; mso-element-wrap: around; mso-element: frame; mso-height-rule: exactly; text-align: center;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Keterangan<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr>
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 66.0pt;" width="88">
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-element-anchor-horizontal: margin; mso-element-anchor-vertical: paragraph; mso-element-frame-hspace: 9.0pt; mso-element-left: -6.6pt; mso-element-top: -80.9pt; mso-element-wrap: around; mso-element: frame; mso-height-rule: exactly; text-align: center;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Orde Baru<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 144.7pt;" valign="top" width="193">
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-element-anchor-horizontal: margin; mso-element-anchor-vertical: paragraph; mso-element-frame-hspace: 9.0pt; mso-element-left: -6.6pt; mso-element-top: -80.9pt; mso-element-wrap: around; mso-element: frame; mso-height-rule: exactly; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Tak jelas pemisahan antara jabatan politik dan jabatan
administratif. Di satu sisi ada ketentuan yang mengatur eselonisasi
jabatan-jabatan di bawah menteri, namun tradisi politik Orba memperlakukan
semua jabatan seakan jabatan politik.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-element-anchor-horizontal: margin; mso-element-anchor-vertical: paragraph; mso-element-frame-hspace: 9.0pt; mso-element-left: -6.6pt; mso-element-top: -80.9pt; mso-element-wrap: around; mso-element: frame; mso-height-rule: exactly; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Pegawai negeri dikenakan kewajiban monoloyalitas
terhadap Golkar.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-element-anchor-horizontal: margin; mso-element-anchor-vertical: paragraph; mso-element-frame-hspace: 9.0pt; mso-element-left: -6.6pt; mso-element-top: -80.9pt; mso-element-wrap: around; mso-element: frame; mso-height-rule: exactly; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Golkar menempatkan birokrasi pada jalur B sebagai satu
faksi di tubuhnya.<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 102.05pt;" valign="top" width="136">
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-element-anchor-horizontal: margin; mso-element-anchor-vertical: paragraph; mso-element-frame-hspace: 9.0pt; mso-element-left: -6.6pt; mso-element-top: -80.9pt; mso-element-wrap: around; mso-element: frame; mso-height-rule: exactly; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Aktornya adalah para menteri kabinet pembangunan,
pegawai sipil yang terhimpun dalam Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-element-anchor-horizontal: margin; mso-element-anchor-vertical: paragraph; mso-element-frame-hspace: 9.0pt; mso-element-left: -6.6pt; mso-element-top: -80.9pt; mso-element-wrap: around; mso-element: frame; mso-height-rule: exactly; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Dalam Fraksi Karya Pembangunan (FKP) di DPR-RI, ada
faksi atau jalur B yaitu birokrasi.<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 119.25pt;" valign="top" width="159">
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-element-anchor-horizontal: margin; mso-element-anchor-vertical: paragraph; mso-element-frame-hspace: 9.0pt; mso-element-left: -6.6pt; mso-element-top: -80.9pt; mso-element-wrap: around; mso-element: frame; mso-height-rule: exactly; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Terjadi gejala :<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-element-anchor-horizontal: margin; mso-element-anchor-vertical: paragraph; mso-element-frame-hspace: 9.0pt; mso-element-left: -6.6pt; mso-element-top: -80.9pt; mso-element-wrap: around; mso-element: frame; mso-height-rule: exactly; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Bureacraty polity, terjadi dominasi birokrat dan
militer dalam pembuatan kebijakan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-element-anchor-horizontal: margin; mso-element-anchor-vertical: paragraph; mso-element-frame-hspace: 9.0pt; mso-element-left: -6.6pt; mso-element-top: -80.9pt; mso-element-wrap: around; mso-element: frame; mso-height-rule: exactly; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Birokratik patrimonial yaitu hubungan patron-klien
dalam birokrasi dan masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-element-anchor-horizontal: margin; mso-element-anchor-vertical: paragraph; mso-element-frame-hspace: 9.0pt; mso-element-left: -6.6pt; mso-element-top: -80.9pt; mso-element-wrap: around; mso-element: frame; mso-height-rule: exactly; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Korporatisme negara, terjadi kooptasi organisasi
masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: right; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: SV;">Diadaptasi dari Forum
Keadilan, N0. 45, Februari 2002 : 17</span><span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">KESIMPULAN<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">Dari
sekian pandangan dan analisis yang dikemukakan diatas. Hemat kami, bahwa
hubungan birokrasi dengan politik pada masa Orde Lama adalah hubungan yang
melibatkan diri sebagai salah satu kekuatan politik yang menyebar dari
faksi-faksi ideologi politik. Sehingga netralitas birokrasi tidak terjaga
terhadap kepentingan politik elite-elite politik yang kebanyakan tergabung
dalam partai politik. Singkatnya birokrasi merupakan alat politik bagi partai
politik dalam mempertahankan kekuasaan dan mencari dukungan. Sehingga
netralitas sebagai pelayan masyarakat menjadi sulit dilakukan karena birokrasi
terkotak-kotak oleh kepentingan politik yang ada. Sekalipun pada masa awal
pemerintahan ini keterlibatan birokrasi belum terlalu nampak, namun bukan
berarti birokrasi tidak terlibat dengan partai-partai politik.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">Sedangkan
hubungan Birokrasi dengan politik pada pemerintahan Orde Baru yang terbaca
adalah bahwa birokrasi dan ABRI di rangkul menjadi modal politik yang efektif.
Keberpihakan dan keterlibatan Birokrasi pada ranah politik untuk mendukung
salah satu kekuatan politik yang berkuasa adalah Golkar menjadi sulit dihindari
pada Orde Baru, hal ini dipengaruhi oleh struktur dalam departem-departemen
pada awalnya hampir ditempati oleh orang-orang Militer. Pemerintah Orde Baru
dengan kebijakan monoloyalitas dan kebijakan lainnya mengharuskan Birokrasi
untuk menjadi mesin politik kekuasaan yang efektif. Terbukti dari pemilu ke
pemilu, politik penyeragaman ideologi mengharuskan unutk mencoblos Golkar,
sehingga banyak orang mengatakan pemerintahan Orde Baru merupakan pemerintahan
birokrasi atau negara birokrasi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;"> Perbedaan keterlibatan birokrasi pada zaman
Orde Lama dan Orde Baru dalam politik yang paling mencolok adalah dimana masa
Orla keterlibatan politik birokrasi menyebar dari berbagai kepentingan politik.
Hanya saja pada masa Orde Baru keterlibatan birokrasi tidak menyebar ke
barbagai kekuatan politik, seperti partai-partai politik. Sepenuhnya merapat
pada kekuatan Golkar yang pada masa ini belum menjadi partai politik, dan
keberadaan birokrasi pada zaman itu benar-benar mempengaruhi rotasi
kepemimpinan nasional dan perpolitikan.
. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">Kedudukan
Birokrasi terhadap partai politik semenjak Presiden Soeharto tidak bisa
dikatakan netral. Walaupun Golkar yang menguasai pemerintahan saat itu bukanlah
“partai politik”, akan tetapi birokrasi pemerintah tidak bisa netral dari
kekuatan politik. Semua posisi dan jabatan birokrasi terkooptasi dan memihak
pada Golkar. Cara seperti ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan jaman
pemerintahan Presiden Soekarno yang memberikan akses kepada tiga kekuatan
politik Naskom untuk mengkavling birokrasi departemen pemerintah. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Keterkaitan birokrasi dengan politik memang tidak dapat dihindari. Pada
kenyataannya, birokrasi tidak pernah beroperasi dalam ”ruang hampa politik” dan
bukan aktor netral. Di samping itu birokrasi pada negara-negara berkembang
tidak bisa lepas dari pengaruh sistem internasional. Hal ini menempatkan
birokrasi tidak bisa hanya sebagai alat
penerapan kebijaksanaan publik yang netral. Jalan pikiran ini mengharuskan
pemikiran kembali ke pemahaman mengenai birokrasi, yang selama ini didasarkan
pada konseptualisasi Weberian, dan mencari kerangka berpikir alternatif yang bisa lebih tepat mendeskripsikan dan
menjelaskan fenomena birokrasi di masyarakat dunia ketiga seperti Indonesia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: Arial, sans-serif;"><b><br /></b></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center; text-indent: 36.0pt;">
<b><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">Daftar Pustaka<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">Agus
D., et.al., <b>Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia</b>, UGM Press, 2006<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">Afan Gaffar, <b>Politik Indonesia, Transisi Menuju
Demokrasi</b>. Pustaka Pelajar, yogyakarta. 2006,<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">A. Salim, <b>Perubahan Sosial</b>, Tiara Wacana,
Yogyakarta, 2002<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">Alfian,
<b>Masalah dan Prospek Pembangunan Politik di Indonesia</b>, Gramedia, Jakarta,
1990<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Anthony Giddens, <b>Kapitalisme dan
Teori Sosial Modern</b>, 1986<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">Moh.
Mahfud MD, <b>Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia</b>, Liberty, Yogyakarta,
1993<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">B.
Setiono, <b>Jaring Birokrasi Tinjauan dari Aspek Politik dan Administrasi</b>,
Gugus Press, Bekasi, 2002<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">Budi
Winarno, <b>Globalisasi Peluang atau Ancaman bagi Indonesia</b>, Erlangga,
Surabaya, 2008<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<span lang="ES" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: ES;">Begi Hersutanto, <b>Menata Birokrasi, Memangkas Korupsi</b>, CSIS Jakarta,
2007<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">F. Putra & S. Arif, <b>Kapitalisme Birokrasi</b>,
LkiS, Yogyakarta, 2001<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">Jimly
Asshiddiqie. <b>Kebebasan Berserikat, pembubaran Partai politik, dan Mahkama
Konstitusi</b>. Diterbitkan oleh sekteriatan Jenderal dan Kepanitraan Mahkama
Konstitusi RI. 2005. jakarta. Hal 189-190.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">Lance
Castles, et.al., <b>Birokrasi, Kepemimpinan dan Revolusi Sosial</b>, Hapsara,
Surakarta, 1983<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">Miftah
Thoha. <b>Birokrasi dan Politik Indonesia</b>. PT. RajaGrafindo Persada.
Jakarta. 2003<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">Martin Albrow, <b>Birokrasi</b>, Tiara Wacana,
Yogyakarta, 2005<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Mohtar Mas’oed, <b>Politik, Birokrasi dan Pembangunan</b>, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2003</span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">P.M.
Blau & M.W. Meyer, <b>Birokrasi dalam Masyarakat Modern</b>, Prestasi
Pustakaraya, Jakarta, 2000<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;">
<span lang="IT" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IT;">Syafuan Rozi, </span><b><span lang="SV" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Model</span></b><b><span lang="IT" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IT;"> Reformasi Birokrasi Indonesia</span></b><span lang="IT" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IT;">. </span><span lang="ES" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: ES;">LIPI
Jakarta</span><span lang="IT" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IT;">, 2000</span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="ES" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: ES;">Syaiful Arif, <b>Reformasi Perilaku
Birokrasi</b>, Jawa Pos 20 April 2008</span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: IN;">Majalah Forum Keadilan, No. 24 Februari 2002<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>Saifullah Ibnuhttp://www.blogger.com/profile/11480039276060922446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-335071561411262022.post-56937496799178359072012-02-23T00:32:00.002-08:002012-02-23T00:32:31.227-08:00Untuk Apa Ber-NTB Lagi..!!?<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9yHTkuhGaEz2QLlg2ksJetfT7iroF1YEd-HqM-I0Mb3y3Zlyu7GML_Ywwav8ez3MlO76-cyZ7YAnAnAYl_iTiRQOEuiIrqf5tw7Z07EbCCdjR7xnXjDpuXMl3qCZF8hhkDyRkb5GvWtpO/s1600/ffffffff.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9yHTkuhGaEz2QLlg2ksJetfT7iroF1YEd-HqM-I0Mb3y3Zlyu7GML_Ywwav8ez3MlO76-cyZ7YAnAnAYl_iTiRQOEuiIrqf5tw7Z07EbCCdjR7xnXjDpuXMl3qCZF8hhkDyRkb5GvWtpO/s200/ffffffff.jpg" width="131" /></a></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: 'Bookman Old Style', serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Perilaku
tidak terpuji yang ditampilkan para elite politik di Bumi Nusa Tenggara Barat,
seperti kasusus korupsi yang menyeret nama sang Gubernur Lalu Srinate telah
mencederai proses demokrasi dalam kepemimpinanya di NTB. Dim-ana semangat
kegotongrayaongan dan asas kedae-rahan yang dimiliki oleh segenap etnis yang
ada di NTB yaitu (Sasak, Samawa, dan Mbojo) telah di-hancurkan dengan prilaku
politik </span><i style="font-family: 'Bookman Old Style', serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">(political bihaviour)</i><span style="font-family: 'Bookman Old Style', serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"> serta
skenario diskriminasi yang diseting oleh penguasa yang berasal dari daerah
tertentu berjalan dengan baik dalam mendistribusi seluruh produk kebijakan yang
telah menjadikan Sumba-wa, Bima dan Dompu, tidak tersentuh oleh proses
pembangunan. Baik, pembangunan Infrastruktur, pengembangan SDM, pemberdayaan
para petani, memperhatikan buruh tani adalah </span><i style="font-family: 'Bookman Old Style', serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">an sih</i><span style="font-family: 'Bookman Old Style', serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">. Jujur saja, Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
hanya memperhatikan NTB kawasan Barat. Sementara kawasan timur masih jauh
tertinggal. Jadi, kalau begitu, untuk apa masyarakat </span><st1:place style="font-family: 'Bookman Old Style', serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;" w:st="on">Sumbawa</st1:place><span style="font-family: 'Bookman Old Style', serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">,
Bima, dan Dompu ber-NTB lagi?.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Bookman Old Style","serif";">Jadi,
keharusan pemekaran bumi Pulau Sumbawa, merupakan suatu hal yang determinan
(pisah dengan Lombok, Mataram) sama hal dengan bebas dari komunitas jahilia,
artinya setara dengan perbuatan menegakkan sebuah keadilan di atas ketidak
adilan dan menegakkan nilai-nilai demokrasi. Bumi Sumbawa sudah saatnya memang
melambaikan tangan. Berteriak lantang didepan para punggawa-punggawa negeri
ini. Terutama, pada perwakilan pulau Sumbawa DPR/DPD dari Gedung rakyat yang
lebih representatif sebagai tugas dan kewajiban yang diamanatkan oleh rak-yat
(SUBIDO). Igat! Pewacanaan tidak merupakan konfigurasi akuntability kepada
rakyat. Tapi yang dibutuhkan adalah aktualisasi dari pada wacana dan artikulasi
aspirasi rakyat dalam bentuk nyata. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="EN-US" style="font-family: "Bookman Old Style","serif";">Propinsi
Pulau <st1:place w:st="on">Sumbawa</st1:place> <o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Bookman Old Style","serif";">Propinsi
pulau <st1:place w:st="on">Sumbawa</st1:place> dibentuk demi memaksimalkan
pelayanan dan kesejahteraan rakyat sebagi kebutuhan yang sangat mendasar.
Adapun tujuan dari pemekaran adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melaui peningkatan pelayanan masyarakat, percepatan pertubuhan demokrasi,
percepatan pembangunan perekonomian daerah, serta peningkatan keamanan dan
ketertiban, serta peningkatan serasi antara pusat dan daerah. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Bookman Old Style","serif";">Sekali
lagi, demi tujuan yang dikhendaki oleh masyarakat di bumi pulau <st1:place w:st="on">Sumbawa</st1:place>, menanti kehadiran Propimsi Pulau Sumbawa yang
sekian lama menjadi harapan dan <i>people
the colektive interens</i> (kepentingan bersama- masyarakat). </span><span lang="FI" style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; mso-ansi-language: FI;">Seba-gai
salah satu tuntutan dalam mengembangkan daerah dan masyarakat itu sendiri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; mso-ansi-language: FI;">Bila persoalan lain menjadi kekhwatiran adalah sah-sah saja semasi itu
dalam koridor yang normal. Bumi Pulau Sumbawa memiliki empat kabubaten dan satu
kota, (Kota Bima, Kabubaten Bima, Kabubaten Dompu, Kabubaten Sumbawa, Kabubaten
Sumbawa Barat). Secara geografis dan
jumlah penduduk, serta jumlah kabubaten kota sebagai persyaratan administrasi,
telah memenuhi syarat yang di tentukan oleh Undang-Undang No 32 tahun 2004
tentang pemerintah daerah. dan PP No 129 tahun 2000 tentang persyaratan
pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan, penggabungan adalah
berdasarkan 7 kriteria utama, yakni (1) kemampuan ekonomi, (2) potensi daerah,
(3) sosial budaya, (4) sosial politik, (5) jumlah penduduk, (6) luas daerah dan
(7) pertimbangan lainnya. lalu apa lagi?
secara yurdis normatif dan secara sosial politik, budaya dan lain-lain telah
terpenuhi semua di bumi pulau Sumbawa. Selama ini hasil kekayaan alam di pulau
Sumbawa banyak dipergunakan untuk pembangunan Lombok. Dengan pemekaran itu
pulau Sumbawa akan menikmati kekayaan alam yang dimilikinya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; mso-ansi-language: FI;">Persoalan lainya adalah mungkin para punggawa bumi Pulau Sumbawa akan
bertanya, dimanakah puasat kepemerintahan Propinsi, Apakah di Bima, Sumbawa,
Dompu?. </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Bookman Old Style","serif";">Bagi
saya, persoalan itu tidak terlalu urhen, bukan berati tidak penting. Yang
terpenting agar tidak mendahului adalah pembetukan pulau sumbawa, baru kemudian
masuk pada fase selanjutnya, Yaitu berbicara lokus sentral kepemerintahan
propinsi. Jadi langkah yang paling cantik dan terpuji adalah membentuk pulau <st1:place w:st="on">Sumbawa</st1:place> sebagai pecahan dari NTB. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Bookman Old Style","serif";">***<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Bookman Old Style","serif";">Salam
untuk kawan-kawan seperjuangan dan serumput, sebagai bentuk nasionalisme
kedaerahan. Maka saatnya bumi pulau <st1:place w:st="on">Sumbawa</st1:place>
kita bamgun sebagai propinsi. <i>Selama kita
berjuang untuk tanah leluhur yang diwarisi oleh petuah dan nenek moyang
berad-abad silam, ingat…! perjuangan tidak akan pernah luntur dengan Intimidasi
dan moncong bedil.* </i> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Book Antiqua","serif";"> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Book Antiqua","serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"><o:p> (Dimuat di Harian suara Mandiri Bima)</o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>Saifullah Ibnuhttp://www.blogger.com/profile/11480039276060922446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-335071561411262022.post-46272001947477350092012-02-23T00:26:00.001-08:002012-02-23T00:26:13.543-08:00AKROBAT POLITIK PILKADA<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.25pt;">Sejak era reformasi digulirkan pada tahun 1998 bangsa </span><st1:place style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.25pt;" w:st="on"><st1:country-region w:st="on">indonesia</st1:country-region></st1:place><span style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.25pt;">
mengalimi liberalisasi politik salah satu perubahannya adalah sistem
ketatanegaraan yaitu dari sitem sentralistik menuju desentralistik yang diperkuat
melalui Undang-Undang No 32 tahun 2002 tentang pemerintahan daerah. Perubahan
itu termanifestasi dalam bentuk Pilkada baik ditingkat propinsi maupun
ditingkat kabupaten dan </span><st1:place style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.25pt;" w:st="on"><st1:city w:st="on">kota</st1:city></st1:place><span style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.25pt;">.
Namun selama sepuluh tahun era reformasi berjalan pesta demokrasi lokal berbarengan
dengan eforia elit-elit politik lokal masih banyak yang harus dibenahi kadar
kualitas demokrasi lokal.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.25pt;">
<span lang="EN-US">Ditengah-tengah dentuman Iklim politik <st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region> yang maha dahsad di tahun 2008 sekarang banyak daerah yang menggelar
pilkada langsung hampir di seluruh seantero <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>. Suksesi politik lokal
tersebut termasuk daerah NTB dan Kota Bima yang insyaalah tanggal 19 Mei akan
diadakan pencoblosan. Tentu suasana percaturan politik semakin menegangkan para
kandidat serta pendukung-pendukungnya, berbagai model manuver politik yang dikemas
dengan berbagai alasan pembenaran semu yang dianggap strategis dan jitu dalam mempengaruhi
<i>political choise</i> masyarakat akan siap
dilakukan karena suasana demikian dalam politik praktis kecendrungannya seluruh
energi yang tersisah akan dikerahkan dengan cara-cara yang tidak mencerminkan
permainan yang menjunjung tinggi fatsoen politik yaitu jujur, adil dan terbuka,
pada sisi lain juga memperlihatkan arogansi dan ambigiusitas para calon. Nah,
Pada momen demikian masyarakat dituntut untuk tidak terjebak oleh hasutan-hasutan
politik melalui pemberian yang bersifat sesaat karena akan menentukan masa
depan <st1:city w:st="on">lima</st1:city> tahun kedepan adalah pilihan dalam
waktu <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">lima</st1:city></st1:place>
detik dibalik bilik suara hari ini. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.25pt;">
<span lang="EN-US">Pada sisi lain substansi pilkada yang membuka kran pesta
demokrasi lokal yang memberikan ruang kompetisi seluas-luasnya kepada putra
putri daerah yang memimpikan dirinya menjadi pemimpin masyarakatnya dengan
melalui jalur partai politik. Namun, ditegah hentakan dan dentuman pentas kompetisi
politik banyak akrobat-akrobat politik
yang mewarnai hari-hari kita. Setidaknya akrobat-akrobat politik yang
dimainkan oleh elit-elit politik tersebut kalau kemudian tidak dilakukan
tindakan preventif secara bersama-sama akan melabrak nilai-nilai demokratisasi yang
kita perjuangkan melalui ongkos politik yang begitu mahal itu, antara lain hemat
penulis yang perlu kita antisipasi demi menciptakan pilkada yang demokratis
pula:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.25pt;">
<i><span lang="EN-US">Pertama,</span></i><span lang="EN-US"> bisa kita lihat sejak tahapan penjaringan calon oleh partai politik.
Dimana tradisi rutinitas demokrasi dalam melakukan sirkulasi kepemimpinan lima
tahunan sekali demi melahirkan pemimpi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat,
namun konstelasi politik partai pada momen Pilkada sering menampilkan <i>“politik ajimumpung”</i> yaitu menganggap pilkada
sebagai komoditas politik yang menjanjikan fulusiologis. Sehingga banyak yang
terjadi bukan mengusung kader yang memiliki integritas diri, ability secara keilmuan
dan pengalaman yang memadai. Akan tetapi siapa yang banyak uang itulah yang
diusung. Nilai idealitas partai secara otomatis diukur dengan volume rupiah, dalam
konteks ini pantas kiranya Kar Max mengatakan uang sebagai pelacur universal
dalam artian uang mengijinkan pertukaran segala hal untuk segala hal. pilahan
pragmatis itulah akan membunuh pilihan rasional. bukan bagaimana smestinya nilai
perjuangan partai yang esensial itu diperjuangkan. Hal demikian membuat antar
kader partai terjadi konflik yang berbuntut pada terciptanya fragmentasi
diinternal partai. Sehingga Berbicara partai yang sehat sebagai ketentuan
terciptanya iklim yang demokratis akan jauh dari harapan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.25pt;">
<i><span lang="EN-US">Kedua,</span></i><span lang="EN-US"> tahapan kampanye. Masa ini idealnya adalah kesempatan para calon
untuk menyampaikan visi misi kepada masyarakat secara terbuka, agar kemudian diharapkan
masyarakat bisa memilah dan memilih mana yang terbaik dari yang baik. Upaya sugestikan
keyakinan masyarakat Justru tidak akan terjadi kalau kemudian kampaye dijadikan
media ajang pertunjukan bantai membantai antara satu dengan yang lain, ajang
unjuk kekuatan kapital serta ajang janji-janji politik semu. Pada suasana
demikian juga sering terjadi bentrok antar <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">massa</st1:city></st1:place> kandidat seperti yang terjadi pada
kampaye dikota bima baru-baru ini. Masyarakat yang masih kurang berkesadaran
politik menjadi tumbal atas akrobat-akrobat politik yang dimainkan oleh
elit-elit politik yang paham tentang kondisi masyarakat yang masih
paternalistik dan loyalitas buta terhadap salah satu patron. Pendidikan politik
yang sehat justru semakin jauh dari kenyataan kalau cara main elit-elit politik
masih menggunakan cara-cara klasik tersebut. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.25pt;">
<i><span lang="EN-US">Ketiga </span></i><span lang="EN-US">adalah tahap yang sering kita sebut <i>“minggu tenang”</i>. Minggu tenang ini dalam konstelasi politik praktis
sebenarnya tidak ada yang tenang hanya saja istilahnya saja yang tenang. Karena
secara psikologis semua calon dan pendukungnya memikirkan limit waktu
perjuangan tinggal hitungan hari untuk meraih dukungan masyarakat. Pada
kesempatan ini banyak pelanggaran yang segaja dilakukan oleh tim sukses
masing-masing calon demi sebuah cita-cita kemenangan. Bentuk pelanggaran itu
yang sering kita sebut antara lain money politics, sembako politik seperti yang
terjadi di Kelurahan Na’e oleh salah satu tim pemenang calon tertentu, dan
sejenisnya akan bermain dibalik kemasan silaturrahim keluarga besar serta
pembenaran-pembenaran lainya. Tindakan-tindakan demikian tentu akan mencedrai
esensi Pilkada. Karena kompetisi yang sehat dan jujur adil gagal diciptakan
dalam artian sebenarnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.25pt;">
<i><span lang="EN-US">Kempat</span></i><span lang="EN-US"> adalah pada tahap penetapan pemenang oleh KPUD. Dari empat tahap itu
memiliki bobot sensitifas tinggi kadarnya dalam kultur perpolitik kita (baca
pilkada <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">indonesia</st1:country-region></st1:place>)
yang akan berpotensi mencedrai esensi dari pada Pilkada itu sendiri. KPUD dan
PANWASLU sebagai penyelenggara dan pemonitoring yang diamanatkan oleh
undang-undang dituntut untuk cekat dan tegas melihat, mendengar pelanggaran
yang tidak mengindahkan aturan main. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.25pt;">
<span lang="EN-US">Lembaran akhir pesta demokrasi adalah pengumuman
pemenang oleh KPU. Namun sesungguhnya pada tahap ini suhu politik sangat tinggi
derajat kerusakannya dalam mencedrai tujuan pilkada. Fenomena politik pada
tahap ini hampir diseluruh seantero daerah bumi <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">indonesia</st1:country-region></st1:place> banyak dinodai oleh
ketidak siapan calon untuk menerima kekalahan. Contoh kasualistik adalah kasus
pilkada lamongan tahun 2006 dimana <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">massa</st1:city></st1:place>
salah satu calon membakar kantor KPUD dan rumah calon yang menang. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.25pt;">
<span lang="EN-US">Persoalan yang paling substansial dalam kultur politik
kita adalah kesiapan para calon untuk kalah-menang belum teruji. Sesungguhnya
yang sering terjadi dalam konstelasi perpolitikan elit politik kita sampai hari
ini masih mengedepankan ambisi-ambisi politik yang berlebihan kadar kewajaranya
sehingga mudah melahirkan ekspresi-ekspresi barbarisme <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">massa</st1:city></st1:place> yang tidak terkendali. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.25pt;">
<span lang="EN-US">Menelitik dari potensi membelotnya substansi pilkada
diatas perlu kita ajukan Pertanyaan yang pantas kita pertanyakan melalui momen Pilkada
Kota Bima sekarang adalah PILKADA UNTUK SIAPA? Kalau pilkada dimaknai sebagai
pertarungang antar elit-elit politik demi kepuasan ambisi sesaat, masih
pantaskah kita maknai Pilkada sebagai salah satu pilar utama demokrasi?. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.25pt;">
<span lang="EN-US">Untuk menjaga skenario politik elit politik yang
absurditas tentang kedaulatan rakyat, semogah lewat pesta demokrasi lokal yang
digelar didaerah kita tercinta ini semua para calon walikota dan wakilil
walikota Bima periode 2008-20013 siap menang dan lebih-lebih siap untuk kalah sebagai
bentuk pendidikan politik yang riil bagi masyarakat dan bersama-sama bersepakat
untuk membiarkan rakyat memilih sesuai dengan hati nuraninya tampa harus tidak mengindahkan
norma hukum dan norma agama, serta norma sosial yang berlakuka dimasyarakat demi
menciptakan kedaulatan rakyat yang sebenar-benarnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.25pt;">
<span lang="EN-US">Semua mata menuju kelangit sejenak dengan berharap Pilkada
hari ini tidak melahirkan penguasa hasil skenario politik tingkat tinggi antara
beberapa kepentigan kelompok politik pragmatis, demi tidak melahirkan pemimpi
yang memiliki gelar sebagai arsitek agung yang sanggup membangun kedamaian
dengan tiang ketidak adilan, mampu menegakkan kebersamaan dengan landasan
kecurangan, bisan memimpikan kerukunan dengan mempertahankan penindasan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 72pt; text-align: justify;">
<b>Opini Koran Suara Mandiri.</b></div>Saifullah Ibnuhttp://www.blogger.com/profile/11480039276060922446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-335071561411262022.post-36390506408082897012012-02-23T00:20:00.001-08:002012-02-23T00:20:48.650-08:00INDIKATOR PENGUKURAN DEMOKRATIS Sebuah Tinjauan Teoritis<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcaGUpIMWAtw7KKXuMtOAGb0kZallCOcstrPwO4KvDAw968enEhTRE4bWS_kuNiMbKfVWMZawnghoMBOGUm6YYXTQY5FBCTTtbTUVkwdMfUxEpGqnaI3KIim0rdVLM19SiJhAsHk6WGoCn/s1600/IMG0147A.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcaGUpIMWAtw7KKXuMtOAGb0kZallCOcstrPwO4KvDAw968enEhTRE4bWS_kuNiMbKfVWMZawnghoMBOGUm6YYXTQY5FBCTTtbTUVkwdMfUxEpGqnaI3KIim0rdVLM19SiJhAsHk6WGoCn/s200/IMG0147A.jpg" width="150" /></a></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<span style="font-family: Tahoma, sans-serif;"><b><br /></b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Sebuah negara menurut Amien Rais, disebut sebagai negara demokrasi jika
memenuhi beberapa kriteria, yaitu; (1) partisipasi dalam pembuatan keputusan,
(2) persamaan di depan hukum, (3) distribusi pendapat secara adil, (4)
kesempatan pendidikan yang sama, (5) empat macam kebebasan, yaitu kebebasan
mengeluarkan pendapat, kebebasan persuratkabaran, kebebasan berkumpul dan
kebebasan beragama, (6) ketersediaan dan keterbukaan informasi, (7)
mengindahkan fatsoen atau tata krama politik, (8) kebebasan individu, (9)
semangat kerja sama dan (10) hak untuk protes.<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-size: 12pt;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa demokratisasi berarti melawan monopoli kaum
politisi, pejabat dan teknokrat untuk begitu saja menetukan apa yang baik bagi
masyarakat<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-size: 12pt;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></a>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Robert A. Dahl mengajukan lima kriteria bagi sebuah demokrasi yang ideal,
yaitu; (1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang
mengikat, (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga
negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif, (3) pembeberan
kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan
penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis, (4)
kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksklusif bagi
masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan
melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang
lain atau lembaga yang mewakili masyakat, dan (5) pencakupan, yaitu terliputnya
masyarakat yang tercakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum.<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-size: 12pt;">[3]</span></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Dahl juga mengajukan tujuh indikator bagi demokrasi secara empirik, yaitu<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftn4" name="_ftnref4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-size: 12pt;">[4]</span></span><!--[endif]--></span></a>:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 72.0pt; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 72.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.15pt;">
<!--[if !supportLists]--><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-fareast-font-family: Tahoma;">1.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></i><!--[endif]--><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Control
over govermental decitions about policy is constitutionally vested in elected
officials;<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 72.0pt; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 72.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.15pt;">
<!--[if !supportLists]--><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-fareast-font-family: Tahoma;">2.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></i><!--[endif]--><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Elected
officials are chosen and peacefully removed in relatively frequent, fair dan
free election in which coercion is quite limited;<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 72.0pt; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 72.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.15pt;">
<!--[if !supportLists]--><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-fareast-font-family: Tahoma;">3.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></i><!--[endif]--><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Pratically
all adults have the right to vote in these elections;<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 72.0pt; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 72.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.15pt;">
<!--[if !supportLists]--><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-fareast-font-family: Tahoma;">4.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></i><!--[endif]--><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Most
adults have the right to run for public offices for which candidates run these
elections;<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 72.0pt; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 72.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.15pt;">
<!--[if !supportLists]--><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-fareast-font-family: Tahoma;">5.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></i><!--[endif]--><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Citizens
have an efectively enforced right to freedom of expression, the conduct of
goverment, the prevailing political, economy, and social system, and the
dominant ideology;<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 72.0pt; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 72.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.15pt;">
<!--[if !supportLists]--><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-fareast-font-family: Tahoma;">6.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></i><!--[endif]--><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">They
also have acces to alternative sources of information that are not monopolized
by the government or any other single group;<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 72.0pt; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 72.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.15pt;">
<!--[if !supportLists]--><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-fareast-font-family: Tahoma;">7.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";">
</span></span></i><!--[endif]--><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Finally
they have and effectively enforced right to form and join autonomous
associations, including political associations, such as political parties and
interest groups, that attempt to influence the goverment by competing in
elections and by other peaceful means.<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftn5" name="_ftnref5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><b><span lang="EN-US" style="font-size: 12pt;">[5]</span></b></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Sebagai perbandingan dari indikator yang diajukan oleh Dahl di atas,
kalangan ilmu politik Indonesia,<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftn6" name="_ftnref6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-size: 12pt;">[6]</span></span><!--[endif]--></span></a>
setelah mengamati demokrasi di berbagai negara merumuskan demokrasi dengan
menggunakan lima indikator tertentu. Pertama; Akuntabilitas. Dalam demokrasi,
setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat
mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya. Tidak
hanya itu, ia juga harus dapat mempertangung jawabkan ucapan atau kata-katanya.
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah perilaku dalam kehidupan yang pernah,
sedang, bahkan akan dijalankan. Pertanggungjawaban tersebut tidak hanya
menyangkut dirinya, tetapi juga menyangkut keluarganya dalam arti luas. Yaitu
perilaku anak istrinya, juga sanak keluarganya, terutama yang berkait dengan
jabatannya. Dalam konteks ini, si pemegang jabatan harus bersedia menghadapi
apa yang disebut “public scrutiny”, terutama yang dilakukan oleh media massa
yang telah ada.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Kedua; Rotasi Kekuasaan. Dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi
kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. Jadi, tidak hanya
satu orang yang selalu memegang jabatan, sementara peluang orang lain tertutup
sama sekali. Biasanya, partai politik yang menang pada suatu pemilu akan diberi
kesempatan untuk membentuk eksekutif yang mengendalikan pemerintahan sampai
pada pemilihan berikutnya. Dalam suatu negara yang tingkat demokrasinya masih
rendah, rotasi kekuasaan biasanya kalaupun ada, hal itu hanya akan dilakukan dalam
lingkungan yang terbatas di kalangan elit politik saja. Ketiga; rekruitmen
politik yang terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan,
diperlukan suatu sistem rekruitmen politik yang terbuka. Artinya, setiap orang
yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh
rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi
jabatan tersebut. Dalam negara yang tidak demokratis, rekruitmen politik
biasanya dilakukan secara tertutup. Artinya, peluang untuk mengisi jabatan
politik hanya dimiliki oleh beberapa orang saja.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Keempat; pemilihan umum. Dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilaksanakan
secara teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk
memilih dan dipilih serta bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan
kehendak hati nuraninya. Dia bebas untuk menentukan partai atau calon mana yang
akan didukungnya, tanp ada rasa takut atau paksaan dari orang lain. Pemilih
juga bebas mengikuti segala macam aktifitas pemilihan, termasuk didalamnya
kegiatan kampanye dan menyaksikan penghitungan suara. Kelima menikmati hak-hak
dasar. Dalam suatu negara yang demokratis, setiap warga masyarakat dapat
menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya adalah hak
untuk menyatakan pendapat (freedom of expression), hak untuk berkumpul dan
berserikat (freedom of assembly), dan hak untuk menyatakan pendapat dan
digunakan untuk menentukan prefensi politiknya, tentang suatu masalah, terutama
yang menyangkut dirinya dan masyarakat sekitarnya. Hak untuk berkumpul dan
berserikat ditandainya dengan kebebasan untuk menentukan lembaga, atau
organisasi mana yang ingin dia bentuk atau dia pilih.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">definisi<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Alfian<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftn7" name="_ftnref7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-size: 12pt;">[7]</span></span><!--[endif]--></span></a>
mendefenisikan demokrasi sebagai sebuah sistem politik yang memelihara
keseimbangan antara konflik dan konsensus.<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftn8" name="_ftnref8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-size: 12pt;">[8]</span></span><!--[endif]--></span></a>
Menurut Alfian, demokrasi memberikan toleransi adanya perbedaan pendapat atau
pertikaian pendapat. Perbedaan atau pertikaian itu bisa diartikan sebagai
sebuah konflik. Konflik disini tidak mengarah kepada kerancuan demokrasi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Salah satu aksioma dalam sistem politik demokrasi adalah bahwa demokrasi
tidak mungkin diwujudkan tanpa adanya rule of law. Mengapa demikian? Jawabannya
tentu tidaklah sulit. Demokrasi yang mengisyaratkan adanya pelaksanaan hak-hak
dasar seperti hak menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan, berkumpul dan
berserikat, sudah barang tentu memerlukan adanya aturan main yang jelas dan
dipatuhi secara bersama. Tanpa adanya sebuah aturan main yang demikian, maka
proses pelaksanaan hak-hak tersebut akan mengalami berbagai hambatan, karena
adanya perbedaan-perbedaan dalam hal akses, kemampuan, status, gender, dan
kelas sosial dan sebagainya. Dengan menggunakan aturan main yang tidak bias
terhadap individu maupun kelompok tertentu, maka akan dapat dicapai semacam
kondisi kesetaraan, yakni kesetaraan di muka umum, sehingga masing-masing pihak
dapat berpartisipasi secara penuh, terbuka dan adil. Guna menjamin tercapainya
partisipasi tersebut, tentunya harus dituangkan dalam sebuah ketentuan hukum yang
mendasar (baca; konstitusi).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Beberapa studi yang pernah dilakukan oleh Mahfud MD<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftn9" name="_ftnref9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-size: 12pt;">[9]</span></span><!--[endif]--></span></a>
menghasilkan kesimpulan bahwa di sepanjang sejarah Indonesia telah terjadi
tarik-menarik antar politik yang demokrasi dan politik yang otoriter. Politik
demokrasi dan otoriter selalu muncul secara bergantian melalui pergulatan
politik yang kadangkala keras. Mahfud menguraikan bahwa dalam teks otentiknya
semua konstitusi yang pernah atau sedang berlaku di Indonesia menetapkan
demokrasi sebagai salah satu prinsip bernegara yang fundamental, tetapi tidak
semua pemerintahan dan sistem politik yang lahir di Indonesia ini demokrasi,
malahan ada kecenderungan bahwa langgam demokrasi hanya terjadi pada awal
kehadiran sebuah rezim. Yang tampaknya menentukan implementasi prinsip
demokrasi dalam kehidupan bernegara adalah bagaimana demokrasi itu tidak hanya
disebutkan sebagai prinsip di dalam konstitusi melainkan dielaborasi secara
ketat di dalam konstitusi itu sendiri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Tujuan utama dari konstitusi ialah membatasi secara efektif kekuasaan
pemerintah sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak dilakukan secara
sewenang-wenang. Tujuan penting dari konstitusi adalah untuk melindungi hak-hak
dasar warga negara dari penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara kekuasaan.
Kedua tujuan tersebut hanya dapat dicapai jika pengorganisasian kekuasaan
negara tidak menumpuk pada satu badan atau satu orang saja. Kekuasaan mestilah
didistribusikan. Dengan pendistribusian kekuasaan ke beberapa orang atau
lembaga dapat dicegah penyalahgunaan kekuasaan. Maka dari itu istilah
konstitusionalisme muncul untuk menandakan suatu sistem asas-asas pokok yang
menetapkan dan membatasi kekuasaan serta hak bagi yang memerintah (pemegang
kekuasaan) maupun bagi yang diperintah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Pembahasan konstitusi erat kaitannya dengan sistem demokrasi yang dianut
oleh suatu negara. Kebanyakan negara modern sekarang termasuk negara-negara
yang baru mencapai kemerdekaan setelah perang dunia II usai telah sejak semua
menganut sistem demokrasi konstitusional. Yang menjadi ciri khas demokrasi
konstitusional ialah adanya pemerintahan yang kekuasaannya terbatas dan tidak
dipekenankan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Pembatasan-pembatasan
tersebut tercantum dalam konstitusi. Dalam sistem demokrasi konstitusional,
kekuasaan negara berada di tangan rakyat. Pemegang kekuasaan dibatasi
wewenangnya oleh konstitusi sehingga tidak melanggar hak-hak asasi rakyat. </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Antara kekuasaan eksekutif
dan cabang-cabang kekuasaan lainnya terdapat check and balance. </span><span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Lembaga
legislatif mengontrol kekuasaan eksekutif sehingga tidak keluar dari rel
konstitusi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Oleh International Commission of Jurist dalam konferensinya di Bangkok pada
tahun 1965, negara-negara yang menganut asas demokrasi disebut juga sebagai
representatif government. </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Tahoma","sans-serif";">Adapun
yang dimaksud dengan representatif government oleh Internasional Commission of
jurist adalah Representative government is a government deriving its power and
authority form the people, which the people and authority are exercised through
representative freely chosen and responsible to them.<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftn10" name="_ftnref10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 12pt;">[10]</span></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">Kemudian organisasi para sarjana hukum internasional di atas menentukan
pula syarat-syarat adanya representative government atau adanya asas-asas
demokrasi dalam suatu negara, yakni<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftn11" name="_ftnref11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-size: 12pt;">[11]</span></span><!--[endif]--></span></a>:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">1. Adanya proteksi konstitusional;<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">2. Adanya kekuasaan peradilan yang bebas dan tidak memihak;<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">3. Adanya pemilihan umum yang bebas;<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">4. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat;<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">5. Adanya tugas-tugas oposisi; dan,<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; mso-ansi-language: SV;">6. Adanya pendidikan civils<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftn12" name="_ftnref12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-size: 12pt;">[12]</span></span><!--[endif]--></span></a>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div>
<!--[if !supportFootnotes]--><br clear="all" />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<!--[endif]-->
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="SV"> Lihat Amien Rais, Demokrasi dan Proses
Politik, dalam Demokrasi dan Proses Politik, Seri Prisma Jakarta, diterbikan
LP3ES, 1986</span><span lang="EN-US"><o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn2">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="SV"> Frans Magnis Suseno, Kuasa dan Moral,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 47.</span><span lang="EN-US"><o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn3">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[3]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="EN-US"> </span><span lang="SV">Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis; Antara Otonomi dan Kontrol,
terjemahan oleh Sahat Simamora, penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 1985</span><span lang="EN-US"><o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn4">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[4]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="SV"> Afan Gaffar, Politik Indonesia Menuju
Transisi Demokrasi, Pustaka Pelajar Jakarta, 1996. hlm. 6-7.</span><span lang="EN-US"><o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn5">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftnref5" name="_ftn5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[5]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="SV"> Dari indikator yang diajukan Dahl
tersebut, menurut Afan Gaffar, dapat dlihat sejumlah pesyaratan apakah sebuah
political order merupakan sistem yang demokratis atau tidak, yaitu; akuntabilitas,
rotasi kekuasaan, rekruitmen politik yang terbuka, pemilihan umum, dan
menikmati hak-hak dasar. (Afan Gaffar, Ibid, hal. 8)</span><span lang="EN-US"><o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn6">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftnref6" name="_ftn6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[6]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="SV"> Lihat Affan Gaffar 1998; Melian 2000;
Soemantri 1971; Budiardjo 1996</span><span lang="EN-US"><o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn7">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftnref7" name="_ftn7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[7]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="EN-US"> Menurut Gabriele A. Almond, seperti dikutip Rusandi Sumintapura
dalam bukunya Sistem Politik di Indonesia, (Sinar Baru, 1988: 8), sistem
politik adalah “…the political system is that system of interaction of be found
in all independent societies, which performs the function of intergration and
adaptattion (both internally and vis a vis other societies) by means of
employment or threat of employment, of more or less legitimate physical
compulsion”<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn8">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftnref8" name="_ftn8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[8]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="SV"> Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik
Indonesia, Gramedia Jakarta, 1986, hlm.</span><span lang="EN-US"><o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn9">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftnref9" name="_ftn9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[9]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="SV"> Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,
LP3ES, Jakarta, 1998</span><span lang="EN-US"><o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn10">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftnref10" name="_ftn10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[10]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="SV"> Sri Soemantri, Demokrasi Pancasila dan
Implementasi Menurut Undang-undang Dasar 1945, penerbit Alumni Bandung, 1969. </span><span lang="EN-US">Hal.14<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn11">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftnref11" name="_ftn11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[11]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="EN-US"> Sri Soemantri, Op-cit, hal. 157<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn12">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/INDIKATOR%20PENGUKURAN%20DEMOKRATIS.rtf#_ftnref12" name="_ftn12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[12]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="EN-US"> sebagai perbandingan, ciri dan persyaratan negara hukum modern
(welfare state) adalah: (1) Perlindungan konstitusional, (2) Adanya badan
kehakiman yang bebas (independent and inpertial tribunals), (3) Pemilu yang
bebas, (4) Kebebasan untuk menyatakan pendapat, (5) Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi
dan beroposisi, (6) Pendidikan kewarganegaraan.<o:p></o:p></span></div>
</div>
</div>Saifullah Ibnuhttp://www.blogger.com/profile/11480039276060922446noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-335071561411262022.post-71608565243758926312012-02-23T00:11:00.000-08:002012-02-23T00:12:09.493-08:00Wacana Demokrasi, Praktek Demogrezy<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<i style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="FI" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt;"><br />Aku ingin memuntahkan seluruh isi perutku, dan
meluahkan seluruh emosi yang selama ini telah menjadi gumpalan api dalam
tubuhku, ku ingin letupkan seketika seperti letupan Bom yang meluluhlantahkan
Unisoviet. Dan kumuntahkan api perlawanan itu
seperti gunung merapi memuntahkan lempengan yang ada dalam perutnya, dan
ku ingin banting dia seperti ombak membanting karang, biar mati seketika
manusia-manusia itu yang selalu berbicara demokrasi, tapi…..?</span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Indonesia setelah
memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, para <i>fonding
father</i> bangsa ini dengan suasana yang tidak kondusif memulai dengan serius
bahkan berapi-api untuk mencari sistem ketatanegaraan bagsa yang baru merdeka
kala itu. Berbagai gagasan terkait dengan persolan sistem ketatanegaraan di
presentasikan dalam forum yang memfasilitasi pada saat itu. Tapi, akhirnya
mencapai sebuah konsensus yaitu disepakati sistem kepemerintahan demokrasi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Demokrasi pertama adalah
demokrasi terpimpin (Orla). Kedua demokrasi pancasila (Orde Baru), dan yang
ketiga, demokrasi liberal (Era Reformasi). Sampai sekarang, semua pemimpin
sama-sama mengkleim ditinya sistem pemerintahan yang dipimpinnya adalah
pemerintahan yang demokratis. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;"> Ku saksikan, kulihat, kudengar. Ketika para
punggawa-punggawa di bumi Indonesia ini, baik secara langsung maupun lewat
media, selalu berbicara demokrasi dan perlu penciptaan iklim demokratisasi.
Sebagai sistem pemerintahan yang baik, yang mampu membawa negara ini dari
segala kelebihan yang dimilikinya, yaitu negara yang Miskin, ter-Korupsi,
Kolusi, Nepotisme atau disingkat (KKN), pelanggar HAM, dan negara yang tidak
menghargai perbedaan sebagai rahmat dari sang khalik. Perbedaan adalah bencana
dan sesatu yang diharamkan di bumi ini. Kenapa tidak..!!. Politisi dengan
politisi, saling menuding, membunuh, demi meraih sebuah yang bernama kekuasaan.
kiai dengan kiai, saling megkleim tentang kebenaran, padahal kebenaran yang
dianggap benar baginya adalah kebenaran subyektifitas, bukan kebenaran yang
ombekyetif, didunia ini tidak ada kebenaran yang hakiki. Yang ada hanyalah
kebenaran relative. Akademisi dengan para mahasiswanya, mahasiswa seolah tidak
bisa memprotes kebijakan kampus, itu dianggap melawan dosen, rektor dan
yayasan. Lalu kemudian diancam bahkan dikelurkan dikampus. Begitupun juga Agama
antar agama, sampai hari ini kleim antar agama satu dengan agama lain tentang
agama tuhan. Suku dengan suku lain, daerah antar daerah lain. Memperlihatkan
sebuah fenomena berbauh anarkis. </span><span lang="EN-US" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Karema
bangunan dasarnya menganggap perbedaan merupakan barang haram di bumi Indonesia
ini. </span><span lang="FI" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Padahal
lahirnya sebuah konsensus diawali dengan adanya perbedaan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Lalu kenapa harus berbicara
demokrasi dan demokratisasi?, dan kenapa harus menyuarakan dengan lantang di
tengah teriknya matahari, dibawah guyuran hujan. Bahwa tegakkan nilai-nilai
demokrasi agar tercipta suasana yang demokratis. kalau kemudian dalam kehidupan
nyata nilai-nilai demokrasi dipecundangi, ditelanjangi, dan diperkosa
berramai-ramai. Inikah zaman yang diramalkan oleh Rangga Warsito dan Joyo Boyo,
walau keduanya itu hidup pada generasi yang berbeda dan zaman berbeda. Tapi
kejituan ramalan mereka pada titik yang sama. Bahwa akan ada suatu jaman nanti
yaitu “zaman edan”. Zaman yang diramalkan itu tengah bersemi di bumi Indonesia
ini dengan semakin sulit diterima secara rasional dan akal sehat. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Dalam keheningan,
kegelisahan seorang manusia, melihat fenomena di atas. Dari hari kehari
menunjukan ketimpangan dan pembunuhan secara pelan-pelan melalui kebijakan
pemerintah. Rakyat menjerit, berteriak dalam posisis ketidak berdayaan. Rakyat
dibuat semakin terpuruk dengan prodak kebijakannya tidak berpihak pada rakyat. Dibawah
rezim yang berkuasaan yang beratas namakan pemimpin yang demokratis. Sistem
Demokrasi adalah dimana pemerintah sebagai abdi rakyat (abdi dalem) berada
dalam posisi yang menampung seluruh aspirasi masyarakat dan kebijakan itu
berdasarkan aspirasi tersebut, serta dikembalikan pada rakyatnunutk kepentingan
rakyat pula. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="FI" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Budaya Malu<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Kita mungkin sering
bertanya,. Apakah nilai-nilai demokrasi yang selalu di bicarakan oleh elit-elit
dinegeri ini sudah diartikulasikan dalam bentuk nyata?. Kalau kita tanya
elit-elit negeri ini, dengan enteng mereka akan menjawab “ya”, sudah,
nilai-nilai demokrasi sedang dibagun oleh kami. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Memang budaya malu sudah
digeser oleh kepentingan politik ngawur. Rasa malu di distorsi dengan
pembenaran-pembenaran yang berselimutkan “apa yang dilakukan itu benar, sesuai
dengan aturan yang mengaturnya”. </span><span lang="FI" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Pemeimpin-pemimpin seperti ini lah adalah ”musuh”
demokrasi, karena akan menciptakan iklim demokrasi yang semu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Demokrasi hanya berbentuk
wujud dalam konfigurasi kekacauan, dan pembunuhan secara tidak langsung.
Padahal demokrasi, tidak sedemikain ekstrimnya. Demokrasi bukan merupakan hukum
rimba, bukan pula hukum yang dibuat hanya oleh satu orang manusia. Ia merupakan
jalan tengah, dimana seluruh manusia berbagai tanggungjawab untuk memastikan
bahwa ia bekerja dengan benar.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Ketika presiden Amerika
serika pada tahun 1885, Grover Gleveland. Ia dengan fasih memaparkan bagaimana
demokrasi menjalankan fungsinya. Bahwa seorang pemimpin mengangkat sumpah
jabatan, hanya bertanggungjawab dengan masalah-masalah pengabdian, dimana
setiap warga yang patriotik yang ada di ladang, di bengkel, dikesibukan
perdagangan pasar, dan diamna saja ikut bersama-sama menanggung, ketahuilah
rakyatku, konstitusi yang menetapkan sumpahnya adalah melikmu, pemerintah yang
sutu saat yang kamu pilih untuk mengatur adalah milikmu, hak pilih yang
mencerminkan kehendak bebas adalah milikmu, hukum dan keseluruhan tata aturan
masyarakat kita, dan rapat kota sampai rapat dewan perwakilan rakyat adalah
milikmu juga.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Manusia-manusia dibumi ini
yang tiada henti-hentinya berbicara demokrasi. Aku mungkin salah satu dari
sekian juta rakyat negeri ini dari sekian banyak rakyat mengatakan hal yang
sama ketika para elit negeri ini menjadikan demokrasi sebagai alat menutupi
kebodohan yang dimilikinya pada rakyat. Aku bukan bembeci demokrasi sebagai
sistem negara ini. Sekali lagi aku membenci orang bicara demokrasi, tapi tidak
mengindahkan demokrasi yang sering dibicarakan itu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Pergantian rezim ke rezim
terus berjalan, waktu selalu mengikuti perubahan itu. Tapi, manusia-manusia
tiada hentinya berbicara demokrasi itu. Konon Kabar burung dari mulut kemulut
bahwa demokrasi mengandung janji-janji yang menggiurkan. Misalnya, Pasca
runtuhnya perang Dunia II serta runtuhnya komunisme di eropa timur, seluruh
masyarakat dunia mengarahkan pandangan matanya pada demokrasi di barat. Janji
itu tak lain dan tak bukan adalah harapan akan sirnanya perang saudara dan
kehancuran internasional. Manusia-manusia, telah muak terus-terusan menyaksikan
sebuah penindasan demi penindasan manusia atas manusia lain, seperi yang kekuatan
nazi di bawa kekuasaan Ahdolf Hilter dimana peragakan perbudakan atas manusia
lain. Despotik, tiranik, otoriterian yang tidak menghargai nilai-nilai manusia.
Aku tidak bisa membayangkan seperti apa raukan wajah manusia-manusia kala itu,
ketika merindukan manusia dengan manusia lain saling memeluk, bercanda,
tertawan, tampa ada permusuhan dan pembunuhan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Sekelompok mahasiswa yang
berdemostrasi di timurnya Indonesia, tepat di irian jaya, depan universitas
cendrawasi. </span><span lang="FI" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Dimana kelopok mahasiswa papua berorasi menuntut seputar eksistensi
perusahaan tambang emas raksasa milik negara adidaya Amerika Serikat, yang
bernama Fripot.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Aneh memang negara ini.
Negara yang menempatkan dirinya dalam barisan negara-negara dengan jumlah
penduduk nomor empat di dunia yang juga menjadi negara demokrasi nomor tiga
terbesar setelah India dan Amerika Serikat. Selalu dikejutkan dengan fenomena
pembantaian demi pembantaian, aku sempat berpikir, mungkin ini sebagai warisan
yang pernah dilakukan oleh pemimpin negara terdahulu, sebagai identitas yang
buram. Polisi melepaskan tembakan kepada barisan mahasiwa, dan mahasiswa tidak
mau kalah menyerang dengan melemparkan batu kearah polisi dan mengepung serta
memblokade jalan depan kampus dengan menumbahkan pohon-pohon di pinggir jalan.
sekelompok polisi yang pada misi awalnya
ingin menghentikan gerakan yang dilakoni mahasiwa. Bentrokan fisik tidak
terhindarkan sampai merengut korban jiwa yang kebetulan anggatan TNI dan polisi
tewas dengan seketika ditempat itu serta korban luka-luka mengenaskan, baik
dari polisi dan mahasiswa kena tembakan polisi bersarang ditubuhnya. Ceceran
darah telah memerahkan tanah. Kawan sebelahku ketika menyaksikan lewat TV
kejadian yang luar biasa itu. </span><span lang="EN-US" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Berteriak
dengan nada yang menjengkelkan “kiamat sudah, hacur sudah Indonesia”. Aku
memahami dia secara spikologis dengan melihat fenomena tersebut berpengaruh
terhadap memunculkan emosi spontanitas. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Baru selang beberapa hari
kejadian berdarah disambut lagi oleh realitas yang diciptakan oleh actor dan
pemain yang sama. Yang membedakan, waktu, lokus kejadiannya. Kali ini tidak
kalah seruhnya fenomena di universitas candrawasi.. Di sumbawa, kawan-kawan
aktifis mahasiswa tertembak oleh oknum polisi, tidak tahu berapa yang tertebak.
Banyak kalangan mengatakan pembakaran cam newmont diseting oleh orang newmon
itu sendiri. Bisa jadi, secara politik merupakan distorsi politik gerakan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="EN-US" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Demakorasi sebagai ruang kebebasan? <o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Demokrasi memberikan ruang
khusus bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya, Justru elit-elit yang sering
menghimbau kepada masyarakat dalam berbagai kesempatan, nilai-nilai demokrasi
harus dibangun bersama dibumi Indoneia agar tercipta kondisi yang demokratis,
adil dan aman. </span><span lang="FI" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Tapi kenyataan. Justru merekalah yang menjolimi demokrasi itu sendiri. Lalu
untuk apa berbicara demokrasi kalau cara mainnya tidak demokratis?. Saya terkadang
bertanya pada diri saya sendidri. Adakah yang berani bersuara dengan lantang
sambil menunjuk mukanya dan mengatakan “jangan bicara demokrasi”, entah dari
mahasiswa, kaum buruh tani, atau tokoh-tokoh intelektual mudan yang peduli
tehadap bangsa ini, demi mengawal agenda reformasi dan demi penciptaan
masyarakat adil dan makmur.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">DEMOKRASI itu sendiri bukan
segala-galanya. Demokrasi memerlukan “norma”, lembaga yang mapan, serta pedoman
dan tatalaksana yang jelas. Tampa “norma” , kelembagaan yang mapan serta
tatalaksana yang jelas. Demokrasi mungkin akan menjadi demokrezy. Karena itu,
demokrasi bukan sebuah tatanan yang sekali jadi. Ia memerlukan waktu. Tetapi
kalau kita keliru mempersepsikan demokrasi, yang terjadi adalah anarki dan
kekerasan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Hal demikian juga dirasakan
Sulastomo dalam melihat praktek elit-elit yang mengakui dirinya sang demokratis
sejati. Ia merasa pesimis. Dalam Bukunya Reformasi Antara Harapan Dan Realitas
(2005). Bila ketiga substansi demokrasi diatas tidak dibangun dan dijalankan
pada jalan yang benar. Yaitu norma, kelembagaan yang mapan, sebagai landasan
bersam. Dan bila system demokrasi yang benar-benar menigimplementasikan prinsip
“suara rakyat adalah suara tuhan.</span><b style="line-height: 150%; text-indent: 36pt;"><span lang="FI" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%;">Demokrasi</span></b><span lang="FI" style="font-family: Garamond, serif; font-size: 14pt; line-height: 150%; text-indent: 36pt;"> juga sebagai sala satu
esensinya adalah kesiapan mental untuk menerima kekalahan, tidak diterima
secara legowo dan jantan, atau dalam bahasa kren sekarang “berkompetisi yang
tidak sehat dan bermain tidak cantik lho” hanya bersiap untuk menang, kalau
demikian yang tumbuh justru semangat “apriori” yang dibungkus berbagai alasan
yang mengesankan rasional. Demokrasi yang esensinya adalah untuk mengabdi
kepada seluruh rakyat menjadi semata-mata akomodasi kepentingan politik
golongan/kelompok hanya demi untuk pembagian kekuasaan. Yang belum terlihat
sampai sekarang kejujuran para elit yang merupakan syarat untuk membangun
tradisi demokrasi yang sehat. Aspirasi rakyat sebagai hasil pemilu yang
demokratis 2004 kemarin tidak memperoleh akomodasi yang layak, karena
kepentingan politik golongan yang ditonjolkan pada publik. Kenyataan ini telah
merambat sampai pada tingkatan daerah (ke bawah), melihat <i>behaviore
political</i> sehari-hari, dengan satu asas bagaimana menghalalkan segalah cara
untuk mencapai tujuan, politik ala Machaevelli ini sampai sekarang masih
terjadi direpublik yang menganut sistem demokrasi ini.</span><span style="font-family: Tahoma, sans-serif; font-size: 12pt; text-align: center;"> </span></div>Saifullah Ibnuhttp://www.blogger.com/profile/11480039276060922446noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-335071561411262022.post-72323259640139132862012-02-22T23:44:00.000-08:002012-02-22T23:54:29.617-08:00KEKUASAAN ADALAH CANDU...?<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigm306jkWCQ-jGQ437BNDHQPrlOz7XaWtl_XauOH_kzeeKasfPCL__A7H6jn_tqvJk9W9R1RjfGYMjiTYY6O_Sb9vHRl6y5KfgBkE1BsyrsWMEyfznnRQ-dMoyPPKtfz4zSAzffmIDNFPy/s1600/FOTO.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigm306jkWCQ-jGQ437BNDHQPrlOz7XaWtl_XauOH_kzeeKasfPCL__A7H6jn_tqvJk9W9R1RjfGYMjiTYY6O_Sb9vHRl6y5KfgBkE1BsyrsWMEyfznnRQ-dMoyPPKtfz4zSAzffmIDNFPy/s200/FOTO.jpg" width="200" /></a><span lang="SV" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Kekuatan kapitalis benar-benar telah merasuki cara kerja sebuah sistem
kehidupan bernegara-bagsa kita setelah perang dunia ke dua sampai hari ini. D.H
Lawrence</span><a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/PARTAI%20POLITIK%20VS%20KEKUASAAN/PENGANTAR.rtf#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: Tahoma, sans-serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 12pt;">[1]</span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-family: Tahoma, sans-serif;"> telah
menyimpulkan perbedaan sistem demokrasi konstitusional dan model sistem
oligarki. Bagi Lawrence bukan persoalan republik atau kerajaan, tapi soal siapa
yang dapat menguasainya?. tesisnya adalah “jika seseorang memiliki
kemampuan menghasilkan uang, pada akhirnya dia memerintah republik, baginya
bentuk negara modern tak lebih dari negara komersial”. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Kekuatan dahsyat korporatokrasi (institusi keuangan internasional, dan
pemerintah yang menyatukan kekuatan uang dalam politik) inilah yang disebut
oleh Michael Hardt dan Negri</span><a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/PARTAI%20POLITIK%20VS%20KEKUASAAN/PENGANTAR.rtf#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: Tahoma, sans-serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 12pt;">[2]</span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-family: Tahoma, sans-serif;"> (2000)
dalam <i>Magnum Opus-</i>nya, menyebut <i>empire </i>(kekaisaran). keduanya
menggambarkan wujud baru kedaulatan atau format baru kekuasaan politik ditengah
globalisasi. Kedaulatan Negara-bangsa <i>(nation state)</i> tetap penting
tetapi mengalami kemerosotan drastis. Lanjutnya kemerosotan ini dalam konteks
terbentuknya kedaulatan dalam wajah baru, yang terdiri dari seperangkat
organisme nasional dan supranasional yang menyatu dibawa logika peraturantuggal
secara global. Rupa baru itulah yang disebutnya <i>Empire.</i><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Paloto</span><a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/PARTAI%20POLITIK%20VS%20KEKUASAAN/PENGANTAR.rtf#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: Tahoma, sans-serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 12pt;">[3]</span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-family: Tahoma, sans-serif;"> dalam
pandangan Yunani awal mengenai dekadensi manusia ditunjukkan pada perubahan
wataknya yang semakin hari semakin rendah, dari kecintaan pada kebenaran (pada
diri filosof), turun kepada kecintaan status (para kasatria), kemudian melorot
pada kecintaan akan harta (para plutokrat), dan terakhir adalah kecintaan pada
segala keinginan pada syahwatinya (para demokrat). Dalam hal ini lanjut Plato
sistem sosial-politik demokrasi dalam pengertian modern sebagai penggerak
bentuk negara fiskal dalam menunjukkan watak manusia materialistik hedonis
tersebut. Zaim Saidi</span><a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/PARTAI%20POLITIK%20VS%20KEKUASAAN/PENGANTAR.rtf#_ftn4" name="_ftnref4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: Tahoma, sans-serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 12pt;">[4]</span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">. Sosok
manusia modern seperti itu adalah sosok manusia berwatak terendah,
materialistik dan hedonistik, yang diakomodasikan dengan nyaman dalam
kapitalisme modern.<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Runtuhnya basis legitimasi Rezim Orde Baru 12 Mei 1998 yang lalu
mencengangkan cukup banyak pihak, yaitu munculnya kembali fenomena multi partai
yang selama ini telah terkubur dibwah reruntuhan Orde Lama dan Orde Baru.
Ledakan-ledakan partisipasi rakyat luas dengan cepat mengubah rasa frustasi dan
dendam terhadap rezim Soeharto di seluruh bidang. Kebijakan Presiden Habibie
mengubah format politik Indonesia dari sistem partai dominan kesistem multi
partai yang di ikuti oleh regulasi-regulasi baru seperti Undang-undang No 31
tahun 2002 tentang partai politik. Di satu sisi, ia mendorong kembali semangat
politik yang nyaris padam akibat kebijakan monoloyalitas, deideologisasi,
penyeragaman yang di personifikasi oleh Soeharto. Namun, di sisi lain eforia
kebebasan menyalurkan naluri politik masyarakat juga menumbuhkan persoalan baru
yang cukup tidak diantisipasi oleh para politisi-politisi baru (kader partai
yang mendadak jadi elit politik).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Narasi besar dalam konsepsi politik di abad modern yang paling banyak
dibicarakan dan dipraktekkan pada kalangan luas adalah mahluk yang bernama
demokrasi. Konon warisan bangsa Yunani dan Romawi yang hidup pada 500 tahun SM
itu begitu mulai menghipnotis negara-negara Dunia ketiga setelah perang Dunia
ke II berakhir. Seiring dengan perubahan mutakhir di abad modern (abad 21)
sekarang, bangsa indonesia tidak ketinggalan dari sugestikasi mazhab tersebut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Terlepas dari sejarah awal istila demokrasi diperkenal oleh Plato dan
Aristoteles dengan pandangan sinisnya, namun hari ini telah menjadi sebuah
konsensus bersama sebagai konsepsi politik yang harus ditegakkan dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang difirmankan dalam UUD 1945 sebagai
hukum tertinggi negara ini. Walaupun, pada sisi lain masih ada sebagian
masyarakat kita kurang bahkan dalam pemikiran yang ekstrim tidak sepakat dengan
konsep demokrasi, tetapi ruang demokrasi tidak mengharamkan kebebasan individu
itu. Salah satu yang mempengaruhi resistensi terhadap konsep sekuler tersebut
diakibatkan oleh benturan dengan budaya dan keyakinan yang melekat pada domain
egosetrisme trasedental masyarakat kita dan masih kentalnya budaya feodalisme.
Kar Max menolak konsep demokrasi karena keberadaan negara adalah untuk
mengeksploitasi buruh, baginya masyarakat tampa kelas dan masyarakat tampa
negara merupakan sesuatu yang mutlak, untuk mencipatakan itu dilakukan dengan
revolusi total oleh kaum proletariat. Sungguh itu di anggap sebagai pemikiran
utopis. Jadi, dalam kehidupan bermasyarakat secara alamiah kebutuhan untuk
mengatur kehidupan masyarakat di perlukan institusi yang bernama negara, dan
dalam negara pasti dibutuhakan kekuasaan politik untuk mengaturnya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Demokrasi liberal yang di komandangkan sebagai sistem yang berpihak pada
rakyat adalah proyek Amerika untuk Menyihir rakyat dari negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia. Sehingga demokrasi untuk rakyat akan
disakralisasikan menjadi mitos dari cerita abad madern. Samuel Huntington
(1995), berdalih bahwa demokrasi adalah menjadi isu global yang telah melanda
hampir seluruh plosok Dunia. Fukumaya bersabda Demokrasi menjadi masalah
kemanusiaan sejagad. Demokrasi adalah pilar pradaban. Munafrizal Manan (2005)
bernyanyi, Dalam pasar politik internasional demokrasi telah menjadi ”barang”
politik paling laris. Diskursus demokrasi telah mengglobal dan menyebar ke
pelosok Dunia dengan kecepatan fantastis. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Aksioma politik ditengah ledakan keras transisi demokrasi bangsa ini
menjadi sulit dibantah bahwa generalisasi stigma Dunia politik oleh sebiagian
banyak masyarakat yang apriori, antipati, disinyalir akibat Akrobatik politik
yang ditampilkan oleh para elite-elite politik selama era transisi diyakini
banyak orang berkisar sebagi motif memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan semata
yang diperankan kelompok kepentingan politik yaitu partai politik. Proses
sirkulasi dan rotasi kekuasaan misalnya, hanya melahirkan penguasa-pengusa
hasil dari pada perselingkuhan kapital melalui cokung-cokungnya dengan
menumpangi kendaraan Pemilu, dan Pilkada sebagai azas legitimasi
konstitusional. Sehingga melahirkan pemimpin-pemimpin karbitan, disulap,
dikemasn dengan bagus dalam waktu yang cukup singgkat dengan media informasi
melalui setting publikasi yang canggih<i> (marketing politic)</i>. Sesungguhnya itu adalah rekayasa dan
ilusi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Nasib demokrasi di pertaruhkan. Ada banyak orang yang berpendapat, untuk
membangun demokrasi yang sehat diperlukan iklim yang seimbang anatara
pemerintah <i>(state),</i> swasta <i>(market),</i> masyarakat <i>(civil
society).</i> Dimana tiga kekuatan ini dalam sebuah komunitas (Negara)
bersinergis antara satu dengan yang lain. Apa bila pemerintah atau Negara
menguasai <i>market</i> dan <i>civil society</i> maka kekuatan Negara cenderung
otoriter, dan bila <i>civil society</i> menguasai <i>State</i> dan <i>market</i>
maka tatanan sosial akan <i>chaos</i>, dan bila kekuatan <i>market</i>
menguasai <i>state</i> dan <i>civil society</i>, maka kekuatan uang menjadi
penentu segalanya. Ketiga domain tersebut diatas juga sebagai pilar dari pada <i>Good
governance</i>. <i>State, market</i> dan <i>civil society</i> adalah sebenarnya
memiliki logika hukum tersendiri dan tidak bisa dicampur adukan atau ingi
disamakan antara satu sama lain, namun ketiga domain tersebut berjalan saling
mengisi atara satu dengan yang lain (sinergisitas). Bila iklim demikian gagal
kita ciptakan, maka kemudian demokrasi akan berjalan tertatih-tatih dan
kemugkinan akan terjadi tragedi demokrasi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Partai politik sebagai organisasi politik yang <i>inheren</i> dengan
kekuasaan negara. Keberadaan dan posisinya yang begitu strategis pada sebuah
negara yang menganut sistem demokrasi membuat partai politik sulit dilupakan
dalam perpolitikan sebuah negara, dibandingkan dengan organisasi lain yang
tidak memiliki legal rasional untuk terlibat dalam akrobat politik yang sah
secara konstitusional dalam merebut dan mempertahankan kekuasaa. Jadi, partai politik
sulit lepas diri dalam mempengaruhi alur cerita tentang kegagalan dan
keberhasilan sebuah negara. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Namun, sesungguhnya Ketika kekuasaan telah bermetamorfosis menjadi ”malaikat”
yang mampu menyulap, melabrak kerinduan-kerinduan akan sesuatu yang mustahil di
lakukan secara etis, maka pada saat itulah gerombolan cukong-cukong dan bankir
kekuasan bergentayangan (Baca kurupsi partai). Cukong kekuasaan itu kemudian melegitimasi diri dengan
berjubah sebagai kaum intelektual, politisi, kaum demokrat, baik yang tergabung
pada organisasi kemahasiswaan, LSM, ormas, dan lebih-lebih partai politik.
Namun, sesungguhnya mereka itu adalah darakula-drakula berwajah manusia yang
didesain oleh arsitek agung dari kekuatan kapitalisme Barat. Maka sejak itulah
kekuasaan menjadi ”berhala” bagi manusia abad modern dan kini kekuasaan politik
ibarat candu bagi manusia. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Partai politik sebagai organisasi modern yang malang melintang berkiprah
pada samudra kekuasaan politik, baik kekuasaan di pusat maupun di daerah,
menjadi bagian yang sulit untuk di pisahkan dalam mendistrubusikan kader
terbaiknya dalam mengisi struktur kekuasaan politik (negara). Potret suram
partai politik selama perjalanan bangsa Indonesia, tidak terkecuali partai
ber-azaskan agama, demokrasi Liberal, nasionalisme, sosialisme dan lain-lain
sebagai ideologi perjuangannya. Partai politik telah menjadikan diri sebagai alat
untuk memuaskan libido kekuasaan bagi kaum-kaum komparador yang memuja
kesenangan dengan menciptakan rakyat meringkuk tidak berdaya, lemah mudah
diperdaya, lesuh mudah di tindas. Karena kalau rakyat kuat, baik secara
ekonomi, pendidikan, budaya, maka mereka mengalami kesulitan untuk menyalurkan
hasrat-hasrat kerakusan duniawi yang kebablasan. Benarkah mereka itu para
predator-predator negara indonesia?.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Melihat fenomena patai politik kekinian cukup mencengangkan bagi publik, praktek korupsi seolah menjadi lumrah ketika berkuasa. fenomena tersebut terkadang membenarkan tesis Kar Marx yang mengatakan bahwa ”uang adalah pelacur universal”. Ketika
kapitalisme menumbuhkan bahwa gerakan ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada
”persaingan pasar” maka eksploitasi gila-gilaan itu tidak bisa dihindari. Bukan
alam, bukan manusia yang mengendalikan kebutuhan manusia. Pasar-lah
mengendalikan manusia. Lewat korporasi-korporasi raksasa seperti Bank Dunia,
WTO, IMF. Mantra rekonsiliasi, penjajahan, dan penindasan, disandungkan. Eric
Fromm merintih ”kini manusia tidak berkutik dihadapan berhala materialisme,
kediktatoran uang, anomistis, dan perbudakan. Materialisme fundamentalistis
telah menjebak manusia kedalam belenggu alienasi (kesunyian, keterasingan
manusia dari tuhan, sesama manusia, dan dari lingkungan), dan sinisme. Disinilah
kegagalan kapitalisme katanya Anthony Giddens. Karena terlalu yakin bahwa orang
mampu mengendalikan Dunia hanya dengan memandang dunia sebagai hamparan padang
pasar yang luas dengan janji-janji kudus demokratisasi dan keadilan sosial. Lalu,
Siapakah yang bertanggung jawab atas itu?. Milton Friedman bernyanyi,
kapitalisme seharusnya bertanggungjawab karena turut aktif melahirkan hampir
semua pemerintahan represif di Dunia ketiga. Ketika materialisme menjadi
berhala maka prgmatisme berpolitik menjadi nyata” Parkara berburu kekuasaan
atau memperbanyak kekayaan menjadikan manusia bersedia untuk menjadi pelacur
bagi kepentingan nafsu sesaat oleh kekuatan uang dan tahta. Kekuatan uang bisa
menciptakan negara tidak berdaya bahkan menjadi kacung di negeri sendiri, namun
juga sebaliknya. Seperti negara indonesia sejak jaman kolonialismen dan
pendudukan Jepang sampai hari ini menjadi ”kacung dinegeri sendiri”.
Independensi, kemerdekaan, kedaulatan, baik kedaulatan ekonomi, politik, hukum
di robek habis oleh pengaruh utang luar negeri yang diwarisi oleh Soeharto.
Kesalahan atas utang terhadap imperialis Amerika Serikat sebenarnya awal dari
pelemparan ranjau-ranjau dalam perang model baru bagi bangsa Indonesia.
Konsensinya jelas bagi mereka yaitu bertujuan mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan
dari negara yang mudah dikadali seperti negara kita tercintai ini.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Ketika kekuatan uang menjadi ”berhala” bagi setiap manusia yang tidak
berkesadaran kritis, namun hanya kesadaran naif dan kesadaran mistik. Maka uang
juga menjadi berhala bagi partai –partai politik di indonesia pasca runtuhnya
Orde Baru. Dan Ketika semua elite-elite politik dan masyarakat luas menjadikan
kekuasaan sebagai berhala untuk disembah, dan mendapatkan itu, maka pada saat
itulah "kekuasaan menjadi candu bagi manusia". Semua orang ingin menanamkan
pengaruhnya pada orang lain, baik pada level kominitas keluarga maupun pada
organisasi Dunia seperti negara. Berbagaimacam cara mereka lakukan untuk
mendapatkan kekuasaan. Akibat dari mazhab ini sehingga terbentuklah <i>”mental
jelangkung”</i> yang sering dipertontongkan anggota legislatif dan eksekutif
ketika membuat sebuah regulasi. </span><span lang="SV" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Jelangkung itu kalau tidak diberi sesajen tidak keluar.
Untuk meloloskan pasal-pasal dari UU harus ada sesajen (uang). Mental sesajen
yang mengidap anggota dewan kita selama sepuluh tahun reformasi berjalan
membuat rakyat begitu apatis terhadap lembaga DPR ketika membahas sebua UU.
Aspirasi rakyat tidak diperhatikan justru siapa yang berkepentingan dan
memiliki uang yang diperhatikan. Pada mental demikian membuat merajalelanya “<i>politik
pengusaha”. </i>Artinya hanya mengakomodir kepentingan para pengusaha. Tentu
hanya menguntungkan kelompok mereka dan merugikan kepentingan nasional
(rakyat). Itulah yang disebut pengusaha politik atau politik pengusaha.</span><span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Bagaimana partai politik sebagai organisasi yang selalu bersinggungan
dengan kekuasaan politik. Baik berbicara dalam konteks mencari atau merebut
kekuasaa politik serta menjalankan kekuasaan politik yang diperolehnyanya?.
Menilik fenomena partai politik kekinian atau selama era reformasi berjalan,
sesungguhnya sugestikasi konsepsi politik dewasa ini yang diperankan politisi
partai politik adalah identik dengan merebut kekuasaan dan mempertahankan
kekuasaan, baik secara konstitusional manupun non kostitusional. Etape kiprah
partai politik kontemporer tersebut pada tataran pertarungan gagasan alternatif
dan politik praktisnya tentang konstribusi riil sebgai bentuk tanggung jawab
dari persoalan-persoalan bagsa yang semakin hari semakin kehilangan arah
tujuannya, namun sungguh tragis memperihatinkan keberadaan partai politik yang
telah menjelmakan diri sebagai kekuatan baru di alam demokrasi ini, yaitu dimana
rakyat dijadikan komoditas pasar yang menjanjikan fulusiologis (kapital). Paket
Demokrasi yang diperjuangkan melalui gerbang reformasi 1998 yang melahirkan
liberalisasi politik dan ekonomi memberikan angin segar bagi terciptanya
kedaulatan rakyat, justru bermetamorfosis menjadi <i>demokrazy</i> yang
menghalalkan darah dan keringat rakyat untuk dihisap. Hambar dan menakutkan
manusia kalau itu terjadi dalam bentuk kejahatan kriminal, membunuh dengan
menggorok lehernya, menembak kepalanya dan sejenis. Hanya saja kejahatan partai
politik dan politisi kita terhadap rakyat tidak dalam konteks kejahatan
kriminal. Kejahatan kriminal berakibat pada pelaku dan korban saja. Kejahatan
partai politik dan politisi atau disebut dengan ”kejahatan politik”, lebih
sadis dan angker kadar kerusakannya. Karena semua lini kehidupan akan menjadi
rusak, tidak teratur. Baik sistem polik yang berlaku, ekonomi, budaya sebuah
bangsa-negara ditaruhkan dalam waktu yang lama. Misalnya, manipulasi
partisipasi politik rakyat ketika Pemilu, Pilkada, dengan kekuatan kapital maka
akan melahirkan pemimpin politik yang menerapkan ”politik pengembalian modal”
dan pemimpin karbitan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Pengaruh logika kapilisme dalam pembagunan partai politik praktis dewasa
ini buka merupakan isapan jempol belaka. Keberadaan partai politik dalam sebuah
Negara yang menganut sistem demokrasi sekalipun, seperti Indonesia. Cara
politik partai dengan mengandalkan kekuatan kapital untuk merebut legitimasi
rakyat untuk berkuasa. Keberadaan partai politik seperti itulah memberikan
peluang yang bersifat arogansi, dominasi dan hegemoni dalam sistem politik.
Itulah yang disebut oleh penulis sebuah “keangkeran demokrasi” yang menjelmakan
diri menjadikan kediktatoran demokrasi. Jadi kesesatan demokrasi itu membuat
iklim demokrasi yang ingin di ciptakan justru kematian demokrasi yang kita
dapatkan. Nah, Bagaimana bentuk kediktatoran demokrasi dalam sistem demokrasi
kita?. Pada buku ini juga penulis mencoba menguraikan kediktatoran demokrasi
pada kehidupan bernegara.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Partai politik sebagai simbol dari kekuatan lembaga supremasi sipil semakin
absur identitasnya. Dewasan ini Partai politik yang selalu mengejar kekuasaan
membuat lembaga ini begitu mudah melupakan cita-cita, ideologi, fungsinya dan
konstituen yang telah melahirkan dan membesarkannya. Kalau kemudia Nafsu dan
ambisi manusia didalam partai politik melabrak atauran hukum dan etika serta budaya.
Maka, Nafsu dan ambisi itu akan menjadi <i>“nafsu dan ambisi para setan” </i>yang
setiap saat menghantui upaya-upaya serius kelompok lain yang mengiginkan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih beradab. Tepat kita katakan untuk
mendiskripsikan partai politik hari ini, <i>“tidak ada yang bisa dicapai tanpa
berbohong dan tampa politik uang”.</i> Kekuasaan hanya bisa diraih dan
dipertahankan dengan cara yang tak lazim. Kekuasaan bukan dari rakyat tapi dari
kebohongan yang terencanan dengan sistematis. Mungkin ini yang dimaksud oleh
Julian Bella adalah penghianatan kaum intelektual. Terlepas dari itu,
setidaknya itulah realitas perpolitikan partai politik di indonesia dewasa ini,
yang dimanifestasi oleh kiprah para keder partai yang duduk di eksekutif dan
legislatif.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Idealisme partai politik yang menghendaki partai politik berperan sebagai
lokomotif dalam perubahan sosial-politik, idelaisme itu akan di bantahkan oleh
prilaku elit partai politik yang lebih menjadikan partai politik sebagai
saranan mencapai kekuasaan semata. Kondisi inilah yang dirasakan publik terkait
dengan sepak terjang partai politik ditengah kemelut yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia saat ini. Namun, kemudian partai politik dibentuk untuk meraih kekuasaan,
tidak dengan cara tampa aturan. Atauran akan menjadi prematur dan ambigu bila
partai politik sebagai pilar demokrasi yang menjunjung tinggi aturan dan
sportifitas, kemudian tidak di indahkan dalam bentuk nyata (buka retorika).
Selain dari pada itu, ada etika politik yang mengikat partai politik secara
internal dan secara eksternal. Secara internal, langkah partai politik terikat
pada ideologi yang menentukan visi dan misi sebuah partai. Sedangkan secara
eksternal, tujuan partai selalu diikatkan dengan konstituen dan masyarakat
lewat program-program yang ditawarkannya pada kampaye pemilu dan pilkada.
Karena itu-lah keselarasan idealisme partai politik dengan aspirasi
konstituennya terefleksikan dalam program partai yang dibuat sebagai tuntunan
tertulis untuk menggapai cita-cita bersama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Ada beberapa hal, kenapa koflik menjadi bola liar dalam partai-partai
politik yang kemudian menjadi api bara yang tidak bisa di kendalikan antara
lain; <i>Pertama</i>, tabrakan misi elit politik partai yang cukup keras,
sehingga elit politik partai terfragmentasi dalam faksi-faksi yang tidak sehat.
</span><i><span lang="SV" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Kedua</span></i><b><span lang="SV" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">,</span></b><span lang="SV" style="font-family: Tahoma, sans-serif;"> elit partai-partai politik cenderung menerapkan politik <i>“berburu
kekuasaan”</i> dengan cara saling mendepak yang lain. Sehingga muncul
faksi-faksi yang saling mengadu kekuatan sesuai dengan cara masing-masing faksi
tersebut. <i>Ketiga,</i> Perbedaan sebagai esensi demokrasi tidak dijadikan
sebagai <i>Rahmatan Lil Alamin</i> atau dijadikan kekuatan yang saling
melengkapi, justru perbedaan di pahami sebagai musuh yang harus dihanguskan. <i>Keempat</i>,
kesadaran yang hakiki tidak dimiliki, kalaupun ada sangat tipis lebih
didominasi oleh ego dan naluri politik yang memiliki pretensi ”saya harus dan
bukan dia/mereka berkuasa” tampa pertimbangan kesiapan diri secara mental,
spritualitas, intelektualitas dan pengalaman. </span><i><span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Kelima,</span></i><span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;"> masih kentalnya
ideologi mereka sebelum bergabung dalam wadah partai politik yang sama.
Sehingga adaptasi dan berbaur dengan anggota lain menjadi sulit diterapkan. Hal
ini juga bisa dikatakan tidak berjalanya doktrin partai yang bersangkutan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<i><span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Keenam,</span></i><span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;"> dari kelima poin diatas bisa dikatakan sebagai kegagalan
proses kaderisasi dan pendidikan politik partai politik. Bila, Kaderisasi tidak
berjalan dan pendidikan politik sukar diterapkan dengan baik maka akan menjadi
partai politik yang tidak ubahnya kumpulan individu-individu atau kelompok
manusia tampa cahaya bintang. Caya bintan di sini dimaknai sebagai pencerahan
yang mapan pada kader partai dan siap secara kualitas serta memiliki ahlaq yang
tebal, tidak bisa di perdaya oleh kekuatan yang secara terang-terangan
melenceng dari tujuan berbangsa dan bernegara yang dicita-citakan UUD 45 dan
Pancasila. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Setidaknya itu menurut penulis menjadikan partai politik pada persoalan
internal partai PPP dan PDI pada Era Orde Baru dalam membangun partai yang kuat
yaitu partai yang menjadi pilihan rakyat. Kegagalan itu Karena tidak
berjalannya fungsi dan peran partai politik yang implementatif yaitu bermanfaat
bagi partai politik itu sendiri dan rakyat secara nyata atau <i>partai politik
dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.</i> Disamping dengan adanya kebijakan
pemerintah yang tidak mendukung kiprah PDI dan PPP melalui kebijakan <i>Mono
loyalitas</i> dan politik <i>massa mengambang</i> dan Politik <i>penyeragaman</i>
atau pensucian ideologi pada saat itu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="FI" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Proses perekrutan kader (anggota) dalam partai politik sesungguhnya harus
diperhatikan secara serius oleh para politisi dan akademisi untuk menemukan
formula yang mendukung terciptanya manusia yang memiliki tanggungjawab secara
universal. </span><span lang="SV" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Tanggung jawab secara universal adalah memiliki
integritas personal, kapabilitas, akuntabilitas, intelektualitas, jiwa
kepemimpinan. Agar tidak lagi munculnya Para politisi <i>“Tukang Becak?, robot
politik, politisi broker, pemimpin karbitan, dan politisi yang menjadikan
berhala bagi kekuasaan”.<o:p></o:p></i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Tahoma, sans-serif;">Politik pegabdian-lah menjadi salah satuh pel penawar untuk mencegah
politik pragmatis partai politik beserta kader-kadernya. Politik pengabdian
harus menjadi syarat yang mutlak bagi politisi-politisi yang memilki keinginan
duduk di eksekutif dan legislative, serta lembaga-lembaga politik lainya.
Siapakah yang melakukan distribusi kader yang memilki jiwa pengabdian itu?.
Dalam sistem politik di indonesia adalah partai politik. Dan apakah partai bisa
melakukan itu?. Bisa, asalkan partai politik secara organisasi memaknai
keberadaannya sebagai organisasi politik yang mengabdi pada kepentingan rakyat.
Bukan segerombolan para politisi yang memiliki kepentingan terselubung. <i><o:p></o:p></i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: Tahoma, sans-serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: Tahoma, sans-serif;"><br /></span></div>
<div>
<br />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/PARTAI%20POLITIK%20VS%20KEKUASAAN/PENGANTAR.rtf#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 9pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 9pt;">[1]</span></span></span></span></a><span lang="EN-US" style="font-size: 9pt;"> D.H Lawrence. Dalam Zaim Saidi. </span><span lang="SV" style="font-size: 9pt;">Ilusi Demokrasi. Kritik
dan Otokritik Islam. Menyongsong Kembalinya Tata Kehidupan Menurut Amal
Madinah. Republika. Jakarta selatan. 2007.
Hal 15.</span><span lang="EN-US"><o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn2">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/PARTAI%20POLITIK%20VS%20KEKUASAAN/PENGANTAR.rtf#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 9pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 9pt;">[2]</span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-size: 9pt;"> Lihat Arianto Sangaji
dalam opininya yang berjudul “Kekaisaran” pada harian Kompas, edisi jumat 18
Juli 2008. </span><span lang="EN-US"><o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn3">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/PARTAI%20POLITIK%20VS%20KEKUASAAN/PENGANTAR.rtf#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 9pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 9pt;">[3]</span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-size: 9pt;"> Zaim Saidi. Ilusi
Demokrasi. Kritik dan Otokritik Islam. Menyongsong Kembalinya Tata Kehidupan
Menurut Amal Madinah. </span><span lang="EN-US" style="font-size: 9pt;">Republika.
Jakarta selatan. 2007. hal 16</span><span lang="EN-US"><o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn4">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///D:/IPHOELL/NASKAH/PARTAI%20POLITIK%20VS%20KEKUASAAN/PENGANTAR.rtf#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 9pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 9pt;">[4]</span></span></span></span></a><span lang="EN-US" style="font-size: 9pt;"> Lihat Zain Saidi. Hal 16</span><span lang="EN-US"><o:p></o:p></span></div>
</div>
</div>Saifullah Ibnuhttp://www.blogger.com/profile/11480039276060922446noreply@blogger.com0